Sunday, March 26, 2006

Pimpinan Gereja Harus Memberikan Penggembalaan Kepada Jemaatnya Menyikapi PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI

Ketua DPC PIKI Kota Pematangsiantar Dr. Sarmedi Purba:

Pimpinan Gereja Harus Memberikan Penggembalaan Kepada Jemaatnya Menyikapi PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI

Dua hal hal yang sangat urgen dilakukan oleh gereja dan masyarakat yang resah akibat telah terbitnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH
DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT.

Pertama memberikan arahan tertulis kepada jemaat menyikapi Peraturan Bersama ini dan kedua mengupayakan anulasi (pencabutan) melalui usul alternatif kepada Presiden dan kelompok penekanan melalui ormas, parpol, anggota legislatif di pusat dan di daerah dan jangan dilupakan forum internasional.

Kalau kita mau jujur, memang peraturannya bisa dianggap positif, kalau dilakukan dengan sikap positif oleh pelaksana peraturan ini, khususnya Bupati/Walikota dan Kanwil Departemen Agama setempat. Dan memang pada pelaksanaan Peraturan Bersama inilah baru bisa dibuktikan secara hukum, apakah pelaksanaan pertaruan ini melanggar HAM, melanggar UUD 1945 pasal 29 yang menjamin kebebasan warga negara untuk beribadat sesuai dengan kepercayaan dan keinsyafan batin masing masing. Tetapi karena pengalaman kehidupan benegara pada saat ini di mana masih dijumpai pungli di segala bidang pelayanan pemerintah, maka sangat disangsikan bahwa peraturan ini akan memberatkan pembangunan rumah ibadat, khususnya pembangunan gedung gereja. Pimpinan gereja mulai sekarang sebaiknya memonitor perkembangan pembangunan gereja, khususnya dalam numerik, apakah sesudah peraturan ini ada kendala pembangunan gereja, berapa jumlahnya yang gagal dibangun dan permasalahannya masing-masing.

Ada baiknya kalau gereja membentuk biro hukum yang mengurusi izin pembangunan gereja ini dan mengurus juga status hukum tiap bangunan gereja. Kepada jemaat yang belum memiliki IMB gereja dapat mengurusnya sekarang, yang menurut pasal 28 Peraturan Bersama ini difasilitasi oleh walikota dan bupati setempat.

Karena perangkat lunak dan keras peraturan ini (pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB yang aturan mainnya dtetapkan oleh Gubernur) belum ada dan harus disiapkan selambat-lambatnya 1 tahun sesudah terbitnya peraturan ini (21 Maret 2007), maka alangkah baiknya kalau pengurus jemaat melibatkan diri dalam proses pembentukan FKUB ini, mempelajari peraturannya dengan seksama dan memberikan warna dalam pengambilan keputusan forum ini (tiap agama diwakili secara proporsional dalam FKUB dan paling sedikit 1 orang perwakilan tiap agama).

Permohonan surat keterangan pemberian izin sementara rumah ibadat (Bab V pasal 18-20) nampaknya cukup berbelit-belit, sehingga sulit dipercaya pernyataan pers Depdagri yang mengatakan menghapus prinsip “mengapa dibuat mudah kalau bisa sulit.” Di sini permohonan izin sementara itu mula-mula dipermudah dengan hanya melaporkan saja (tidak minta izin) kepada Kanwil Depag dan FKUB. Namun walikota atau bupati harus meminta rekomendasi dari FKUB dan Kanwil Depag untuk dapat mengeluarkan izin smentara. Ini namanya main kucing-kucingan.

Kalau peraturan ini benar-benar diikuti oleh masyarakat, penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya, teoritis tidak ada lagi yang main hakim sendiri, misalnya merusak rumah ibadat dan melarang atau menghalang-halangi orang datang ke gereja dengan dalih tidak memiliki izin, karena semua perselisihan menurut peraturan bersama ini diselesaikan secara musyawarah dengan bantuan pemerintah setempat dan kalau perlu melalui Pengadilan Negeri.



Anulasi Peraturan Bersama Dua Menteri.
Sebaiknya gereja membentuk tim hukum untuk merumuskan pasal-pasal Peraturan Bersama Dua Menteri ini yang bertentangan dengan UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia atau Declaration of Human Right dari PBB. Kalau ini memang terbukti, apalagi didukung oleh badan-badan internasional, maka semua kelompok yang menentang Peraturan Bersama Dua Menteri ini harus mengajak ormas, parpol dan anggota legislatif di pusat dan daerah untuk menekan pemerintah mencabut Peraturan Bersama ini. Pokoknya jangan lagi dipilih anggota legislatif dan eksekutif yang mempertahankan Peraturan Bersama Dua Menteri ini pada Pemilu atau Pilpres 2009.

Di sini saya juga melihat peranan Dr. SAE Nababan, yang baru terpilih menjadi Ketua Dewan Gereja Sedunia, putra Indonesia pertama yang menduduki kursi yang bergengsi ini di Jenewa, seperti yang disebutkan juga oleh Pdt. WTP Simarmata, Ketua Umum PGI Wilayah Sumut dan Sekjen HKBP. Kita harus berani juga mengatakan yang benar dan menyampaikan ini kepada semua negara sahabat, bahwa Peraturan ini bertentangan dengan HAM (kalau rumusan tentang hal ini sudah disepakati). Ini adalah hak setiap umat beragama karena agama itu kebanyakan bersifat universal tanpa mengenal batas-batas negara, dan karena itu solidaritas beragama melampaui batas-batas kekuasaan negara.

No comments: