Sunday, March 12, 2006

Menyelamatkan Rumah Sakit Dengan Membangun Sistem Pembiayaan Yankes di Sumut

Ketika saya merencanakan pembangunan satu rumah sakit swasta di Pematangsiantar tahun 1982, yang saya pertanyakan pertama di mana pangsa pasar rumah sakit yang akan saya dirikan. Hitungan saya waktu itu sangat sederhana: dari 1 juta penduduk Kabupaten Simalungun dan Kotamadya Pematangsiantar, hanya 15 % yang mampu berobat dengan biaya yang realistis, berarti 150 ribu orang. Kalau angka kesakitan 15 % maka akan ada rata-rata 22.500 orang berobat jalan tiap bulan. Dan dari out patient ini akan berobat mondok (opname) 10 % yang berarti 2.250 pasien tiap bulan. Karena waktu itu saingan adalah RS Harapan, Rumkit dan RSU maka saya mengharapkan pangsa pasar sekitar 25 %, yaitu 562 pasien tiap bulan. Ini akan memadai dengan jumlah 50 tempat tidur waktu itu.

Sekarang situasinya pun masih hampir seperti 23 tahun yang lalu itu. Yang berubah hanya biaya pengobatan yang lebih tinggi, pangsa pasar yang bergeser akibat persaingan rumah sakit yang jumlah tempat tidurnya meningkat, walaupun jumlah tempat tidur yang ideal 1 bed untuk 400 penduduk belum tercapai (target Depkes biasanya 1 tempat tidur untuk 1000 penduduk).

Yang menjadi pertanyaan, ke mana sisa penduduk yang 85 persen itu berobat, bagaimana mereka diobati, siapa membayar biaya perobatannya karena mereka belum termasuk golongan mampu membayar biaya pelayanan kesehatan yang optimal, sesuai dengan standar pengobatan berteknologi terkini. Secara gamblang kita berani bilang, bahwa mereka pergi berobat ke tempat pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak dalam posisi mampu menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Artinya pelayanan itu dibawah standar pelayanan yang mampu menyehatkan si sakit. Sebagai catatan, Menkes RI baru-baru ini mengumumkan bahwa Pemerintah akan mengajukan RUU Rumahsakit ke DPR, di mana standar pelayanan akan ditentukan di semua rumah sakit di Indonesia. Ini berarti bahwa dalam kurun waktu yang pendek, tidak boleh lagi rumah sakit melakukan pelayanan asal-asalan seperti sering terjadi selama ini. Apalagi UU Praktek Kedokteran yang akan berlaku tahun ini akan menghukum dokter yang berpraktek tidak sesuai dengan prosedur tetap.

Untuk menjawab pertanyaan kemana orang yang kurang mampu itu berobat, tulisan ini mencoba mencari jalan keluar, fasilitas apa yang bisa disediakan oleh pemerintah dan swasta, sehingga mereka yang 85 persen tidak atau kurang mampu itu mendapat pelayanan yang sesuai dengan prosedur tetap.

Seperti pengalaman pada negara yang sudah maju, pembiayaan pengobatan diatur dengan asuransi atau penjaminan kesehatan, baik itu yang diselenggrakan pemerintah atau swasta. Sistem asuransi kesehatan atau asuransi sakit ini (Jerman: Krankenversicherung, Belanda: zieken fonds, Inggeris: health insurance) sekarang sudah begitu melembaga, sehingga seandainya seorang dari golongan menengah di Eropa sakit dan harus membayar biaya pengobatan mondok di rumah sakit selama 10 hari, dia tidak akan mampu membayarnya kecuali kalau dia menjual sebagian hartanya, misalnya mobil, rumah, dll. Tapi itu namanya kebangkrutan dan memang itulah yang sering terjadi di Sumatera Utara, yakni mereka menjual kerbau atau ladang hanya untuk membayar biaya operasi.

Yang saya bayangkan mungkin dilakukan di Provinsi Sumatera Utara adalah dengan membuat peraturan daerah yang mengatur asuransi keseahtan. Di situ harus ditetapkan siapa yang wajib masuk asuransi (misalnya yang makan gaji), siapa yang merupakan target kampanye untuk ikut asuransi sakit, misalnya orang wiraswasta pemilik kedai kopi, kedai sampah, petani, dst. Pemerintah Kabupaten atau Kota tentu dapat juga membuat Perda khusus sesuai dengan kondisi setempat, misalnya karena fasilitas pelayanan medik belum lengkap.

Satu dewan kesehatan yang terdiri dari unsur pemerintah, rumah sakit, perusahaan asuransi dan organisasi profesi dokter (IDI) akan menghitung biaya pelayanan yang bermutu, termasuk biaya obat, rumah sakit, honor dokter, dll. Dengan bantuan aktuaris yang independen ditentukan premi asuransi dengan standar pelayanan yang ditetapkan itu.

Kalau unsur biaya pelayanan sudah diatur sesuai prosedur tetap, biaya pengobatan akan sama di semua rumah sakit (swasta dan pemerintah) pada komponen tertentu, misalnya komponen obat, komponen instrumen, komponen biaya non obat (makanan, laken, alat kebersihan, dst). Ada juga komponen yang variabel harganya, misalnya honor dokter yang sampai sekarang belum distandardisasi pemerintah. Tetapi mungkin untuk asuransi kesehatan tertentu, ini pun sudah memakai tarif yang disepakati antara dokter dan asuransi kesehatan.

Lantas apa hubungannya dengan upaya menyelamatkan rumah sakit dengan membangun sistem asuransi ini? Seperti disebutkan pada awal tulisan ini, pangsa pasar yang 85 persen itu akan terserap dalam asuransi kesehatan yang tersedia, sehingga mereka pun menjadi mampu berobat sesuai prosedur tetap di rumah sakit sehingga rumah sakit daerah yang selama ini hanya melayani Jaminan Pengamanan Sosial (JPS), Askes dan Askeskin, Jamsostek yang sering menjadi “bisnis rugi” rumah sakit itu akan mendapat pasien baru, atau pangsa pasar baru, yang akan memperbaiki ekonomi rumah sakit itu. Hal yang sama akan berlaku juga untuk rumah sakit swasta milik lembaga agama, pribadi, yayasan atau PT.

Dengan sistem pembiayaan yang makin lama makin mencakup penduduk yang lebih banyak ini (apa lagi kalau anggaran pemerintah dapat dimasukkan dalam program ini), saya yakin bahwa sistem dan kualitas pelayanan medik di Sumut akan membaik, dan rumah sakit pada gilirannya lebih makmur (tidak ada lagi rumah sakit yang kotornya minta ampun, tidak dicet bertahun-tahun, jendela pecah tidak diperbaiki, dll.). Ini berlaku untuk rumah sakit pemerintah daerah dan swasta, dan asuransi itu pun tidak boleh mendiskriminasi atau membedakan rumah sakit swasta dan pemerintah (seperti yang berlaku sekarang untuk Askes pegawai negeri yang hanya boleh dilayani oleh rumah sakit pemerintah).

Mudah-mudahan dengan sistem pembiayaan yang lebih baik ini, pelayanan terus menerus akan mengalami perbaikan dan pada gilirannya orang akan lebih enggan berobat ke Penang, karena di sini pun sudah ada pelayanan medis yang baik.

Sarmedi Purba, dokter, pengamat politik kesehatan, email
sarmedipurba@hotmail.com

No comments: