Thursday, August 18, 2005

Dr. Sarmedi Purba dilantik sebagai Ketua Forum Dokter Pembanding

Dr. Sarmedi Purba, SpOG dilantik
sebagai Ketua Umum Forum Dokter Pembanding (FDP)
oleh Persaudaraan Korban Sistim Kesehatan

Dalam rangka peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-60 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2006 Persaudaraan Korban Sistem Kesehatan melantik Dr. Sarmedi Purba, SpOG sebagai Ketua Umum Forum Dokter Pembanding masa bhakti 2005-2006 di Sekretariat LBH Kesehatan di Jakarta.

Dalam kata-kata penilaian Dr. Sarmedi Purba mengatakan bahwa Undang-Undang yang mengatur dokter yang melakukan malpraktek ada dalam KUHP walaupun kata malpraktek itu sendiri tidak tertulis di dalamnya. Semua larangan yang dilanggar dalam peraturan perundang-undangan dapat dipakai pengadilan untuk menghukum dokter; termasuk prosedur tetap yang diputuskan pimpinan institusi pelayanan di mana dokter bekerja, mengikat dokter dalam tindakannya. Namun menurut Sarmedi banyak peraturan dan undang-undang yang sekarang tidak berjalan, tidak beda dengan UU lalulintas yang tidak dipatuhi pemakai jalan. Cuma kalau peraturan lalin dilanggar bisa ditangkap polisi tapi kalau dokter melanggar aturan main tidak ada pengawas yang selalu memperhatikan.

Karena itu Dr. Sarmedi berpendapat bahwa memperbaiki pelayanan kesehatan di Indonesia berarti harus juga meningkatkan pengawasan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dokter. Jadi dokter tidak ada yang kebal hukum dan harus didisiplinkan sesuai dengan aturan profesi, tidak cukup dengan himbauan berdasar etika, agama dan moral saja. Sesudah 60 tahun merdeka pantas kita mempunyai dokter yang berstandar internasional, sehingga pasien yang membutuhkan pelayanan tidak harus pergi ke Penang atau Singapur. Citra dokter Indonesia harus dikembalikan pada proporsi yang seharusnya sebagai bangsa yang besar.

Sarmedi juga mengkritik bahwa sistim pembiayaan pelayanan kesehatan yang diatur pemerintah melalui PT ASKES, PT JAMSOSTEK belum dapat menyembuhkan penderita yang sakit. Untuk pengobatan keluarga miskin tiap orang sakit diberikan PT ASKES rata-rata Rp 6600 dan PT Jamsostek Rp 3500 per kunjungan berobat jalan. Dalam biaya tsb. Sudah termasuk biaya untuk obat, honor dokter dan perawat. Ini tidak masuk akal, kata Sarmedi dalam pidatonya yang dihadiri oleh Ibu Dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ibu Tuti Indarsih LS, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Iskandar Sitorus, Ketua Pendiri LBH Kesehatan dan 5 keluarga korban sitim kesehatan, yaitu keluarga cicilia (74 tahun) dengan kasus pengusiran rumah sakit, Leonardus (48 tahun) dengan kasus penyanderaan rumah sakit, Again Isna Nauli dengan (33 tahun) dengan penanganan medik yang sangat minimal, Tieva Putri Julianti (7 tahun) dengan kasus keracunan obat dan Marsita Aryani (40 tahun) yang mengklaim sebagai korban malpraktek. Kita harus memperjuangkan sistem yang menjamin bahwa setiap warga mendapat pengobatan yang layak sesuai jenis penyakitnya, bukan sesuai isi kantongnya, tandas Sarmedi.

Dengan dibentuknya Forum Dokter Pembanding maka pasien mempunyai kesempatan untuk mencari second opinion pada kasus yang diajukannya di pengadilan, kata Dr. Ribka Tjiptaning, anggota DPR RI itu. Kalau Forum ini menjadi besar bisa menandingi IDI, kata Dr. Ribka serius. Ibu Tuti, anggota DPR dari Fraksi PAN ini juga menyambut terbentuknya FDP ini karena dia sendiri juga pernah mengalami perlakuan dokter yang dinilainya sudah malpraktek.

Sebelumnya setiap keluarga korban yang diklaim malpraktek menceritakan pengalaman mereka dengan nada emosional dan ada yang sambil menangis, membuat hadirin semua terharu. Pada acara tsb. diadakan juga lomba panjat pohon pinang dengan hadiah obat-batan dan alat perawatan.

Monday, August 15, 2005

FORUM DOKTER PEMBANDING (Visi)

Mengapa kita perlu FDP?
Pemikiran dalam HUT 60 tahun Indonesia merdeka

Oleh Dr. Sarmedi Purba

1. Kedokteran Indonesia sedang sakit dan menderita. Dibutuhkan reformasi total pada sistem pelayanan kesehatan kita. Salah satu unsur untuk memperbaiki adalah mendisiplinkan stakeholder yang terlibat dengan peraturan perundang-undangan.
2. Tujuan utama:
Memberikan pelayanan medik yang sesuai standard medicine masa kini dan mengembalikan citra dokter Indonesia ke taraf inernasional. Untuk itu dibutuhkan:
2.1. pengawasan terhadap aturan perundang-undangan yang
berlaku (UU TIDAK BERGUNA TANPA PENGAWASAN)
2.2. Dokter tidak boleh kebal hukum dan pasien tidak diizinkan
menyalahkan dokter yang bertindak benar.
2.3. Dokter dan pasien harus didisiplinkan dengan hukum dan
tidak cukup dengan etik, agama dan moral.

3. Situasi kita sekarang (sesudah 60 tahun merdeka) adalah:
3.1. Keterbukaan dokter kepada pasien kurang sehingga pasien curiga kalau ada kegagalan. Kalau ada yang meninggal dokter mengatakan takdir yang sudah diaturTuhan (bukan dengan keterangan medis yang lengkap dan ilmiah)
3.2. 6 rumah sakit menolak pasien bayi prematur tidak dapat ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apakah benar hal itu terjadi karena belum ada UU yang mengatur atau peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak diterapkan dengan benar.
3.3. Pelayanan medik jauh dibawah standard internasional (kurang biaya, peralatan, skill dan disiplin petugas). Bayi kembar siam yang dinyatakan tidak layak dioperasi di top referral hospital di Indonesia ternyata berhasil dioperasi dengan gemilang di luar negeri. Teratoma paru yang tidak berhasil didiagnosa di Indonesia dengan mudah ditegakkan di rumah sakit negara jiran kita.
3.4. Tidak ada sistem pembiayaan yang cukup untuk menyembuhkan penderita (khususnya yang kurang mampu apalagi orang miskin). Sekarang diberikan askeskin (asuransi kesehatan rakyat miskin) tetapi biaya pengobatan harus dicukupkan Rp6600 tiap pasien berobat jalan (termasuk biaya dokter, obat, lab. dll).
3.5. Keadaan sanitasi di kota-kota sangat buruk (tidak ada riolisasi tertutup dan instalasi pengolahan limbah-ingat: riolisasi adalah yang pertama dilakukan pada peradaban Romawi 3000 tahun yang lalu) sehingga DHF dan Cholera menjadi rutinitas dari tahun ke tahun. Kita mengeluh tiap tahun seakan-akan wabah itu harus timbul di setiap musim hujan atau kemarau, tetapi di negara tetangga kita yang sanitasinya baik, penyakit tersebut tidak dikenal lagi oleh penduduknya. Jadi rakyat Indonesia didiskriminasi dalam nasibnya untuk mencapai derajat kesehatan yang layak.

4. Mengapa kita sampai pada situasi yang begitu gawat?
4.1. Keadaan di atas terjadi karena petugas kesehatan (termasuk dokter) sudah terbiasa bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang diterimanya di sekolah/fakultas: pemberian obat dasar yang tidak akan menyembuhkan penyakit, tidak membuat rekam medik dengan benar karena belum ada yang ditindak sebagai akibat perbuatan tsb. Pokoknya di Puskesmaas dan RSU tidak perlu menurut standar karena kita belum mampu membuatnya, tidak cukup biayanya dan tidak ada hukumannya kalau tidak berbuat prosedur yang benar. Situasi ini berkembang juga di RS swasta karena dokter-dokter yang bekerja di situ kebanyakan adalah pegawai negeri.
4.2. Cara pelayanan kita dengan cara yang tidak realistis tidak dapat kita pertahankan karena orang sekarang sudah bebas berobat ke luar negeri dan membandingkan cara pengobatan kita dengan cara di sana. Ini membahayakakan sistem pelayanan kesehatan kita yang terus menerus merosot kualitasnya.

5. Apa opsi kita?
5.1. Melaksanakan pelayanan medik yang ketat sesuai dengan prosedur baku school of medicine. Ini akan meningkatkan standar pelayanan kepada pasien (termasuk “rakyat miskin”). Ini akan menyulitkan petugas yang selama ini tidak disiplin dalam tugasnya (sudah terbiasa begitu) dan kemungkinan mereka akan melakukan perlawanan. Namun citra dokter Indonesia akan terangkat setara dengan dokter di luar negeri. Yang takut dalam masalah hukum ini biasanya hanya dokter yang nakal dan lalai/anggap enteng: tidak melengkapi rekam medik, indikasi tindakan medik yang kurang jelas atau komersial. Kita berpendapat bahwa pelayanan hukum untuk pasien tidak kurang pentingnya dari pelayanan medik itu sendiri (memberikan perlindungan hukum oleh dokter kepada pasien tidak kurang pentingnya dari pada pelayanan medik yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia).

5.2. Membangun sistem asuransi/penjaminan pembiayaan pelayanan medik yang ralistis. Sekarang biaya berobat yang disediakn dengan sistem yang ada oleh pemerintah tidak akan menyembuhkan pasien, misalnya dengan Jamsostek, Askes pegawai negeri dan sekarang askeskin (askes rakyat miskin). Menurut pengamatan saya Jamsostek menyediakan dana rata-rata Rp 3500 dan Askeskin Rp6600 untuk setiap kunjungan berobat jalan). Ini menambah rumitnya sistem pelayanan medik di Indonesia karena selain petugas kesehatan dipaksa untuk mengelola dengan biaya yang tidak masuk akal, pasien miskin diobati dengan cara yang diskriminatif dan tidak memenuhi standard. Opsi yang tersedia untuk askeskin adalah menghitung dengan benar berapa biaya rata-rata yang realistis untuk penyembuhan orang sakit (apakah yang kurang mampu atau miskin). Kalau dana belum mencukupi lebih baik dilakukan bertahap dengan dimulai pada sebagian saja dahulu dari rakyat miskin, tetapi dengan biaya yang memadai/realistis. Dengan cara ini standar pelayanan medik itu ditata kembali dan pada waktunya citra petugasnya, khususnya dokter, akan terangkat. Kalau sekarang setiap warga miskin diasuransikan Rp 5000/bulan pada PT ASKES sebaiknya diubah menjadi minimal Rp30.000/bulan dan sementara hanya 1/6 dari warga miskin dilayani. Tentu harus dilakukian pengawasan yang ketat (pelanggaran harus diganjar dengan pidana penipuan/pemalsuan termsuk oleh lurah yang memberikan kartu askeskin kepda orang mampu/bukan miskin).

6. Anjuran:
6.1. Forum Dokter Pembanding (FDP) melayani penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan penasehat hukum) untuk tampil sebagai saksi ahli yang independen.
6.2. FDP merumuskan kebijakan alternatif sebagai pembanding kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kelayakan yang berlaku masa kini.
6.3. Hasil yang diharapkan kalau anjuran ini dilaksanakan adalah peningkatan standar pelayanan medik untuk orang sakit dan terangkatnya citra dan standar kualifikasi dokter Indonesia.
6.4. memasyarakatkan FDP sehingga dapat diterima masyarakat penegak hukum sebagai badan yang independen.
6.5. Merumuskan usul-usul alternatif mengatasi kegawatdaruratan sistem pelayanan kesehatan kita sekarang.

Jakarta. 17-8-2005



(Dr. Sarmedi Purba)