Friday, March 06, 2009

Diskusi Kesehatan: Penjaminan Pelayanan Kesehatan

Diskusi lanjutan tentang pelayanan kesehatan 8 Maret 2009:
Pak Billy dan pak Firman,
Saya senang karena satu hal kita bertiga sependapat: Jamkesmas itu bukan sistem penjaminan asuransi (health insurance) tapi hanya dana sosial. Saya juga menentang dan protes pengalihannya dari sistem Askeskin ke Jamkesmas pada tulisan-tulisan saya tahun lalu.
Saya juga setuju bahwa Menkes tdk punya konsep karena presiden juga tak punya sebelum dipilih. Jadinya suka-suka Menkes, kabarnya staf ahlinya atau dirjennya pun tidak ditanya.
Apakah kita punya hak untuk protes sebagai yang tidak terlibat dalam proses perencanaannya? Tentu sulit karena kita tidak punya acuan yang sudah disetujui oleh presiden sebelum terpilih jadi presiden. Menkes kan menurut peraturan perundang-undangan hanya pembantu presiden. Menkes tidak punya konsep semula karena dia baru tahu jadi menteri setelah presiden terpilih.
Nah ini maksud saya perlunya proses politik sebelum Pilpres 2009 agar kebijaksanaan suka-suka Menkes seperti yang kita tuduhkan sekarang tdk terulang.
Misalnya kita susun satu konsep rinci tentang visi kesehatan kita, konsep ini diajukan kepada satu atau beberapa capres. Kalo capresnya terpilih maka siapapun menkesnya, program itu harus dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, kita bisa tuntut dengan class action sebagai pembohongan publik.
Inilah gunanya kita mengadakan tekanan poilitik yang lebih ampuh dari tekanan organisasi profesi seperti IDI, ISFI, IBI, PERSI, dll.
Inilah juga gunanya melibatkan parpol peserta Pemilu karena itulah satu-satunya jalan yang benar dan ampuh pada sistem yang berlaku sekarang.
Bahwa parpol kita dan calegnya kurang baik sekarang, saya setuju 100%. Tetapi bukankah itu juga tugas kita sebagai kaum intelektual untuk memperbaikinya? Kita tidak menyumbangkan perbaikan kalau kita hanya mencaci maki mereka. Yang baik mengajukan alternatif, menekan mereka dengan dukungan rakyat. Kita tidak harus menunggu sampai kita sepintar rakyat Amerika. Sekarang kita juga bisa! NOW WE CAN.
Salam
Sarmedi
http://sarmedipurba .blogspot. com

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
--------------------------------------------------------------------------------
From: "Billy N."
Date: Wed, 11 Mar 2009 00:42:21 +0700
To: XD
Subject: [des-kes] Re: sistem penjaminan pelkes

halo rekan-rekan
Prof.Firman, apa yang saya sampaikan bukan sesuatu yang bagus, hanya
ungkapan hati belaka. Jadi rasanya belum tepat kalau saya sampai dibutuhkan
oleh rekan-rekan yang sudah jauh lebih berilmu & berpengalaman dibanding
saya.
Indonesia jelas butuh menkes yang bagus, misalnya seperti alm Dr.Leimena.
Hanya sayangnya ketika ada banyak orang yang bagus, tapi nggak dipilih oleh
presiden untuk menjadi menkes. Menkes saat ini lebih jadi pelaksana belaka,
tanpa program, tanpa arahan, seperti kata Pak Haris. Kalau kita bisa usulkan
menkes berikut programnya, sangat bagus...
Di tingkat daerah, IDI, IAKMI, IBI, ISFI, PPNI, dst setempat juga harus
memberi tekanan untuk memperoleh kadinkes (provinsi & kab/kota) yang bagus.
Kita nggak masalah berpolitik dalam artian sesungguhnya, yaitu untuk
kepentingan rakyat, bukan untuk cari untung atau posisi.
Saya setuju dengan Prof.Firman mengenai jamkesmas yang salah nama & salah
isinya. Ini program yang salah & nggak sesuai UU SJSN yang mungkin nggak mau
dipakai oleh presiden sekarang karena disahkan presiden sebelumnya.
Dr.Sarmedi, justru di Indonesia buat apa politisi mau populis soal
kesehatan? Kurang ada gunanya karena soal kesehatan bukan isu utama. Lihat
aja program-program caleg atau capres soal kesehatan, sangat dangkal,
abstrak, & ngaco selain hanya jadi pelengkap belaka. Sepertinya mereka nggak
pernah konsultasi dengan para pakar kesehatan masyarakat yang sebetulnya
sudah sangat banyak di negeri ini.
Justru seharusnya ketika rakyat nggak perhatikan soal isu kesehatan seperti
sekarang, saatnya untuk meletakkan dasar yang baik yang justru nggak
populis. Isu kesehatan saat ini bukan penentu seorang calon dipilih jadi
anggota legislatif/presiden di negeri ini. Kalau rakyatnya sudah 'melek'
seperti di USA sih sudah terlambat untuk meletakkan dasar, jadi terpaksa hal
populis yang didahulukan.
Ini saatnya para ahli kesehatan masyarakat (saya nggak termasuk) untuk
'ribut', diskusi, berembuk, dalam menentukan konsep pelayanan kesehatan
masyarakat yang tepat untuk meletakkan dasar & jangka panjang, lalu setelah
sepakat, konsep terbaiknya diberikan ke pemerintah & DPR selain diumumkan ke
masyarakat. Kalau perlu sekalian dengan usulan draft UU kesehatan yang baru.
Hal serupa juga bisa dilakukan di daerah (provinsi & kab/kota) & memberi
usulan berbagai perda dalam bidang kesehatan.
Kita nggak bisa berharap pada rekan-rekan kita yang ada di DPR/DPRD, karena
mereka justru lebih sibuk berpolitik secara umum dari pada perjuangkan
kepentingan rakyat dalam hal kesehatan. UU Kesehatan yang baru aja
sepertinya nggak selesai atau dipaksa diundangkan pada 'injury time' sama
seperti UU praktik kedokteran yang akhirnya isinya banyak yang 'ngaco'.
Rekan-rekan di depkes pun sepertinya jadi birokrat sejati, bukan pelayan
masyarakat. Lihat banyak permenkes yang ngawur isinya, seperti dibuat tanpa
legal drafting & academic review yang baik.
rgds
Billy
---
Diskusi di milis desentralisasi kesehatan 7 Maret 2009 (pendapat Sarmedi Purba atas posting dr Billy N, Prof Firman Lubis dan dr Edhie S Rahmat):
Pak Billy, pak Firman, pak Edhie dan teman netters,
Memang kebijakan pemerintah harus populis dan positif. Coba kalo pak Billy buat kebijakan tandingan, misalnya jamkesmas ditiadakan mulai 2010 ditawarkan melalui PG ato PDIP, apakah kebijakan itu dipilih rakyat?
Obama dipilih rakyat antara lain karena konsep health insurance untuk orang tua atau yang kurang mampu.
Ini yang saya maksud dengan politik kesehatan yang tidak pernah ditawarkan oleh capres atau caleg partai kepada rakyat.
Jadi selama ini semua ditentukan experts tanpa menanya rakyat. Rakyat dianggap bodoh oleh ahli kesehatan masyarakat.
Cost sharing pak Edhie saya setuju, misalnya semua yang bekerja dibayar preminya fifty-fifty oleh majikan dan pekerja. All in all saya usulkan 1/3 penduduk yg miskin diasuransikan pemerintah melalui APBN, 1/3 yang mampu diwajibkan masuk asuransi melalui UU, bisa pilih asuransi apa saja yang sudah diakreditasi bisa menanggung biaya pelkes minimal dan mampu menyembuhkan. Nah, sisanya yang 1/3 lagi yang pelik. Mereka tergolong SADIKIN, asal sakit jatuh miskin. Mereka yang mutlak cost sharing. Misalnya separuh dibayar pemerintah. Ada juga mereka ini yang benar tidak mampu, hanya karena luput dari penghitungan sensus nasional, atau karena standard miskin yang sudah kedaluwarsa. Inilah yang diprotes di Siantar, dan inilah juga yang diurus Kadiskes Prov SU dengan anggaran provinsi dan kabupaten di seluruh SU.
Jadi 100% penduduk provinsi dicover asuransi. Uang asuransi pun berputar, RS dapat kerjaan dan uang masuk, pelkes dokter dan provider bersaing dan mudah-mudahan kualitasnya lambat laun meningkat. Ini teori spiral yang lambat laun berputar ke atas, bukan teori lingkaran setan yang dengan cutting pada satu titik circle semua jadi beres (teori ini tidak pernah terbukti).
Lalu gimana dengan program preventif, promotif dan rehabilitatif? Ini tentu sangat penting dan program ini tidak boleh meniadakan program kuratif dan sebaliknya. Program-program ini kan menyangkut pada anggaran non depkes, khususnya program income rising, pembangunan infrastruktur, dll. Kalo pendapatan gakin meningkat dan dibuktikan di sensus nasional, tentu beban APBN bisa menurun. Demikian juga halnya dengan 1/3 penduduk SADIKIN, kita harapkan angkanya menurun dengan kemakmuran yang terus meningkat. Idealnya hanya 10% gakin yang harus menjadi beban pemerintah.
Akan halnya Askes PNS yang cemburu melihat Gakin yang berobat tanpa cost sharing dan pelkesnya tidak berkelas, inilah sebenarnya kerjaan expert. Berapa sih sebenarnya premi askes agar cukup dan bisa menyembuhkan dan dokternya tidak underpaid? Apakah bisa Rp10rb/orang/ bulan seperti di PT Askes untuk PNS? Apakah Jamkesmas cukup Rp 5rb, apakah Jamsostek berobat jalan yang expensenya Rp6rb per kunjungan feasibel. Apakah JPKM yang dianggarkan Rp2300/orang/ bulan yang dikelola Asuransi Kesehatan Syariah untuk yang kurang mampu di kota Medan masuk akal? Ini kan harus dikomentari oleh ahli kesehatan masyarakat, aktuaris, IDI, PERSI, dll. Kalo angka-angka ini sudah benar, pengelolaan kesehatan di Indonesia akan lebih mudah.
Salam sehat
Sarmedi
Sarmedipurba@ blogspot. com

Pendapat dr Billy N:

halo...
Prof.Firman, sulitnya peningkatan kesehatan itu nggak 'berasa', para
pengambil kebijakan nggak suka karena nggak populis, apalagi sekarang dekat
pemilu. Pengobatan gratis jelas lebih populis...
Pengobatan gratis itu sangat-sangat nggak mendidik, bahkan disuruh bayar Rp
500 pun sudah memberi perbedaan antara yang benar-benar sakit atau cuma mau
kumpulkan obat & minta diukur tekanan darah...
Yang gratis juga nggak enak untuk pelaksananya karena sementara dana kurang,
jadilah para pelaksananya 'kerja bakti'. Jangan harap layanan bagus dari
'kerja bakti'. Yang beri dana (pembayar pajak) pun nggak dilayani, jadilah
mereka malas bayar pajak sampai harus diancam...
Mungkin Prof.Firman harus jadi menkes supaya ini bisa dibereskan.. . Berani
nggak IDI, IAKMI, ISFI, dst berembuk & usulkan menkes? Capres yang mau pilih
calon menkes dari kita patut kita dukung...
Apa yang dituliskan Pak Edhie itu memang menyakitkan. .. Banyak PNS yang
kerja di RS 'sirik' pada pemegang jamkesmas yang seperti 'raja', nggak bayar
apapun sementara mereka yang sudah dipotong gajinya tiap bulan, kalau sakit
pun masih tetap harus ada 'cost sharing'...
Benar-benar negeri mabok yang 'tanpa masa depan'... :(
rgds
Billy

Pendpat Dr Edhie S Rahmat:
Pak Sarmedi,

Nampaknya kita perlu bedakan antara pengobatan gratis dengan pre-paid health care. Dalam kasus sumut ini memang pre-paid scheme, tetapi yang mbayari kaum yg tak tercakup sistem kerja terorganisir (Askes, Jamsostek dll) adalah Pemda..yang asal uangnya adalah dari pajak rakyat juga. Saya ragu bahwa mereka adalah kaum yang hampir miskin, tetapi sangat mungkin mereka adalah pedagang2 atau wiraswasta2 yang penghasilannya di atas rata2. Kalau ini yang mau dilakukan maka tidak ada keadilan (inequity) dalam pelaksanaannya.

Seingat saya tahun lalu dilakukan evaluasi terhadap Askeskin, sebelum namanya diubah menjadi Jamkesmas. Salah satu hasilnya adalah "over-use" dari skema yang ada karena tidak diperkenalkannya "cost sharing" sehingga cenderung memanjakan peserta (bahkan non peserta yg berusaha jadi peserta), sehingga perhatian terhadap tindakan pencegahan (terhadap penyakit) dan ke-hati2an terhadap kemungkinan kecelakaan kerja/lalu lintas menjadi terabaikan. Saya lebih setuju apabila "cost sharing" ini diperkenalkan sebagaimana diperkenalkan di Kodya Surakarta, yaitu masyarakat yang miskin benar2 "no cost sharing", tetapi untuk kaum lainnya diterapkan "cost sharing" sesuai tingkat sosialnya (kesejahteraannya) dalam hal mereka menggunakan pelayanan, tetapi juga perlu adanya "sharing" dalam hal pembayaran preminya (ada paket yang berbeda). Mengapa perlu premi berbeda karena kalau kita mengandalkan anggaran publik, maka keberlanjutannya akan sangat tergantung "siapa" yang memegang kuasa mengalokasikannya. Oleh karena itu, prinsip asuransi perlu diperkenalkan melalui "sharing" premi, yang perlu ditingkatkan untuk tahun2 ke depannya.

Kalaulah pemerintah pusat mempunyai perhtian terhadap pencapaian MDGs, maka alokasi pemerintah pusat perlu fokus kepada tindakan promosi dan prevensi..dalam hal mana fokus kepada pengendalian penyakit menular yang tidak kenal batas wilayah (spill over), memperbaiki pelayanan guna menurunkan AKI, AKB dlsb. Alokasi anggaran yang mendanai rumah sakit, peralatan medik RS, dlsb sudah selayaknya tidak dilakukan lagi karena pusat perlu berpindah menuju fungsi regulator dan supervisory. Demikian pula fungsi propinsi juga semestinya beralih dari lebih kearah fungsi monitoring program dan pengawasan pelaksanaan SPM.

Edhie S RAHMAT

Pendapat Prof Dr Firman Lubis:
Teman-teman yang baik,
Saya ingin memberikan pendapat saya mengenai pengobatan gratis dan asuransi kesehatan yang sekarang banyak digembar-gemborkan ini.
Pertama, ada perbedaan yang mendasar antara pengobatan gratis dan program atau upaya meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Saya kira yang harus kita lakukan adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kita sesuai dengan UUD dan UU Kesehatan kita. Juga untuk meningkatkan produktivitas dan kemajuan bangsa kita. Ukuran taraf kesehatan indikatornya sudah sangat jelas misalnya angka kematian terutama bayi, anak dan ibu, angka kesakitan dan harapan hidup. Jelas, pengobatan gratis tidak akan dan tidak bisa meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Malah bisa lebih memperburuk kesehatan bila pengobatan yang dilakukan tidak rasional dan tidak sesuai SPM dan SOP seperti yang kita saksikan masih banyak terjadi di tempat pelayanan kesehatan kita.
Yang kedua, pengobatan sesungguhnya tidak ada yang gratis. Karena memerlukan dana/anggaran untuk bayar tenaga, fasilitas dan obat-obatan. Dana ini bisa dibayar rakyat melalui pajak; atau iuran/premi asuransi; atau out of pocket (fee for service) seperti yang selama ini banyak berlaku di kita. Yang dibilang pengobatan "gratis" itu ialah karena dibayar dari APBN/APBD yang asalnya dari pajak rakyat dan dikelola oleh pemerintah. Seperti Jamkesmas sekarang ini. Seringkali dana yang disediakan tidak cukup (atau tidak akan pernah cukup) sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti pelayanan yang kurang bermutu atau dipersulit.
Nah sekarang terserah kita semua, mau meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kita yang sekarang ini cukup buruk (dilihat dari indikator kesehatan) atau mau memberikan pengobatan gratis ala Jamkesmas yang dijalankan Depkes sekarang ini?
Untuk yang pertama perlu penanganan yang lebih komprehensif, holistik dan berjangka panjang. Intinya yaitu membangun suatu sistem pelayanan kesehatan yang efektif dan berkualitas secara terencana secara terus menerus. Terutama dengan menekankan pada edukasi dan pemberdayaan masyarakat, upaya promotif-preventif, sistem pendanaan jaminan pemeliharaan kesehatan yang sebenarnya (a.l. prepayment dan kapitasi dengan pelayanan dokter keluarga sebagai tulang punggung dan gate keeper sistem pelayanan kesehatan), sistem rujukan yang rasional dan profesional, peran pemerintah yang lebih sebagai regulator dan fasilitator kecuali untuk rakyat miskin dan terpencil dsb. yang akan cukup panjang bila harus diuraikan semuanya disini. Termasuk pula pembenahan pendidikan profesi kesehatan khususnya dokter.
Sedangkan untuk yang kedua yaitu pengobatan gratis, sangat digandrungi oleh para politisi dadakan untuk menarik simpati masyarakat/pemilih (cari suara), padahal sangat costly, tidak mendidik masyarakat dan tidak akan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Tetapi cukup populis karena pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang kesehatan yang masih kurang. Kesehatan taunya kalau sakit berobat.
Menurut saya urusan kesehatan masyarakat terlalu berharga dan sangat riskan sekali bila diserahkan pada politisi!!

Salam,
Firman

Topik Berita: 2010 SEMUA WARGA SUMUT BISA BEROBAT GRTIS
Dear pemilis,
terlampir kliping koran Kantor Berita ANTARA tentang asuransi kesehatan di Sumatera Utara. Gerakan sistem penjaminan pelkes bergulir terus di daerah dan mudah-mudahan merambat terus ke semua provinsi dan kabupaten kota. Ini baru namanya desentralisasi kesehatan...
Sarmedi
Kantor Berita Antara:
2010 SEMUA WARGA SUMUT BISA BEROBAT GRTIS
Pada 2010 seluruh penduduk Provinsi Sumatera Utra (Sumut) ditargetkan memiliki asuransi kesehatan dan mendapatkan pelayanan pengobatan gratis melalui sarana pelayanan kesehatan yang ditentukan. “Target kami pada 2010 bisa memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada seluruh warga Sumut,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Chandra Syafei pada rapat kerja dengan Komisi E DPRD Sumut, di Medan Selasa.
Pelayanan kesehatan gratis tersebut akan diberikan melalui pos kesehatan desa, puskesmas pembantu, puskesmas dan RSUD di provinsi tersebut. “Provinsi akan melakukan advokasi dan telah memperhitungkan anggaran jika semua penduduk Sumut mendapat pengobatan gratis pada pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan rujukan RSUD kelas III,” ujarnya.
Chandra Syafei menyebutkan berdasarkan data 2007 jumlah penduduk Sumut sebanyak 12,123 juta jiwa dengan masyarakat miskin berjumlah 4,124 juta jiwa (34,02 persen). Dari jumlah penduduk sebanyak itu, 5,427 juta jiwa di antaranya bukan masyarakat miskin dan / atau sudah tercatat sebagai peserta asuransi kesehatan baik peserta sektor formal (PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri) maupun peserta askes komersial. Dengan demikian, jumlah penduduk Sumut yang sama sekali belum mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) sekitar 6,7 juta atau 55,23 persen. “Jika 6,7 jiwa penduduk Sumut diasuransikan dengan premi Rp5.000 per bulan atau Rp 60.000 per tahun, dibutuhkan anggaran sebesar Rp 402 miliar per tahun untuk mengasuransikan mereka,” katanya.
Kebutuhan anggran sebesar itu akan ditnggung bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan perbandingan 25:75, sehingga provinsi akan berkontribusi sebesar Rp 100,5 miliar atau 25 persen dari Rp402 miliar.
Menurut Chandra Syafei, Menteri Kesehatan juga sudah menginstruksikan kepada Dinas Kesehatan Sumut untuk segera menyertakan seluruh penduduk Sumut dalam program asuransi kesehatan. “Kami diminta Menkes untuk mencontoh Sumatera Selatan yang telah memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada seluruh warganya dan kami segera menerapkannya. Ke depan masyarakat Sumut cukup menunjukkan KTP jika mau berobat,” katanya. (ant)

Berita: Protes Serikat Rakyat Miskin:

Dear netters,

nampaknya kesadaran politik masyarakat akan penanggulangan masalah kesehatan tumbuh terus. Dari berita koran Sinar Indonesia Baru terbitan Medan hari ini (terlampir) rakyat menuntut agar semua masyarakat kurang mampu diberikan akses pengobatan melalui asuransi kesehatan yang diatur dalam PERDA.

Mudah-mudahan gagasan ini menjalar kesemua penjuru tanah air.

Salam
Sarmedi

Kliping SIB 5 Maret 2009:

Massa Rakyat Miskin Datangi DPRD dan Balai Kota P Siantar Tuntut Perda Jamkesda
Posted in Marsipature Hutanabe by Redaksi on Maret 5th, 2009
Pematangsiantar (SIB)
Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) kota Pematangsiantar untuk ketiga kalinya kembali mendatangi kantor DPRD dan kantor walikota Siantar meminta agar Jamkesda segera d- Perda-kan demi peningkatakan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Namun aspirasi massa SRMI tersebut tidak sampai kepada para wakil rakyat tersebut sebab tidak satupun para anggota DPRD menyambut kehadiran SRMI. Secara spontan salah satu juru bicara Randy Syahrizal mengatakan bahwa para anggota DPRD tidak punya hati nurani. “Kami akan beritahukan kepada rakyat bahwa mereka tidak perlu lagi berhak dipilih sebagai wakil rakyat,” katanya.
Sesampainya di gerbang kantor Balai Kota P Siantar, dua orang utusan dari SRMI diterima Asisten I Drs Jonson Simanjuntak menyampaikan draf Jamkesda sesuai yang diminta oleh pihak eksekutif beberapa hari yang lalu. Eksekutif berjanji akan memperoses draf tersebut untuk diajukan menjadi Perda.
Randy Syahrizal dalam orasinya mengatakan, mengapa harus ada Perda Jamkesda. Menurutnya, hal itu mempunyai dasar hukum.dasar hukum program Jamkesmas adalah UUD 1945, UU No 23 tahun 1992, UU No 01 tahun 2003 dan UU No 45 tahun 2007. Program layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dulu bernama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Sekarang masalahnya bagaimana nasib rumah tangga miskin yang luput dari pendataan pemerintah dan yang tidak dianggap miskin oleh pemerintah. Dan yang mendasar ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan masyarakat miskin.
Persolan inilah menurut dia menjadi dasar pijakan penerbitan perda Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesda). Semangat itu muncul sesuai kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat pada tanggal 10 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas yang luput dari pendataan tetap akan dilayani hak kesehatannya dengan klaim anggaran dari APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota. (S5/g)

Thursday, March 05, 2009

Wujudkan Pemekaran Kabupaten Simalungun

Daerah 05-03-2009
*jannes silaban
MedanBisnis – Siantar
Anggota DPR yang terpilih dari Sumut III diharapkan terus mengaspirasikan terwujudnya pemekaran Kabupaten Simalungun. Pencetusan pemekaran itu sudah lama dilakukan yakni semenjak tahun 2003 lalu.
Demikian dijelaskan tokoh masyarakat Simalungun, Dr Sarmedi Purba, saat menggelar diskusi Pemekaran Simalungun dengan Caleg DPR Sumut III dari Partai Golkar, Ali Wongso Halomoan Sinaga, di Siantar. Menurut Sarmedi, berikut dengan belum terbitnya peraturan terbaru soal pemekaran maka proses pengajuan pemekaran tersebut dihentikan.
Sarmedi mengatakan, pemekaran Kabupaten Simalungun berbeda dengan pemekaran daerah lain karena secara potensi ekonomi dan potensi wilayah Kabupaten Simalungun sangat layak untuk dimekarkan. “Akan tetapi, entah mengapa proses pemekaran Simalungun prosesnya sangat lamban. Proses pemekaran Simalungun sudah sampai di DPR-RI, sehingga sangat dibutuhkan peran serta anggota DPR-RI untuk mendukung terwujudnya aspirasi tersebut,” terangnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Simalungun lainnya, Marim Purba, lambannya proses pemekaran Simalungun dikarenakan ketidakseriusan anggota DPR-RI untuk mengurusnya di Jakarta. Katanya, jika anggota DPR-RI serius sudah dari dulu Simalungun mekar.
Menanggapi hal tersebut , Ketua DPP-Partai Golkar Ir Ali Wongso Sinaga mengatakan bahwa dirinya juga sudah mendengar dari berbagai pihak tentang aspirasi pemekaran Kabupaten Simalungun. Sebagai salah seorang ketua DPP Partai Golkar Ali Wongso mengatakan jika memang pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat maka sangat patut untuk didukung.