Saturday, December 26, 2009

Christmas in Bangkok

Merry Christmas and a Happy New Year.
We are happy to greet you here with a Christmas Dance of our Rosa and Clara in

http://www.youtube.com/watch?v=JkIGVn4chuI

Monday, September 21, 2009

Masukan untuk Seminar Nasional Universitas Simalungun

Masukan untuk
SEMINAR NASIONAL
PASCA SARJANA UNIVERSITAS SIMALUNGUN
3 Oktober 2009
Dari RS Vita Insani Jalan Merdeka 329 Pematangsiantar
www.vita-insani.co.id

Dengan dasar pemikiran bahwa hanya daerah dan lingkungan yang sehat dapat dikembangkan perekonomian, pendidikan dan kehidupan yang sehat, maka fokus usulan kami adalah memberikan jalan agar dasar kehidupan masyarakat harus sehat.

Dasar itu adalah kondisi sehat untuk rumah, lingkungan rumah, udara dan air di mana penduduk bermukim. Memang kesehatan itu bukan segalanya, namun tanpa kesehatan semuanya akan menjadi sia-sia.

Dengan melihat kondisi kota Siantar saat ini usulan yang perlu kiranya dipertimbangkan adalah sbb:
1. Semua selokan air diubah menjadi sistem tertutup (seperti yang sudah dikonsep sejak zaman Belanda di Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka). Sebenarnya peradaban diawali dengan pembuatan sistem riolisasi (zaman Romawi 2000 tahun lalu). Sistem selokan terbuka seperti di Siantar mengundang banyak penaykit, khususnya yang aktual adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Pembangunan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) kota Pematangsiantar. Seluruh air limbah disatukan dalam satu sistem, di mana air limbah dipool, diproses sehingga tidak beracun, tidak menyebarkan penyakit, artinya dibersihkan minimal 50% baru dibuang ke sungai. Untuk mendukungnya perlu pengolahan limbah padat yang dapat memproduksi pupuk buatan (sudah berjalan sebagian).
3. Pengumpulan dan transportasi sampah rumah tangga secara tertutup. Warga diwajibkan mengumpul sampah rumah tangga dalam keadaan tertutup, dalam kantongan atau tempat sampah tertutup rapat, diangkut dengan truk sampah tertutup dan dikumpulkan di tempat pembuangan akhir yang memenuhi syarat kesehatan.
4. Mewajibkan PAM memproduksi air minum yang benar-benar laik untuk diminum, bebas dari kuman dan zat kimia yang membahayakan kesehatan. Teknologi untuk itu sudah lama tersedia dan tidak susah diperoleh.
5. Semua jalan harus dibangun dengan perangkat lokasi pedestrian, sehingga pejalan kaki mempunyai jalur sendiri, tidak berebutan jalurdengan kenderaan. Pedestrian yang ada di Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka harus dirapikan, dibebaskan dari parkiran kenderaan roda dua.
6. Pemindahan sebagian aktivitas Pasar Horas ke pasar yang baru di lokasi baru, dilaksanakan dengan sistematis dan memberikan nilai tambah untuk para pedagang, termasuk pedagang kaki lima.
7. Meniru sistem kota modern di negara yang lebh maju, Siantar diusulkan membuat jalan Sutomo dan Jalan Merdeka Atas menjadi daerah shopping area yang dibenahi secara modern, dengan memperhatikan kenyamanan, keamanan berbelanja. Untuk itu dibutuhkan lokasi parkir atau gedung perparkiran baru, jalan bypass yang mengelilinginya, kalau perlu sebagian dibawah tanah.
8. Terakhir adalah sistem asuransi kesehatan untuk seluruh warga Siantar. Ini sesuai dengan UU Kesehatan yang baru disahkan DPR RI 14 September lalu. Selain Jamkesmas, Jamsostek, Askes PNS dan Askes perusahaan swasta, bank dan PTPN, setiap warga diwajibkan menjadi anggota asuransi kesehatan. Untuk golongan kurang mampu, disubsidi melalui APBD secara bertahap, untuk yang mampu diwajibkan untuk bayar sendiri.


Sebagian upaya ini sebaiknya didukung dengan PERDA, sebagian dengan SK Walikota.

Pematangsiantar, 18 September 2009

Masukan untuk Seminar Nasional Universitas Simalungun

Masukan untuk
SEMINAR NASIONAL
PASCA SARJANA UNIVERSITAS SIMALUNGUN
3 Oktober 2009
Dari RS Vita Insani Jalan Merdeka 329 Pematangsiantar
www.vita-insani.co.id

Dengan dasar pemikiran bahwa hanya daerah dan lingkungan yang sehat dapat dikembangkan perekonomian, pendidikan dan kehidupan yang sehat, maka fokus usulan kami adalah memberikan jalan agar dasar kehidupan masyarakat harus sehat.

Dasar itu adalah kondisi sehat untuk rumah, lingkungan rumah, udara dan air di mana penduduk bermukim. Memang kesehatan itu bukan segalanya, namun tanpa kesehatan semuanya akan menjadi sia-sia.

Dengan melihat kondisi kota Siantar saat ini usulan yang perlu kiranya dipertimbangkan adalah sbb:
1. Semua selokan air diubah menjadi sistem tertutup (seperti yang sudah dikonsep sejak zaman Belanda di Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka). Sebenarnya peradaban diawali dengan pembuatan sistem riolisasi (zaman Romawi 2000 tahun lalu). Sistem selokan terbuka seperti di Siantar mengundang banyak penaykit, khususnya yang aktual adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Pembangunan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) kota Pematangsiantar. Seluruh air limbah disatukan dalam satu sistem, di mana air limbah dipool, diproses sehingga tidak beracun, tidak menyebarkan penyakit, artinya dibersihkan minimal 50% baru dibuang ke sungai. Untuk mendukungnya perlu pengolahan limbah padat yang dapat memproduksi pupuk buatan (sudah berjalan sebagian).
3. Pengumpulan dan transportasi sampah rumah tangga secara tertutup. Warga diwajibkan mengumpul sampah rumah tangga dalam keadaan tertutup, dalam kantongan atau tempat sampah tertutup rapat, diangkut dengan truk sampah tertutup dan dikumpulkan di tempat pembuangan akhir yang memenuhi syarat kesehatan.
4. Mewajibkan PAM memproduksi air minum yang benar-benar laik untuk diminum, bebas dari kuman dan zat kimia yang membahayakan kesehatan. Teknologi untuk itu sudah lama tersedia dan tidak susah diperoleh.
5. Semua jalan harus dibangun dengan perangkat lokasi pedestrian, sehingga pejalan kaki mempunyai jalur sendiri, tidak berebutan jalurdengan kenderaan. Pedestrian yang ada di Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka harus dirapikan, dibebaskan dari parkiran kenderaan roda dua.
6. Pemindahan sebagian aktivitas Pasar Horas ke pasar yang baru di lokasi baru, dilaksanakan dengan sistematis dan memberikan nilai tambah untuk para pedagang, termasuk pedagang kaki lima.
7. Meniru sistem kota modern di negara yang lebh maju, Siantar diusulkan membuat jalan Sutomo dan Jalan Merdeka Atas menjadi daerah shopping area yang dibenahi secara modern, dengan memperhatikan kenyamanan, keamanan berbelanja. Untuk itu dibutuhkan lokasi parkir atau gedung perparkiran baru, jalan bypass yang mengelilinginya, kalau perlu sebagian dibawah tanah.
8. Terakhir adalah sistem asuransi kesehatan untuk seluruh warga Siantar. Ini sesuai dengan UU Kesehatan yang baru disahkan DPR RI 14 September lalu. Selain Jamkesmas, Jamsostek, Askes PNS dan Askes perusahaan swasta, bank dan PTPN, setiap warga diwajibkan menjadi anggota asuransi kesehatan. Untuk golongan kurang mampu, disubsidi melalui APBD secara bertahap, untuk yang mampu diwajibkan untuk bayar sendiri.


Sebagian upaya ini sebaiknya didukung dengan PERDA, sebagian dengan SK Walikota.

Pematangsiantar, 18 September 2009

Monday, August 17, 2009

Sarmedi Purba Titian Nadi Sang Dokter Pelangi



Memperingatai HUT 70 Sarmedi Purba telah diluncurkan Film dengan judul Titian Nadi Sang Dokter Pelangi karya sutradara Onny Kresnawan. Film dokumnter yang berdurasi 52 menit ini adalah hasil karya Onny Kresnawan (Sineas Film Documentary - SFD) yang pernah mnggondol juara 3 lomba film dokumnter nasional.

Dengan judul yang sama telah diluncurkan pula pada perayaan HUT tanggal 15 Agusustus itu satu buku berisi 239 halaman dihiasi dengan lk 50 foto jadul dan masa kini dengan lay out yang menarik. Buku ini adalah karya wartawan penulis kondang Medan, Khairiah Lubis dengan fotografer Binsar Bakkara dan designer Vinsensius Sitepu.

Info komersial:
Sekarang buku dan film berjudul
Sarmedi Purba Titian Nadi Dokter Pelangi
tersedia di toko buku kesayangan anda dan kalau stok habis bisa di pesan ke
John Sardi Purba
Kotak Pos 182
Pematangsiantar 21100
email: johnsardipurba@yahoo.com
harga 1 buku Sarmedi Purba Titian Nadi Dokter Pelangi
253 halaman dengan 50 foto jadul dan terkini
Rp 65.000 (+ongkos kirim Rp 20.000)
harga 1 DVD Sarmedi berdurasi 55 menit Rp35.000 (+ongkos kirim Rp20.000).
Bank account:
BCA AC 8200053185
Bank Mandiri AC 1070002129437

info lebih lanjut di http://sarmedipurba.blogspot.com/

Wednesday, August 12, 2009

Resensi Buku Sarmedi Purba, Titian Nadi Dokter Pelangi


“Mencari Harimau Liar”

Sangat kurang informasi mengenai revolusi sosial di Simalungun pada tahun 1946. Sebagian besar tak setuju jika hal tersebut dianggap revolusi. Tapi faktanya ada sekelompok orang yang ditunggangi kepentingan tertentu yang ‘menyembelih’ keluarga raja-raja Simalungun. Menyedihkan, sesama anak negeri saling membunuh.

Peristiwa puluhan tahun lalu itu ditenggarai sebagai tragedi memilukan yang traumatis. Tidak ada permintaan maaf dari siapapun. Bahkan Saragih Ras yang menjadi pemimpin gerakan tersebut, ketika ditanya oleh tokoh Simalungun Djariaman Damanik saat mereka bertemu di Tapanuli, mengatakan menyesal. Sampai sekarang, peristiwa tersebut dianggap sebagai penyebab kurang pastisipatifnya orang Simalungun dalam berpolitik. Benarkah demikian?
Setidaknya, hal itulah salah satu yang dicatat dalam biografi “Sarmedi Purba, Titian Nadi Dokter Pelangi,” yang ditulis Khairiah Lubis, dengan editor Marim Purba, pengantar oleh Prof Dr Ir Bungaran Saragih, MEc dan diterbitkan oleh MitraMedia Communication, 264 hal, Medan, 2009.
Buku ini penting bagi anak Siantar, karena sangat sedikit anak-anak Siantar yang mendokumentasikan kisah masa lalunya. Padahal sejarah nasional mencatat begitu banyaknya tokoh asal Siantar yang ikut dalam pergerakan sejarah Indonesia. Buku biografi ini menggambarkan kisah Simalungun di masa lalu, kebudayaan Simalungun dan sejarahnya termasuk tragedi di atas yang dikenal dengan gerakan Barisan Harimau Liar (BHL). Sarmedi berpendapat bahwa fakta sejarah tentang BHL tersebut harus dibuka.
Menarik bahwa buku ini dimungkinkan berisi campur sari karena Dr Sarmedi Purba sengaja meminta penulisnya menceritakan kisah di sekeliling kehidupan Sarmedi. Dengan demikian bisa dihindari bahaya yang selama ini terjadi berubahnya ‘history’ menjadi ‘his story,’ yang seakan-akan cuma sikap narsis membicarakan diri sendiri.
Sarmedi memang orang yang tak sabar. Selain gelisah kesana-kemari memenuhi panggilan kemanusiaannya untuk orang sakit, tapi ia juga menyadari bahwa kesakitan sosial yang lebih luas ada di tengah masyarakat. Kurdet, demikian panggilan Dr Sarmedi akhirnya terjun di banyak kegiatan; pengabdian desa dan pembuatan instalasi air minum bersama Yayasan Bina Insani yang dibangunnya, membangun PMI, mendirikan Rumah Sakit Vita Insani, terlibat di Pelkesi (perkumpulan rumah sakit kristen), diskursus mengenai jaminan kesehatan, dan lain-lain.
Hidupnya dimulai dari Pematangraya, sebuah ‘desa’ 30 km dari Pematangsiantar, belajar di Sekolah Rakyat sambil juga bekerja di ladang. Ayahnya seorang penjaja obat keliling dari ‘pekan’ ke pekan, pasar tradisional yang hanya buka pada hari tertentu setiap minggu di berbagai tempat di Simalungun. Sekolahnya disela oleh peristiwa revolusi sosial 1946-1947 yang misterius, mengungsi dan pulih sampai kemudian ia SMP di Siantar.
Lengkingan pertama seorang bayi Sarmedi di Pematangraya, dibarengi juga kisah dan catatan mengenai sejarah keluarga, dan hal ini menggambarkan dengan tepat situasi kemasyarakatan Simalungun saat itu. Juga pada bagian ini disertakan juga catatan yang akan memberi perspektif baru bagi pembaca mengenai sejarah Simalungun. Beruntung karena Mansen Purba, SH seorang budayawan dan sejarawan Simalungun sempat ikut memberi kontribusi sebelum ia meninggal dunia, sebulan sebelum buku ini terbit.
Selanjutnya sekolah Sarmedi sampai di SMA Negeri 1 Medan adalah hal biasa, tapi mimpi yang memenuhi masa mudanya adalah tidak biasa. Tanda-tandanya dimulai sejak ia aktif memimpin kelompok pemuda di gereja GKPS, lalu aktif di organisasi ekstra universiter GMKI, termasuk kecerdesannya di kampus Fakultas Kedokteran USU. Katanya mengomentari candu organisasinya, “Kalau tidak berorganisasi rasanya seperti ada yang missing,”
Tapi faktanya itulah yang mendorong GKPS – atas sponsor sebuah lembaga mitra – mengirimnya ke Jerman untuk sekolah lanjut kedokteran. Akhirnya mimpi ke luar negeri menjadi kenyataan. Sebuah langkah yang langka di masa ke Indonesiaan saat itu yang baru lahir dan bertumbuh. Dalam catatan pengantarnya Prof Bungaran Saragih menggambarkan langkah Sarmedi ke Jerman telah menjadi inspirasi bagi anak sekolah lainnya untuk maju.
Yang menarik bahwa Sarmedi memilih tinggal dan mengabdi di desa. Padahal umur produktifnya membuka kesempatan untuk menjadi dokter mapan di ibukota. Obsesinya dari Jerman tentang perumahsakitan yang modern tetap tertanam di benaknya, walaupun ia jauh dari modernisasi. Itulah akhirnya yang mendorong berdirinya RS Vita Insani. Lalu kegiatan lainnya, termasuk memimpin partai di Sumatera Utara dilakukannya dari Siantar. Teknologi komunikasi dimanfaatkannya untuk menjadi jembatan informasi dengan ‘dunia luar’ yang lebih maju. Jarak tidak lagi menjadi hambatan.
Maka Sarmedi tampil sebagai sosok dokter yang punya perhatian sosial, ikut memecahkan masalah nasional dari perspektif lokal. Sekaligus menjadi manusia lokal trans nasional yang mengglobal. Sarmedi membuktikan bahwa partisipasi bisa dilakukan dari aras manapun, sepanjang ada komitmen, kesabaran dan ketekunan.
Kisah yang ditulis oleh Khairiah Lubis, mantan redaktur MedanBisnis begitu mengalir dan menonjolkan warna khas tulisan Awie, demikian panggilannya, yang lama mengelola features di edisi mingguan MedanBisnis dan MedanWeekly. Buku ini layak dibaca untuk membandingkan kisah meniti sukses di masa lalu dengan sekarang, khususnya dalam menjelmakan mimpi menjadi nyata. (***)

Wednesday, July 08, 2009

PILPRES 2009 - Komentar Sarmedi Purba

Akhirnya SBY terpilih jadi Presiden RI sesuai prediksi lembaga survey sejak 3 bulan yang lalu. Saya pernah mengatakan, kalau SBY mendapat 70% suara 3 bulan yl, perolehan ini bisa turun sampai 62% akibat campain dan paling jelek turun jadi 52% akibat black campain. Namun tetap berpotensi 1 putaran. Ternyata angka ini bertahan pada kisaran 60%.

Apa yang dapat kita petik dari hasil Pilpres 2009 ini?

Pertama, bangsa ini harus belajar mempercayai hasil survey yang profesional. Karena survey adalah ilmu pengetahuan (science) yang berdasar bukti. Siapa yang tidak percaya dan sering mencibir akan rugi sendiri. Dan kalau kita tidak percaya atas science, mengapa kita mengirim anak kita bersekolah setinggi-tingginya? Ini sudah sering saya utarakan dan sering pula diketawai orang tertentu.

Kedua, parpol dan politisi di Indonesia harus lebih banyak belajar dari pengalaman politik di dalam dan khususnya di luar negeri dalam kehidupan berdemokrasi.

Budaya mundur, prinsip bahwa tujuan lebih diutamakan dari ambisi pribadi, visi dan program parpol yang jelas dan rinci dalam segala bidang kehidupan harus lebih dipahami di Indonesia.

Sebagai ilustrasi -kalau sekiranya Megawati Sukarnoputri belajar dari pengunduran diri PM Inggeris,Margret Tatcher tahun 1990-PDIP seharusnya mengajukan capres baru sesudah kekalahan Mega pada Pilpres 2004. Partai ini seharusnya menciptakan image baru, visi baru dan program tandingan yang yang sekaligus mengkritik program SBY/JK selama ini.

Sebagai contoh, pada program kesehatan SBY dan Menkes banyak yang bisa dikritik: Jamkesmas yang tidak konform dengan UU SJSN, pengalihan Askeskin berbasis asuransi menjadi Jamkesmas berbasis dana sosial. Tapi tidak ada program tandingan yang dijadikan sebagai alternatif oleh PDIP atau team MegaPro. Artinya peluang ini tidak dimanfaatkan dan sayang sekali. Saya kira hal serupa terjadi pada bidang ekonomi (BLT, program kredit bank, pembangunan infrastruktur, dll), sosial, agama, militer, perhubungan, dll.

Pada debat capres dan cawapres perbedaan ini tidak muncul. Kita mendapat kesan semua ragu-ragu dan takut salah. Padahal perbedaan inilah inti dari demokrasi yang dilaksanakan pada Pilpres 2009 ini.

Ketiga, GOLKAR sebenarnya salah membaca perjalanan politik 2004-2009. Menurut saya amanat rakyat atas kinerja kabinet sekarang adalah: TERUSKAN. Tetapi Golkar mengobok-obok JK yang -menurut pendapat saya- tidak mempunyai visi politik yang jelas. DPD memaksa JK mencalonkan diri. Pada saat terakhir pasca Pemilu Legislatif JK menyesal dan masih mencoba bergabung dengan SBY kembali, tetapi nampaknya sudah terlambat. SBY menolak. Ini karena analisa politik Golkar ternyata salah. Salah satu sebabnya karena tidak memanfaatkan hasil survey. Padahal hasil Pemilu legislatif sudah lama diketahui, bahwa Partai Demokrat akan menang telak. Mengapa JK tidak didukung partainya mempererat koalisi dengan Partai Demokrat yang sebelum Pemilu legislatif masih terbuka lebar.

Dan Golkar sebagai partai yang paling mapan dan berpengalaman, juga tidak membekali JK dengan proram tandingan. Kalau sekiranya program tandingan ada, rakyat dapat menilai pada 2014 apakah pemilih sapi (salah pilih) atau tidak. Kabinet bayangan seyogianya juga memberikan semangat bertanding dan pilihan alternatif yang ampuh. Tetapi inipun tidak dimanfaatkan. Padahal PDIP pernah menjanjikannya.

Akhirnya harus disebutkan bahwa Pilpres 2009 harus diacungkan jempol karena sudah lebih baik dari Pilpres 2004, karena demikianlah proses demokratisasi ini bertambah baik seperti spiral yang berputar menuju ke atas. Kita tidak dapat mengharapkan teori lingkaran setan pada proses politik dalam rangka perbaikan demokrasi di Indonesia.

Friday, July 03, 2009

Mansen Purba Telah Tiada


BERITA DUKACITA
Telah dipanggil Bapa di Surga hari Kamis 2 Juli 2009 jam 22.10 di RS Martha Friska Medan, disemayamkan di rumah duka Jalan Karya 155 Medan
MANSEN PURBA SH
(72 Tahun)

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara 1971-1987
Ketua DPD HKTI Sumatera Utara, Wakil Sekjen DPP HKTI
Anggota Sinode Bolon/Majelis Gereja GKPS,
Dekan FH USI dan Sekretaris Yayasan Universitas Simalungun (USI),
Dosen FKIP Universitas Nommensen Pematangsiantar
Dosen IKIP Medan

Acara adat Simalungun dilaksanakan pada Minggu, 5 Juli 2009, Tonggo Raja 4 Juli 2009 jam 19.00 WIB
akan dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Sondiraya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun 6 Juli 2009, sesudah kebaktian di gereja GKPS Kongsi Laita Sondiraya jam 12.00 WIB.

Kami yang berduka cita :
Tuti Dora Rusnaini (Isteri)
Ir. Desendi Purba/Ir. Yuyu Suryasari, PhD
Drs. Marim Purba/Dra. Grace Christiane br Saragih
Ichtus Pujiontama Purba/Ernita
Lidya br Purba, SE/Drs. Jumpatuah Saragih, MSi
Hotmar Pangarapan/Movi Laila
Nikodemus Beriman, S.Psi, MM/Gloria Hosea, S.Psi
Irawan Atmadi Saputra/Rita br Simanjuntak, SE

Riahman Purba (Aman Raya),
Menna Purba (Jakarta),
Jawasman Purba (Sondiraya),
Dr. med. Sarmedi Purba, SpOG (P.Siantar)
Ned Riahman Purba (P.Siantar)
Sariaman Purba (Medan)

Saturday, June 20, 2009

Proses Hukum Demo Protap

Posted in Opini by Redaksi on Juni 16th, 2009
Oleh Dr Med dr Sarmedi Purba SpOG
Sejarah akan menceritakan di kemudian hari bagaimana manusia Indonesia anno 2009 di Sumatera Utara. Termasuk akan menceritakan sejarah penegakan hukum di Indonesia, penilaian polisi, jaksa dan hakim pada suatu kejadian biasa, semisal demo yang sejak reformasi yang diteriakkan sejak tahun 1998 dan lengsernya Soeharto.
Demo Protap sama seperti demo lain di tanah air sejak reformasi. Mengapa demo kali ini diistimewakan seakan-akan suatu demo yang luar biasa dan diperlakukan sebagai tindakan kriminal, pembunuhan berencana. Amien Rais pernah berkata (tidak tentang Protap) “Ayam pun ketawa”. Sekiranya ada hukum presedens di Indonesia seperti di Amerika, maka kalau demonstrator Protap dihukum sebagai pembunuh berencana, maka punahlah demokrasi di Indonesia; karena setiap demo berisiko pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati karena angka kematian pejabat yang mengidap jantung koroner meningkat dengan meningkatnya kesejahteraan. Akankah?
Lantas di mana hati nurani polisi, jaksa dan hakim pada sejarah hukum dan demokrasi pada buku sejarah yang diterbitkan di tahun 2025. Kasus Ibu Prita akan diceritakan sejarah Indonesia modern itu, malah lebih kejam dari itu adalah menjatuhkan hukuman mati kepada otak aksi demo karena dikenakan pasal pembunuhan berencana.
Saya percaya dan yakin bahwa dalam hati kecil polisi, jaksa dan hakim yang aktif pada bulan Juni 2009, di seluruh Indonesia, perlakuan itu tidak adil, tidak sesuai dengan amanat hati nurani rakyat yang dengan rahmat TYME merupakan dasar pembentukan UU oleh wakil rakyat di DPR. Akankah amanat UU dan hati nurani rakyat itu akan dikhianati Penegak HUKUM Anno 2009, akan ditoreh dalam sejarah Indonesia modern.
Skenario terburuk pada proses hukum para pejuang pemekaran wilayah (dalam kasus ini pembentukan daerah otonomi Provinsi Tapanuli yang diamanatkan oleh UU Otonomi Daerah No 22 thn 1999 dan no 32 Thn 2004) di Indonesia adalah kalau pejuang yang sekarang masuk bui ini, benar dihukum mati sesuai ancaman hukuman pada pembunuhan berencana. Akankah ada mati martir seperti zaman dahulu kala? Apakah mati martir itu akan membangkitkan semangat juang tokoh pemekaran wilayah yang dengan tulus tidak sabar melihat perkembangan/pembangunan yang berjalan lamban, kemiskinan yang makin meluas dan mencekam? Dan bagaimana masyarakat Tapanuli yang merasa hak-haknya diinjak-injak? Terjadikah pergolakan atau revolusi sosial kembali? Bagaimana pula solidaritas pejuang pemekaran lain khususnya di Sumut, seperti pelopor Provinsi Sumatera Timur, Provinsi Sumatera Tenggara, Provinsi Nias dan kelak Provinsi Simalungun (kalau dimekarkan jadi 4 kabupaten seperti Taput dulu)? Apakah pejuang pemekaran Simalungun, Pemekaran Tanah Karo (Kota Berastagi) juga tinggal diam? Apakah pejuang pemekaran Kabupaten Batubara, Labuhan Batu Selatan, Serdang Bedagei, Pakpak Bharat yang perjuangannya sama, tinggal diam sambil senyum senang atas penderitaan Protap, karena mereka sendiri sudah menikmati apa yang mereka perjuangkan, yaitu daerah otonomi baru yang membuka kesempatan membangun daerahnya dengan kecepatan yang lebih tinggi?
Marilah kita tefakur sejenak menanyakan diri kita masing-masing dan menanyakan pada diri kita sekiranya kita bernama Chandra Panggabean, Tahan Panggabean, Datumira Simanjuntak, Gelmok Samosir, Burhanuddin Rajagukguk, Pustaha Nurdin Manurung, untuk menyebut beberapa nama dari banyak lagi nama. Karena dalam Injil tertulis: “buatlah kepada orang lain seperti apa yang engkau inginkan diperbuat orang lain terhadap dirimu.”
Dr med dr Sarmedi Purba SpOG
Ketua PIKI Kota Siantar
Ketua PMI Siantar Simalungun
Ketua Perhimpunan Alumni Jerman Kota Siantar
Ketua Dewan Pakar DPC Partai Demokrat Kab Simalungun
Mantan Ketua DPD PDKB Sumut
Ketua Umum Forum Dokter Pembanding se Indonesia
Anggota Dewan Pembina Panitia Pemekaran Kabupaten Simalungun
Ketua Bidang BPC GMKI Medan 1960-1964
Wakil Ketua DPD GAMKI Sumut 1963-64 (f)
This entry was posted on Selasa, Juni 16th, 2009 at 02:01 and is filed under Opini. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. Both comments and pings are currently closed.

Saturday, May 30, 2009

MALAM RENUNGAN AIDS NUSANTARA 2009





Event tahunan campain pencegahan AIDS kepada masyarakat dengan orasi KPA, Medan Plus, CRA Foundation, Ketua PMI dan Walikota di Lapangan Parkir Pariwisata Siantar 30 Mei 2009:
ODHA BUKAN UNTUK DIJAUHI
JANGAN BIARKAN ODHA HIDUP MENYENDIRI
BERSAMA ODHA MARI MENYAMBUT HARI ESOK YANG LEBIH CERAH
Motto: TOGETHER WE ARE THE SOLUTION

Friday, March 06, 2009

Diskusi Kesehatan: Penjaminan Pelayanan Kesehatan

Diskusi lanjutan tentang pelayanan kesehatan 8 Maret 2009:
Pak Billy dan pak Firman,
Saya senang karena satu hal kita bertiga sependapat: Jamkesmas itu bukan sistem penjaminan asuransi (health insurance) tapi hanya dana sosial. Saya juga menentang dan protes pengalihannya dari sistem Askeskin ke Jamkesmas pada tulisan-tulisan saya tahun lalu.
Saya juga setuju bahwa Menkes tdk punya konsep karena presiden juga tak punya sebelum dipilih. Jadinya suka-suka Menkes, kabarnya staf ahlinya atau dirjennya pun tidak ditanya.
Apakah kita punya hak untuk protes sebagai yang tidak terlibat dalam proses perencanaannya? Tentu sulit karena kita tidak punya acuan yang sudah disetujui oleh presiden sebelum terpilih jadi presiden. Menkes kan menurut peraturan perundang-undangan hanya pembantu presiden. Menkes tidak punya konsep semula karena dia baru tahu jadi menteri setelah presiden terpilih.
Nah ini maksud saya perlunya proses politik sebelum Pilpres 2009 agar kebijaksanaan suka-suka Menkes seperti yang kita tuduhkan sekarang tdk terulang.
Misalnya kita susun satu konsep rinci tentang visi kesehatan kita, konsep ini diajukan kepada satu atau beberapa capres. Kalo capresnya terpilih maka siapapun menkesnya, program itu harus dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, kita bisa tuntut dengan class action sebagai pembohongan publik.
Inilah gunanya kita mengadakan tekanan poilitik yang lebih ampuh dari tekanan organisasi profesi seperti IDI, ISFI, IBI, PERSI, dll.
Inilah juga gunanya melibatkan parpol peserta Pemilu karena itulah satu-satunya jalan yang benar dan ampuh pada sistem yang berlaku sekarang.
Bahwa parpol kita dan calegnya kurang baik sekarang, saya setuju 100%. Tetapi bukankah itu juga tugas kita sebagai kaum intelektual untuk memperbaikinya? Kita tidak menyumbangkan perbaikan kalau kita hanya mencaci maki mereka. Yang baik mengajukan alternatif, menekan mereka dengan dukungan rakyat. Kita tidak harus menunggu sampai kita sepintar rakyat Amerika. Sekarang kita juga bisa! NOW WE CAN.
Salam
Sarmedi
http://sarmedipurba .blogspot. com

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
--------------------------------------------------------------------------------
From: "Billy N."
Date: Wed, 11 Mar 2009 00:42:21 +0700
To: XD
Subject: [des-kes] Re: sistem penjaminan pelkes

halo rekan-rekan
Prof.Firman, apa yang saya sampaikan bukan sesuatu yang bagus, hanya
ungkapan hati belaka. Jadi rasanya belum tepat kalau saya sampai dibutuhkan
oleh rekan-rekan yang sudah jauh lebih berilmu & berpengalaman dibanding
saya.
Indonesia jelas butuh menkes yang bagus, misalnya seperti alm Dr.Leimena.
Hanya sayangnya ketika ada banyak orang yang bagus, tapi nggak dipilih oleh
presiden untuk menjadi menkes. Menkes saat ini lebih jadi pelaksana belaka,
tanpa program, tanpa arahan, seperti kata Pak Haris. Kalau kita bisa usulkan
menkes berikut programnya, sangat bagus...
Di tingkat daerah, IDI, IAKMI, IBI, ISFI, PPNI, dst setempat juga harus
memberi tekanan untuk memperoleh kadinkes (provinsi & kab/kota) yang bagus.
Kita nggak masalah berpolitik dalam artian sesungguhnya, yaitu untuk
kepentingan rakyat, bukan untuk cari untung atau posisi.
Saya setuju dengan Prof.Firman mengenai jamkesmas yang salah nama & salah
isinya. Ini program yang salah & nggak sesuai UU SJSN yang mungkin nggak mau
dipakai oleh presiden sekarang karena disahkan presiden sebelumnya.
Dr.Sarmedi, justru di Indonesia buat apa politisi mau populis soal
kesehatan? Kurang ada gunanya karena soal kesehatan bukan isu utama. Lihat
aja program-program caleg atau capres soal kesehatan, sangat dangkal,
abstrak, & ngaco selain hanya jadi pelengkap belaka. Sepertinya mereka nggak
pernah konsultasi dengan para pakar kesehatan masyarakat yang sebetulnya
sudah sangat banyak di negeri ini.
Justru seharusnya ketika rakyat nggak perhatikan soal isu kesehatan seperti
sekarang, saatnya untuk meletakkan dasar yang baik yang justru nggak
populis. Isu kesehatan saat ini bukan penentu seorang calon dipilih jadi
anggota legislatif/presiden di negeri ini. Kalau rakyatnya sudah 'melek'
seperti di USA sih sudah terlambat untuk meletakkan dasar, jadi terpaksa hal
populis yang didahulukan.
Ini saatnya para ahli kesehatan masyarakat (saya nggak termasuk) untuk
'ribut', diskusi, berembuk, dalam menentukan konsep pelayanan kesehatan
masyarakat yang tepat untuk meletakkan dasar & jangka panjang, lalu setelah
sepakat, konsep terbaiknya diberikan ke pemerintah & DPR selain diumumkan ke
masyarakat. Kalau perlu sekalian dengan usulan draft UU kesehatan yang baru.
Hal serupa juga bisa dilakukan di daerah (provinsi & kab/kota) & memberi
usulan berbagai perda dalam bidang kesehatan.
Kita nggak bisa berharap pada rekan-rekan kita yang ada di DPR/DPRD, karena
mereka justru lebih sibuk berpolitik secara umum dari pada perjuangkan
kepentingan rakyat dalam hal kesehatan. UU Kesehatan yang baru aja
sepertinya nggak selesai atau dipaksa diundangkan pada 'injury time' sama
seperti UU praktik kedokteran yang akhirnya isinya banyak yang 'ngaco'.
Rekan-rekan di depkes pun sepertinya jadi birokrat sejati, bukan pelayan
masyarakat. Lihat banyak permenkes yang ngawur isinya, seperti dibuat tanpa
legal drafting & academic review yang baik.
rgds
Billy
---
Diskusi di milis desentralisasi kesehatan 7 Maret 2009 (pendapat Sarmedi Purba atas posting dr Billy N, Prof Firman Lubis dan dr Edhie S Rahmat):
Pak Billy, pak Firman, pak Edhie dan teman netters,
Memang kebijakan pemerintah harus populis dan positif. Coba kalo pak Billy buat kebijakan tandingan, misalnya jamkesmas ditiadakan mulai 2010 ditawarkan melalui PG ato PDIP, apakah kebijakan itu dipilih rakyat?
Obama dipilih rakyat antara lain karena konsep health insurance untuk orang tua atau yang kurang mampu.
Ini yang saya maksud dengan politik kesehatan yang tidak pernah ditawarkan oleh capres atau caleg partai kepada rakyat.
Jadi selama ini semua ditentukan experts tanpa menanya rakyat. Rakyat dianggap bodoh oleh ahli kesehatan masyarakat.
Cost sharing pak Edhie saya setuju, misalnya semua yang bekerja dibayar preminya fifty-fifty oleh majikan dan pekerja. All in all saya usulkan 1/3 penduduk yg miskin diasuransikan pemerintah melalui APBN, 1/3 yang mampu diwajibkan masuk asuransi melalui UU, bisa pilih asuransi apa saja yang sudah diakreditasi bisa menanggung biaya pelkes minimal dan mampu menyembuhkan. Nah, sisanya yang 1/3 lagi yang pelik. Mereka tergolong SADIKIN, asal sakit jatuh miskin. Mereka yang mutlak cost sharing. Misalnya separuh dibayar pemerintah. Ada juga mereka ini yang benar tidak mampu, hanya karena luput dari penghitungan sensus nasional, atau karena standard miskin yang sudah kedaluwarsa. Inilah yang diprotes di Siantar, dan inilah juga yang diurus Kadiskes Prov SU dengan anggaran provinsi dan kabupaten di seluruh SU.
Jadi 100% penduduk provinsi dicover asuransi. Uang asuransi pun berputar, RS dapat kerjaan dan uang masuk, pelkes dokter dan provider bersaing dan mudah-mudahan kualitasnya lambat laun meningkat. Ini teori spiral yang lambat laun berputar ke atas, bukan teori lingkaran setan yang dengan cutting pada satu titik circle semua jadi beres (teori ini tidak pernah terbukti).
Lalu gimana dengan program preventif, promotif dan rehabilitatif? Ini tentu sangat penting dan program ini tidak boleh meniadakan program kuratif dan sebaliknya. Program-program ini kan menyangkut pada anggaran non depkes, khususnya program income rising, pembangunan infrastruktur, dll. Kalo pendapatan gakin meningkat dan dibuktikan di sensus nasional, tentu beban APBN bisa menurun. Demikian juga halnya dengan 1/3 penduduk SADIKIN, kita harapkan angkanya menurun dengan kemakmuran yang terus meningkat. Idealnya hanya 10% gakin yang harus menjadi beban pemerintah.
Akan halnya Askes PNS yang cemburu melihat Gakin yang berobat tanpa cost sharing dan pelkesnya tidak berkelas, inilah sebenarnya kerjaan expert. Berapa sih sebenarnya premi askes agar cukup dan bisa menyembuhkan dan dokternya tidak underpaid? Apakah bisa Rp10rb/orang/ bulan seperti di PT Askes untuk PNS? Apakah Jamkesmas cukup Rp 5rb, apakah Jamsostek berobat jalan yang expensenya Rp6rb per kunjungan feasibel. Apakah JPKM yang dianggarkan Rp2300/orang/ bulan yang dikelola Asuransi Kesehatan Syariah untuk yang kurang mampu di kota Medan masuk akal? Ini kan harus dikomentari oleh ahli kesehatan masyarakat, aktuaris, IDI, PERSI, dll. Kalo angka-angka ini sudah benar, pengelolaan kesehatan di Indonesia akan lebih mudah.
Salam sehat
Sarmedi
Sarmedipurba@ blogspot. com

Pendapat dr Billy N:

halo...
Prof.Firman, sulitnya peningkatan kesehatan itu nggak 'berasa', para
pengambil kebijakan nggak suka karena nggak populis, apalagi sekarang dekat
pemilu. Pengobatan gratis jelas lebih populis...
Pengobatan gratis itu sangat-sangat nggak mendidik, bahkan disuruh bayar Rp
500 pun sudah memberi perbedaan antara yang benar-benar sakit atau cuma mau
kumpulkan obat & minta diukur tekanan darah...
Yang gratis juga nggak enak untuk pelaksananya karena sementara dana kurang,
jadilah para pelaksananya 'kerja bakti'. Jangan harap layanan bagus dari
'kerja bakti'. Yang beri dana (pembayar pajak) pun nggak dilayani, jadilah
mereka malas bayar pajak sampai harus diancam...
Mungkin Prof.Firman harus jadi menkes supaya ini bisa dibereskan.. . Berani
nggak IDI, IAKMI, ISFI, dst berembuk & usulkan menkes? Capres yang mau pilih
calon menkes dari kita patut kita dukung...
Apa yang dituliskan Pak Edhie itu memang menyakitkan. .. Banyak PNS yang
kerja di RS 'sirik' pada pemegang jamkesmas yang seperti 'raja', nggak bayar
apapun sementara mereka yang sudah dipotong gajinya tiap bulan, kalau sakit
pun masih tetap harus ada 'cost sharing'...
Benar-benar negeri mabok yang 'tanpa masa depan'... :(
rgds
Billy

Pendpat Dr Edhie S Rahmat:
Pak Sarmedi,

Nampaknya kita perlu bedakan antara pengobatan gratis dengan pre-paid health care. Dalam kasus sumut ini memang pre-paid scheme, tetapi yang mbayari kaum yg tak tercakup sistem kerja terorganisir (Askes, Jamsostek dll) adalah Pemda..yang asal uangnya adalah dari pajak rakyat juga. Saya ragu bahwa mereka adalah kaum yang hampir miskin, tetapi sangat mungkin mereka adalah pedagang2 atau wiraswasta2 yang penghasilannya di atas rata2. Kalau ini yang mau dilakukan maka tidak ada keadilan (inequity) dalam pelaksanaannya.

Seingat saya tahun lalu dilakukan evaluasi terhadap Askeskin, sebelum namanya diubah menjadi Jamkesmas. Salah satu hasilnya adalah "over-use" dari skema yang ada karena tidak diperkenalkannya "cost sharing" sehingga cenderung memanjakan peserta (bahkan non peserta yg berusaha jadi peserta), sehingga perhatian terhadap tindakan pencegahan (terhadap penyakit) dan ke-hati2an terhadap kemungkinan kecelakaan kerja/lalu lintas menjadi terabaikan. Saya lebih setuju apabila "cost sharing" ini diperkenalkan sebagaimana diperkenalkan di Kodya Surakarta, yaitu masyarakat yang miskin benar2 "no cost sharing", tetapi untuk kaum lainnya diterapkan "cost sharing" sesuai tingkat sosialnya (kesejahteraannya) dalam hal mereka menggunakan pelayanan, tetapi juga perlu adanya "sharing" dalam hal pembayaran preminya (ada paket yang berbeda). Mengapa perlu premi berbeda karena kalau kita mengandalkan anggaran publik, maka keberlanjutannya akan sangat tergantung "siapa" yang memegang kuasa mengalokasikannya. Oleh karena itu, prinsip asuransi perlu diperkenalkan melalui "sharing" premi, yang perlu ditingkatkan untuk tahun2 ke depannya.

Kalaulah pemerintah pusat mempunyai perhtian terhadap pencapaian MDGs, maka alokasi pemerintah pusat perlu fokus kepada tindakan promosi dan prevensi..dalam hal mana fokus kepada pengendalian penyakit menular yang tidak kenal batas wilayah (spill over), memperbaiki pelayanan guna menurunkan AKI, AKB dlsb. Alokasi anggaran yang mendanai rumah sakit, peralatan medik RS, dlsb sudah selayaknya tidak dilakukan lagi karena pusat perlu berpindah menuju fungsi regulator dan supervisory. Demikian pula fungsi propinsi juga semestinya beralih dari lebih kearah fungsi monitoring program dan pengawasan pelaksanaan SPM.

Edhie S RAHMAT

Pendapat Prof Dr Firman Lubis:
Teman-teman yang baik,
Saya ingin memberikan pendapat saya mengenai pengobatan gratis dan asuransi kesehatan yang sekarang banyak digembar-gemborkan ini.
Pertama, ada perbedaan yang mendasar antara pengobatan gratis dan program atau upaya meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Saya kira yang harus kita lakukan adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kita sesuai dengan UUD dan UU Kesehatan kita. Juga untuk meningkatkan produktivitas dan kemajuan bangsa kita. Ukuran taraf kesehatan indikatornya sudah sangat jelas misalnya angka kematian terutama bayi, anak dan ibu, angka kesakitan dan harapan hidup. Jelas, pengobatan gratis tidak akan dan tidak bisa meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Malah bisa lebih memperburuk kesehatan bila pengobatan yang dilakukan tidak rasional dan tidak sesuai SPM dan SOP seperti yang kita saksikan masih banyak terjadi di tempat pelayanan kesehatan kita.
Yang kedua, pengobatan sesungguhnya tidak ada yang gratis. Karena memerlukan dana/anggaran untuk bayar tenaga, fasilitas dan obat-obatan. Dana ini bisa dibayar rakyat melalui pajak; atau iuran/premi asuransi; atau out of pocket (fee for service) seperti yang selama ini banyak berlaku di kita. Yang dibilang pengobatan "gratis" itu ialah karena dibayar dari APBN/APBD yang asalnya dari pajak rakyat dan dikelola oleh pemerintah. Seperti Jamkesmas sekarang ini. Seringkali dana yang disediakan tidak cukup (atau tidak akan pernah cukup) sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti pelayanan yang kurang bermutu atau dipersulit.
Nah sekarang terserah kita semua, mau meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kita yang sekarang ini cukup buruk (dilihat dari indikator kesehatan) atau mau memberikan pengobatan gratis ala Jamkesmas yang dijalankan Depkes sekarang ini?
Untuk yang pertama perlu penanganan yang lebih komprehensif, holistik dan berjangka panjang. Intinya yaitu membangun suatu sistem pelayanan kesehatan yang efektif dan berkualitas secara terencana secara terus menerus. Terutama dengan menekankan pada edukasi dan pemberdayaan masyarakat, upaya promotif-preventif, sistem pendanaan jaminan pemeliharaan kesehatan yang sebenarnya (a.l. prepayment dan kapitasi dengan pelayanan dokter keluarga sebagai tulang punggung dan gate keeper sistem pelayanan kesehatan), sistem rujukan yang rasional dan profesional, peran pemerintah yang lebih sebagai regulator dan fasilitator kecuali untuk rakyat miskin dan terpencil dsb. yang akan cukup panjang bila harus diuraikan semuanya disini. Termasuk pula pembenahan pendidikan profesi kesehatan khususnya dokter.
Sedangkan untuk yang kedua yaitu pengobatan gratis, sangat digandrungi oleh para politisi dadakan untuk menarik simpati masyarakat/pemilih (cari suara), padahal sangat costly, tidak mendidik masyarakat dan tidak akan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Tetapi cukup populis karena pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang kesehatan yang masih kurang. Kesehatan taunya kalau sakit berobat.
Menurut saya urusan kesehatan masyarakat terlalu berharga dan sangat riskan sekali bila diserahkan pada politisi!!

Salam,
Firman

Topik Berita: 2010 SEMUA WARGA SUMUT BISA BEROBAT GRTIS
Dear pemilis,
terlampir kliping koran Kantor Berita ANTARA tentang asuransi kesehatan di Sumatera Utara. Gerakan sistem penjaminan pelkes bergulir terus di daerah dan mudah-mudahan merambat terus ke semua provinsi dan kabupaten kota. Ini baru namanya desentralisasi kesehatan...
Sarmedi
Kantor Berita Antara:
2010 SEMUA WARGA SUMUT BISA BEROBAT GRTIS
Pada 2010 seluruh penduduk Provinsi Sumatera Utra (Sumut) ditargetkan memiliki asuransi kesehatan dan mendapatkan pelayanan pengobatan gratis melalui sarana pelayanan kesehatan yang ditentukan. “Target kami pada 2010 bisa memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada seluruh warga Sumut,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Chandra Syafei pada rapat kerja dengan Komisi E DPRD Sumut, di Medan Selasa.
Pelayanan kesehatan gratis tersebut akan diberikan melalui pos kesehatan desa, puskesmas pembantu, puskesmas dan RSUD di provinsi tersebut. “Provinsi akan melakukan advokasi dan telah memperhitungkan anggaran jika semua penduduk Sumut mendapat pengobatan gratis pada pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan rujukan RSUD kelas III,” ujarnya.
Chandra Syafei menyebutkan berdasarkan data 2007 jumlah penduduk Sumut sebanyak 12,123 juta jiwa dengan masyarakat miskin berjumlah 4,124 juta jiwa (34,02 persen). Dari jumlah penduduk sebanyak itu, 5,427 juta jiwa di antaranya bukan masyarakat miskin dan / atau sudah tercatat sebagai peserta asuransi kesehatan baik peserta sektor formal (PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri) maupun peserta askes komersial. Dengan demikian, jumlah penduduk Sumut yang sama sekali belum mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) sekitar 6,7 juta atau 55,23 persen. “Jika 6,7 jiwa penduduk Sumut diasuransikan dengan premi Rp5.000 per bulan atau Rp 60.000 per tahun, dibutuhkan anggaran sebesar Rp 402 miliar per tahun untuk mengasuransikan mereka,” katanya.
Kebutuhan anggran sebesar itu akan ditnggung bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan perbandingan 25:75, sehingga provinsi akan berkontribusi sebesar Rp 100,5 miliar atau 25 persen dari Rp402 miliar.
Menurut Chandra Syafei, Menteri Kesehatan juga sudah menginstruksikan kepada Dinas Kesehatan Sumut untuk segera menyertakan seluruh penduduk Sumut dalam program asuransi kesehatan. “Kami diminta Menkes untuk mencontoh Sumatera Selatan yang telah memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada seluruh warganya dan kami segera menerapkannya. Ke depan masyarakat Sumut cukup menunjukkan KTP jika mau berobat,” katanya. (ant)

Berita: Protes Serikat Rakyat Miskin:

Dear netters,

nampaknya kesadaran politik masyarakat akan penanggulangan masalah kesehatan tumbuh terus. Dari berita koran Sinar Indonesia Baru terbitan Medan hari ini (terlampir) rakyat menuntut agar semua masyarakat kurang mampu diberikan akses pengobatan melalui asuransi kesehatan yang diatur dalam PERDA.

Mudah-mudahan gagasan ini menjalar kesemua penjuru tanah air.

Salam
Sarmedi

Kliping SIB 5 Maret 2009:

Massa Rakyat Miskin Datangi DPRD dan Balai Kota P Siantar Tuntut Perda Jamkesda
Posted in Marsipature Hutanabe by Redaksi on Maret 5th, 2009
Pematangsiantar (SIB)
Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) kota Pematangsiantar untuk ketiga kalinya kembali mendatangi kantor DPRD dan kantor walikota Siantar meminta agar Jamkesda segera d- Perda-kan demi peningkatakan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Namun aspirasi massa SRMI tersebut tidak sampai kepada para wakil rakyat tersebut sebab tidak satupun para anggota DPRD menyambut kehadiran SRMI. Secara spontan salah satu juru bicara Randy Syahrizal mengatakan bahwa para anggota DPRD tidak punya hati nurani. “Kami akan beritahukan kepada rakyat bahwa mereka tidak perlu lagi berhak dipilih sebagai wakil rakyat,” katanya.
Sesampainya di gerbang kantor Balai Kota P Siantar, dua orang utusan dari SRMI diterima Asisten I Drs Jonson Simanjuntak menyampaikan draf Jamkesda sesuai yang diminta oleh pihak eksekutif beberapa hari yang lalu. Eksekutif berjanji akan memperoses draf tersebut untuk diajukan menjadi Perda.
Randy Syahrizal dalam orasinya mengatakan, mengapa harus ada Perda Jamkesda. Menurutnya, hal itu mempunyai dasar hukum.dasar hukum program Jamkesmas adalah UUD 1945, UU No 23 tahun 1992, UU No 01 tahun 2003 dan UU No 45 tahun 2007. Program layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dulu bernama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Sekarang masalahnya bagaimana nasib rumah tangga miskin yang luput dari pendataan pemerintah dan yang tidak dianggap miskin oleh pemerintah. Dan yang mendasar ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan masyarakat miskin.
Persolan inilah menurut dia menjadi dasar pijakan penerbitan perda Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesda). Semangat itu muncul sesuai kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat pada tanggal 10 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas yang luput dari pendataan tetap akan dilayani hak kesehatannya dengan klaim anggaran dari APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota. (S5/g)

Thursday, March 05, 2009

Wujudkan Pemekaran Kabupaten Simalungun

Daerah 05-03-2009
*jannes silaban
MedanBisnis – Siantar
Anggota DPR yang terpilih dari Sumut III diharapkan terus mengaspirasikan terwujudnya pemekaran Kabupaten Simalungun. Pencetusan pemekaran itu sudah lama dilakukan yakni semenjak tahun 2003 lalu.
Demikian dijelaskan tokoh masyarakat Simalungun, Dr Sarmedi Purba, saat menggelar diskusi Pemekaran Simalungun dengan Caleg DPR Sumut III dari Partai Golkar, Ali Wongso Halomoan Sinaga, di Siantar. Menurut Sarmedi, berikut dengan belum terbitnya peraturan terbaru soal pemekaran maka proses pengajuan pemekaran tersebut dihentikan.
Sarmedi mengatakan, pemekaran Kabupaten Simalungun berbeda dengan pemekaran daerah lain karena secara potensi ekonomi dan potensi wilayah Kabupaten Simalungun sangat layak untuk dimekarkan. “Akan tetapi, entah mengapa proses pemekaran Simalungun prosesnya sangat lamban. Proses pemekaran Simalungun sudah sampai di DPR-RI, sehingga sangat dibutuhkan peran serta anggota DPR-RI untuk mendukung terwujudnya aspirasi tersebut,” terangnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Simalungun lainnya, Marim Purba, lambannya proses pemekaran Simalungun dikarenakan ketidakseriusan anggota DPR-RI untuk mengurusnya di Jakarta. Katanya, jika anggota DPR-RI serius sudah dari dulu Simalungun mekar.
Menanggapi hal tersebut , Ketua DPP-Partai Golkar Ir Ali Wongso Sinaga mengatakan bahwa dirinya juga sudah mendengar dari berbagai pihak tentang aspirasi pemekaran Kabupaten Simalungun. Sebagai salah seorang ketua DPP Partai Golkar Ali Wongso mengatakan jika memang pemekaran wilayah adalah aspirasi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat maka sangat patut untuk didukung.

Monday, February 02, 2009

Asuransi Kesehatan Untuk Semua

Pak Dono dan kawan-kawan netters,
Saya kira pemilis des-kes harus menyambut gagasan pak Sugeng Bahagijo dari Perkumpulan Prakarsa ini, khususnya gagasan untuk menempatkan kesehatan menjadi isu politik, sehingga rakyat punya pilihan menentukan presiden sesuau program kesehatan yang disodorkannya.

Menurut saya potensi anggaran pusat dan daerah memungkinkan untuk menyelenggarakan askes untuk semua di Indonesia. Pada Seminar yang diselenggarakan Caucus Askes Daerah setahun yl di Pematangsiantar, di mana Prof Laksono juga memberikan masukan, kami mendapat informasi dari kepala daerah yang hadir waktu itu, bahwa ada yang menganggarkan 20 % dari APBD untuk kesehatan, antara lain dengan menambah biaya askes yang belum dicakup oleh Askeskin, sekarang Jamkesmas. Malah ada yang sudah mempunyai askes daerah yang terbuka untuk semua penduduk satu kabupaten dengan premi yang rendah.

Model yang diajukan Obama sangat relevan untuk Indonesia dengan beberapa penyesuaian. Yang perlu dibuat jadi isu politik adalah:
1. Apakah anggaran Jamkesmas harus dikelola pusat padahal dalam UU Otonomi Daerah kesehatan sudah menjadi wewenang daerah (desentralisasi kesehatan).
2. Berapa sebenarnya premi asuransi kesehatan yang mampu memberikan pelkes yang menyembuhkan sehingga jaminan pelkes tidak hanya formal ada tapi realistis sesuai standar pelayanan minimal. Tentu ini menyangkut perdebatan kue anggaran yang 5% (?) dari PDB.
3. Anggaran yang dikelola PT Askes dan PT Jamsostek harus ditinjau ulang apakah sudah mencukupi untuk pelkes yang mampu menyembuhkan.
4. Perkelahian antara Menkes dan Direksi PT Askes juga menjadi PR presiden 2009-2014. Setelah Anggaran Askeskin yang Rp 4.2 T ditarik dari PT Askes ke program Swakelola Depkes yi Jamkesmas, sekarang giliran PT Askes menarik Pelkes PNS dari Puskesmas Pemerintah dan mengalihkannya ke dokter keluarga. Jadi tidak ada konsep politik kesehatan yang jelas dari SBY. Ini perlu ditegaskan oleh capres yad. Namun pada pengamatan saya tidak ada partai yang betul-betul peduli akan masalah ini.
5. Karena SJSN nampaknya sulit diterapkan perlu kiranya capres baru membuat konsep baru untuk dituangkan dalam RUU-P. Apakah sudah akan meninggalkan sistem penjaminan/asuransi atau alokasi dana sosial seperti Jamkesmas.

Akhirnya semua persoalan ini berpulang kepada kita semua di forum ini, apa visi kita (boleh masing-masing) dan apa ada akses kita ke partai atau capres 2009-2014.

Sarmedi
http://sarmedipurba.blogspot.com
*pendapat ini diutarakan pada milis des-kes@yahoogroups.com 2 Februari 2009 sebagai tanggapan tulisan KESEHATAN UNTUK SEMUA oleh SUGENG BAHAGIJO, Associate Director Perkumpulan Prakarsa, HARIAN KOMPAS 2 Februari 2009Kesehatan untuk Semua
Kompas, Senin, 2 Februari 2009:

Sugeng Bahagijo

Penuhilah kebutuhan kesehatan warga negara dan Anda akan memenangi pemilu.

Tidak percaya? Dalil ini dibuktikan Obama. Sekitar setahun sebelum
pemilu, rencana kesehatan Obama dinilai sebagai yang terbaik, bahkan
lebih baik daripada rencana milik calon presiden AS dari Republik,
termasuk John McCain, rival utamanya.

Dari segi cakupan (untuk semua), pendanaan, pilihan konsumen, dan
kemudahan pengelolaan (administrative simplicity), rencana kesehatan
Obama lebih unggul (Collins dan Kriss, 2008).

Obama merancang sistem asuransi kesehatan bagi semua warga AS. Bagi 47
juta warga yang hari ini tidak terlindungi, Obama menyediakannya.
Caranya, semua anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua
orang dewasa wajib memilikinya. Bagi yang tidak mampu, pemerintah akan
membayar preminya. Dananya berasal dari model campuran dari iuran
perusahaan, dana pemerintah federal, dan negara bagian plus iuran
peserta bagi yang mampu (mixed private-public group insurance).

Bagaimana Indonesia? Lima tahun pasca-Undang- Undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) 2004, yang hendak menata ulang jaminan
kesehatan, kita belum mendengar rencana para calon presiden untuk
mempercepat pelaksanaan SJSN. Tujuh bulan menjelang pemilu presiden,
kita juga belum melihat rencana kesehatan yang rinci dan kredibel,
yang oleh pemilih dapat dinilai, didukung, atau ditolak.

Kesehatan Indonesia

Meski lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bagus, kinerja kesehatan
Indonesia masih tertinggal. Tahun 2008, anggaran kesehatan hanya 2,49
persen dari APBN. Tahun 2009, anggaran kesehatan naik ke 2,8 persen
dari total APBN, sementara standar WHO sebesar 15 persen (Kompas,
6/1/2008). Bila harus memilih, mestinya kesehatan lebih utama
ketimbang pendidikan yang meraup anggaran 20 persen.

Wajar jika kinerja kesehatan masih tersisih. Angka kematian ibu masih
tinggi dan diperkirakan Indonesia akan gagal meraih target MDGs 2015.
Meski kini Indonesia ramai dengan rumah sakit internasional, kita juga
disodori berita seperti meninggalnya Muhammad Reinaldi (lima bulan) di
Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ia dipulangkan sesudah dirawat selama
29 hari karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya perawatan
(Berita Kota, 1/11/2008).

Ketimpangan hak atas kesehatan akan berlanjut jika perubahan tidak
dilakukan. Ketiadaan asuransi sosial menjadi sebab. Lindhental (2004)
mencatat, dari 210 juta lebih penduduk, hanya 17 juta jiwa yang
terlindungi asuransi kesehatan. Apalagi praktik yang ada membolehkan
penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter) menarik
biaya dari pengguna tanpa batasan. Pemerintah daerah bahkan
menggunakan pendapatan ini sebagai sumber utama pendapatan asli daerah
ketimbang pajak jasa restoran dan usaha hiburan. Ini tidak lain pajak
regresif bagi yang lemah (GTZ, 2008).

Guru besar kesehatan masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menunjukkan,
yang terjadi adalah you get what you pay for, akses atas jasa
kesehatan ditentukan daya beli dan pendapatan. Padahal, daya beli dan
pendapatan rata-rata keluarga Indonesia masih setingkat UMR. Pasar
kesehatan dan usaha swasta kesehatan dapat dibenarkan asal akses bagi
yang lemah menjadi mudah dan kinerja kesehatan nasional tidak
inferior. Patut diingat, derajat kesehatan sebuah bangsa bukan
ditentukan besaran kue ekonomi, tetapi distribusi kue ekonomi. Itulah
hasil kajian kinerja kesehatan antarbangsa oleh Norman Daniels, guru
besar Universitas Harvard (2001).

Pengalaman Asia Timur

Berkaca pada pengalaman Asia Timur, ada kaitan positif antara
demokratisasi politik dan derajat kesehatan di Jepang, Korea Selatan,
dan Taiwan. Di Jepang, sejak LDP pecah, kompetisi partai politik kian
ketat. Merebut hati pemilih dan warga negara tidak lagi bisa
diandalkan pada prestasi masa lalu. Parpol kian merasakan, mereka
perlu tampil dengan kebijakan sosial bagi semua lapisan sosial (Wong,
2008). Kompetisi politik ketat itu mendesak perubahan dari pendekatan
targeting dengan anggaran minimal menjadi pendekatan universal dan
anggaran maksimal.

Di Indonesia, terbitnya UU SJSN 2004 tentang jaminan sosial tak bisa
disangkal merupakan karya politik, dengan PDI-P dan Golkar sebagai
sponsor utama. UU ini digodok sejak 2002 dan tahun 2004, tahun akhir
jabatan Presiden Megawati, DPR mengesahkannya. UU SJSN ini merupakan
kemajuan besar karena dilandasi pada konsepsi perlindungan untuk
semua, perempuan dan lelaki, kaya dan miskin. Terkandung di dalamnya
upaya membagi beban dan manfaat (pooling risks and benefits) antara
yang mampu dan tidak mampu. Dengan demikian, ketimpangan sosial
ekonomi dikurangi.

Menjelang pemilu presiden Agustus 2009, kita menanti apa dan bagaimana
rincian kebijakan kesehatan para capres. Pemilih mencari jawab
bagaimana lapangan kerja diciptakan, pendapatan ditingkatkan, biaya
kesehatan dan pendidikan terjangkau. Mereka memerlukan sedikit citra
dan retorika. Selebihnya, yang dicari adalah kenyataan.

Sudah saatnya para capres menjawab. Misalnya, mengapa kita pelit dalam
alokasi anggaran kesehatan. Apakah ini akan dipertahankan? Benarkah
Jamkesnas akan dilanjutkan? Bagaimana dengan mereka yang tidak
tercakup Jamkesnas?

Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa


• Review & Outlook
• Paper Edition
• Weekender
• About Us
• Contact Us



Footing the Bill
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 05/24/2008 7:17 AM | Center Piece
Providing affordable healthcare for a country’s neediest citizens is a thorny issue. Bhimanto Suwastoyo looks at the government’s attempts to work out glitches in health insurance for the poor.

In January, the Indonesian government launched a new scheme to provide free health services for the country's poor, estimated at some 76.4 million. The government replaced a less than three-year-old program managed by state health insurance company PT ASKES, saying the new program was an improved version that addressed the weaknesses of the old one.
However, many question whether this new program is the right vehicle to provide free health services to the poor, or if it will merely be a costly exercise in bad planning that will break down after a few years.
"Based on the considerations of controlling the costs of health services, improving quality, transparency and accountability, a change has been made in the management of the Health Insurance for the Poor program in 2008," Health Minister Siti Fadilah Supari said when launching the new public health insurance program, known by its Indonesian acronym Jamkesmas.
Supari said the major change was that it no longer used the services of PT ASKES and that the money for the program was now channeled directly from the state treasury to the bank accounts of 842 participating hospitals.
Under the old scheme, the government paid health insurance premiums for the poor to PT ASKES, allotting Rp 5,000 for each of the estimated 76.4 million low-income citizens who qualified.
The old program, the minister said when promoting the scheme in March, "was prone to and had the potential for corruption or irregularities".
Sarmedi Purba, who heads the Forum for Second Opinion Doctors, said the change was not merely cosmetic because it was no longer a health insurance scheme, where the state paid premiums for a set number of participants and ASKES paid for the medical service claims.
"The case now is that the government provides a certain sum of money for the hospitals to provide the services. It is no longer an insurance scheme but direct social assistance," Purba said.
Even back in 2005, Purba said, he foresaw that the Rp 5,000 insurance premium was not sufficient for comprehensive free medical coverage. Three years later, the figure not only remained unchanged, but had become the total cost allotted for one person per year.
Both Purba and former ASKES head Sulastomo said that with the Jamkesmas system, the country would never be able to provide comprehensive free health services for the poor and the program would always be chronically short of funds. .
Lily Sulistyowati, spokesperson for the Health Ministry, acknowledged that in 2007 the health service allotment under the old program was exceeded by Rp 1.7 billion, but promised that if an ongoing audit finds the costs warranted, the government will reimburse hospitals.
"Jamkesmas should return to an insurance scheme managed through an insurance system using the prudential principle .... Insurance companies have both the hard and software to insure health services, the government does not," Purba said.
For Sulastomo, unless the country launches an integrated health insurance program, also inclusive of higher income groups who can afford medical services, the program will fail.
"Only cross-financing between the rich and the poor can work. The state does not have the funds necessary to provide free health services to the poor," he said.
Another key problem is the qualifications, capabilities and integrity of the 2,664 "independent" officials to be recruited by the government to verify the administrative, financial and medical aspects of the Jamkesmas program across the archipelago.
"The commission is worried about the transition period, including the recruitment and forming of verification teams, the payment mechanism. Can the government really prepare those things in a such a short time, while the number of people needing health services is growing and the need is so urgent," said Taufan Tampubolon, a member of the legislative commission on health affairs.
The commission has also called for a review of the Jamkesmas program, saying the scheme violates a 2004 law on public health coverage because health insurance services for the poor should be managed by an independent entity, not the government.
Sulastomo said that Jamkesmas also had no real system of checks and balances because the verifications were done by the government and reported to the government.
"Organization-wise, it is already confusing .. anything that is not common sense and does not follow the principle of social health insurance will not be able to survive long.”
He also said that if the government wanted to go ahead with the scheme, it was imperative that the independence of the verification teams be assured. In the field, the transition to the new program does not appear to have affected the poor seeking free medical services.
"I have been an outpatient here for about two months now and I have not have had to pay anything for the health services. And I have had X-rays, went to see a gynecologist, had a heart examination, etc," said Sarti, 30, from Peserangan village in Cilegon, some 60 kilometers west of Jakarta.
As she squatted on the side of a covered path at Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta, Sarti said the only money she had to pay so far was for accommodation at a hostel run by the hospital – Rp 15,000 per day -- her meals and the trips home that she sometimes makes.
She has a yet unidentified womb problem that has bothered her since a miscarriage last year. "I often lose consciousness and suffer from grueling pain in the groin," she said.
Cunro, a slightly younger woman from Binuang village in Serang, not far from Cilegon, has also been an outpatient at Cipto Mangunkusumo for about two months, trying to find a cure for the painful and uncontrolled urinating that she has suffered since giving birth.
She takes a train to Jakarta every three days for treatment and sometimes stays at the hospital-run hostel.
"The hardest thing is the waiting. I am lucky that it was my husband who arranged for all the necessary letters and documents," Cunro said.
For outpatients, six documents are required, including a membership card for the old ASKES program, a reference letter from a local state health polyclinic, another from a provincial general hospital and a recommendation from a local social affairs and health office.
For hospitalization more documents are required, including a recommendation letter from a doctor at a local polyclinic.
Eka Yoshida, who heads health services for the poor at Cipto Mangunkusumo, said the hospital was obliged to provide health services for the poor.
She said the hospital still did not have a definite list of Jamkesmas participants from ASKES to work with. The list is prepared by provincial governments based on recommendations from district chiefs. ASKES verifies and compiles the final list and issues a Jamkesmas card to those on the list.
"And even after we receive the list, what will happen to those poor who are not on the list?" Yoshida said, adding that the public "was not yet educated enough about the prevailing health reference system".
Many poor people from the regions come directly to the hospital without any reference or recommendation from their local polyclinic or provincial general hospital.
"They do not have the proper documents, but they are already here and often in need of direct medical attention. We cannot refuse them," Yoshida said.
"We have to be flexible and therefore we also ask the authorities to be flexible with us, when we submit our invoices. At the current time, we cannot strictly adhere to the rules.”
Another problem faced by hospitals, Yoshida said, is dealing with bogus patients claiming free services.
"Not every patient claiming to be poor is honest. We have cases where patients come with highlighted hair, or with gold rings and bracelets, carrying an expensive cell phone, but they claim to be poor and want free medical services. If they have the proper documents, what can we do?"