Friday, December 23, 2005

KESAN DAN PESAN DARI JERMAN-DESEMBER 2005

KESAN DAN PESAN DARI MUENCHEN DESEMBER 2005

Minggu 18.12.05 Hari ini Munich ditutupi salju putih dengan temperatur minus 4 derajat. Jumat yl, 16 Desember 2005
kami dismabut dengan lagu natal yang merdu di stasiun kereta api kota Munich. Memang penyambutan natal (adventszeit)
terasa sekali kemeriahannya di kota sepakbola Jerman ini. Di pusat perbelanjaan kota Munich, dekat balai kota dibangun
kios-kios yang menjual barang-barang untuk perayaan natal, seperti pernak pernik natal, bermacam kue natal dan yang paling menarik
adalah pasar palungan (krippenmarkt) di mana dijual miniatur bayi Yesus dengan Maria, Yosef dan pengunjung yang mengagumi
bayi ajaib itu.


Image hosted by Photobucket.com
Pernak-pernik natal

Image hosted by Photobucket.com
Krippe (miniatur kelahiran Yesus

Inkulturasi kelahiran Juru Selamat memang terasa sekali di Jerman, khususnya di Bavaria yang kental dengan kesadaran kedaerahannya di Jerman. Miniatur kelahiran Kristus misalnya dibuat di rumah tradisionil petani (bauernhaus) dengan jemuran di emperan rumah dan pakaian dengan tradisi Bavaria. Saya pikir mengapa kita tidak menggambarkan Maria dan Josef dengan bulang dan gotong misalnya. Kita harus memperkenalkan Jesus sebagai salah satu di antara kita, bukan? Dan memang Dia datang ke dunia ini untuk menyatu dengan kita karena itulah tujuan kedatanganNya ke dunia ini.

Kalau dingin orang Bavaria minum anggur panas (gluewein) untuk menghangatkan badan. Enak sekali.

Tadi malam kami menonton opera Haensel und Gretel dengan musik Engelbert Humperdinck yang sudah terkenal di seluruh dunia karena musik klasik yang indah. Kisah asli dari Grimm Bersaudara ini menceritakan dua kakak beradik Haensel dan Gretel yang tersesat di hutan di mana mereka disuruh ibunya mencari makanan dan kayu bakar sesudah mereka dimarahi karena kerja kedua anak itu bermain sepanjang hari, pada hal mereka adalah anak tukang pembuat sapu yang miskin. Haensel dan Gretel jatuh ke tangan nenek sihir yang bermaksud memotong si Haensel untuk makan malamnya. Akhirnya mereka menyelamatkan diri dengan pertolongan malaikat pelindung. Nenek sihir terbakar di rumahnya sendiri dan mereka kembali ke pangkuan ibu bapanya yang mencintai mereka.

Minggu 19 Desember 2005

Tadi malam kami menghadiri pertunjukan kuartet terompet dari St. Petersburg (Rusia) di Wurmberg )Wuerttemberg), 300 km dari kota Munich. Empat orang pemuda Rusia memukau 100 pengunjung dengan lagu-lagu natal dan klasik di gereja protestan Wurmberg. Pengunjung datang untuk memberikan sumbangan untuk 24 anak Nias korban tsunami yang ditampung di rumah anak di Jalan Baja Membara Pematangsiantar. Eur 800 terkumpul pada malam yang dingin bersalju itu. Ibu Gertrud Purba mengucapkan terima kasih kepada masyarakat kota Wurmberg atas bantuan dan perhatian yang diberikan kepda anak Nias sehingga mereka dapat melanjutkan sekolahnya di Pematangsiantar. Perbedaan budaya dan tradiri tidak mengurangi solidaritas antar bangsa untuk menolong sesama manusia, kata ibu Gertrud.


Walikota Wurmberg, Herr Helmut Sickmueller, menyampaikan apresiasi atas karya kelompok kerja "Wurmberg Hilft Niaskinder" yang diprakarsai Herr Wolfgang Amann, yang sudah berkunjung ke Nias beberapa saat sesudah bencana alam tsunami pada awal tahun 2005.

Bendahara kelompok kerja mengumumkan bahwa sampai saat itu bantuan untuk anak Nias telah terkumpul sebanyak Eur 6200. Herr Amann berharap untuk mengumpulkan dana Eur 12000 sampai pertengahan tahun depan sehingga biaya tahun kedua untuk Nias terjamin, sesudah bantuan dari Lions Club Gelnhausen habis terpakai untuk 1 tahun pertama (2005-2006). Walikota Wurmberg menyampaikan cinderamata berupa logo kota Wurmberg kepada Dr. Sarmedi Purba dan menyampaikan penghargaan kepada Yayasan Bina Insani yang melaksanakan program bantuan untuk anak Nias korban tsunami di kota Pematangsiantar.

Thursday, August 18, 2005

Dr. Sarmedi Purba dilantik sebagai Ketua Forum Dokter Pembanding

Dr. Sarmedi Purba, SpOG dilantik
sebagai Ketua Umum Forum Dokter Pembanding (FDP)
oleh Persaudaraan Korban Sistim Kesehatan

Dalam rangka peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-60 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2006 Persaudaraan Korban Sistem Kesehatan melantik Dr. Sarmedi Purba, SpOG sebagai Ketua Umum Forum Dokter Pembanding masa bhakti 2005-2006 di Sekretariat LBH Kesehatan di Jakarta.

Dalam kata-kata penilaian Dr. Sarmedi Purba mengatakan bahwa Undang-Undang yang mengatur dokter yang melakukan malpraktek ada dalam KUHP walaupun kata malpraktek itu sendiri tidak tertulis di dalamnya. Semua larangan yang dilanggar dalam peraturan perundang-undangan dapat dipakai pengadilan untuk menghukum dokter; termasuk prosedur tetap yang diputuskan pimpinan institusi pelayanan di mana dokter bekerja, mengikat dokter dalam tindakannya. Namun menurut Sarmedi banyak peraturan dan undang-undang yang sekarang tidak berjalan, tidak beda dengan UU lalulintas yang tidak dipatuhi pemakai jalan. Cuma kalau peraturan lalin dilanggar bisa ditangkap polisi tapi kalau dokter melanggar aturan main tidak ada pengawas yang selalu memperhatikan.

Karena itu Dr. Sarmedi berpendapat bahwa memperbaiki pelayanan kesehatan di Indonesia berarti harus juga meningkatkan pengawasan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dokter. Jadi dokter tidak ada yang kebal hukum dan harus didisiplinkan sesuai dengan aturan profesi, tidak cukup dengan himbauan berdasar etika, agama dan moral saja. Sesudah 60 tahun merdeka pantas kita mempunyai dokter yang berstandar internasional, sehingga pasien yang membutuhkan pelayanan tidak harus pergi ke Penang atau Singapur. Citra dokter Indonesia harus dikembalikan pada proporsi yang seharusnya sebagai bangsa yang besar.

Sarmedi juga mengkritik bahwa sistim pembiayaan pelayanan kesehatan yang diatur pemerintah melalui PT ASKES, PT JAMSOSTEK belum dapat menyembuhkan penderita yang sakit. Untuk pengobatan keluarga miskin tiap orang sakit diberikan PT ASKES rata-rata Rp 6600 dan PT Jamsostek Rp 3500 per kunjungan berobat jalan. Dalam biaya tsb. Sudah termasuk biaya untuk obat, honor dokter dan perawat. Ini tidak masuk akal, kata Sarmedi dalam pidatonya yang dihadiri oleh Ibu Dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ibu Tuti Indarsih LS, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Iskandar Sitorus, Ketua Pendiri LBH Kesehatan dan 5 keluarga korban sitim kesehatan, yaitu keluarga cicilia (74 tahun) dengan kasus pengusiran rumah sakit, Leonardus (48 tahun) dengan kasus penyanderaan rumah sakit, Again Isna Nauli dengan (33 tahun) dengan penanganan medik yang sangat minimal, Tieva Putri Julianti (7 tahun) dengan kasus keracunan obat dan Marsita Aryani (40 tahun) yang mengklaim sebagai korban malpraktek. Kita harus memperjuangkan sistem yang menjamin bahwa setiap warga mendapat pengobatan yang layak sesuai jenis penyakitnya, bukan sesuai isi kantongnya, tandas Sarmedi.

Dengan dibentuknya Forum Dokter Pembanding maka pasien mempunyai kesempatan untuk mencari second opinion pada kasus yang diajukannya di pengadilan, kata Dr. Ribka Tjiptaning, anggota DPR RI itu. Kalau Forum ini menjadi besar bisa menandingi IDI, kata Dr. Ribka serius. Ibu Tuti, anggota DPR dari Fraksi PAN ini juga menyambut terbentuknya FDP ini karena dia sendiri juga pernah mengalami perlakuan dokter yang dinilainya sudah malpraktek.

Sebelumnya setiap keluarga korban yang diklaim malpraktek menceritakan pengalaman mereka dengan nada emosional dan ada yang sambil menangis, membuat hadirin semua terharu. Pada acara tsb. diadakan juga lomba panjat pohon pinang dengan hadiah obat-batan dan alat perawatan.

Monday, August 15, 2005

FORUM DOKTER PEMBANDING (Visi)

Mengapa kita perlu FDP?
Pemikiran dalam HUT 60 tahun Indonesia merdeka

Oleh Dr. Sarmedi Purba

1. Kedokteran Indonesia sedang sakit dan menderita. Dibutuhkan reformasi total pada sistem pelayanan kesehatan kita. Salah satu unsur untuk memperbaiki adalah mendisiplinkan stakeholder yang terlibat dengan peraturan perundang-undangan.
2. Tujuan utama:
Memberikan pelayanan medik yang sesuai standard medicine masa kini dan mengembalikan citra dokter Indonesia ke taraf inernasional. Untuk itu dibutuhkan:
2.1. pengawasan terhadap aturan perundang-undangan yang
berlaku (UU TIDAK BERGUNA TANPA PENGAWASAN)
2.2. Dokter tidak boleh kebal hukum dan pasien tidak diizinkan
menyalahkan dokter yang bertindak benar.
2.3. Dokter dan pasien harus didisiplinkan dengan hukum dan
tidak cukup dengan etik, agama dan moral.

3. Situasi kita sekarang (sesudah 60 tahun merdeka) adalah:
3.1. Keterbukaan dokter kepada pasien kurang sehingga pasien curiga kalau ada kegagalan. Kalau ada yang meninggal dokter mengatakan takdir yang sudah diaturTuhan (bukan dengan keterangan medis yang lengkap dan ilmiah)
3.2. 6 rumah sakit menolak pasien bayi prematur tidak dapat ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apakah benar hal itu terjadi karena belum ada UU yang mengatur atau peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak diterapkan dengan benar.
3.3. Pelayanan medik jauh dibawah standard internasional (kurang biaya, peralatan, skill dan disiplin petugas). Bayi kembar siam yang dinyatakan tidak layak dioperasi di top referral hospital di Indonesia ternyata berhasil dioperasi dengan gemilang di luar negeri. Teratoma paru yang tidak berhasil didiagnosa di Indonesia dengan mudah ditegakkan di rumah sakit negara jiran kita.
3.4. Tidak ada sistem pembiayaan yang cukup untuk menyembuhkan penderita (khususnya yang kurang mampu apalagi orang miskin). Sekarang diberikan askeskin (asuransi kesehatan rakyat miskin) tetapi biaya pengobatan harus dicukupkan Rp6600 tiap pasien berobat jalan (termasuk biaya dokter, obat, lab. dll).
3.5. Keadaan sanitasi di kota-kota sangat buruk (tidak ada riolisasi tertutup dan instalasi pengolahan limbah-ingat: riolisasi adalah yang pertama dilakukan pada peradaban Romawi 3000 tahun yang lalu) sehingga DHF dan Cholera menjadi rutinitas dari tahun ke tahun. Kita mengeluh tiap tahun seakan-akan wabah itu harus timbul di setiap musim hujan atau kemarau, tetapi di negara tetangga kita yang sanitasinya baik, penyakit tersebut tidak dikenal lagi oleh penduduknya. Jadi rakyat Indonesia didiskriminasi dalam nasibnya untuk mencapai derajat kesehatan yang layak.

4. Mengapa kita sampai pada situasi yang begitu gawat?
4.1. Keadaan di atas terjadi karena petugas kesehatan (termasuk dokter) sudah terbiasa bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang diterimanya di sekolah/fakultas: pemberian obat dasar yang tidak akan menyembuhkan penyakit, tidak membuat rekam medik dengan benar karena belum ada yang ditindak sebagai akibat perbuatan tsb. Pokoknya di Puskesmaas dan RSU tidak perlu menurut standar karena kita belum mampu membuatnya, tidak cukup biayanya dan tidak ada hukumannya kalau tidak berbuat prosedur yang benar. Situasi ini berkembang juga di RS swasta karena dokter-dokter yang bekerja di situ kebanyakan adalah pegawai negeri.
4.2. Cara pelayanan kita dengan cara yang tidak realistis tidak dapat kita pertahankan karena orang sekarang sudah bebas berobat ke luar negeri dan membandingkan cara pengobatan kita dengan cara di sana. Ini membahayakakan sistem pelayanan kesehatan kita yang terus menerus merosot kualitasnya.

5. Apa opsi kita?
5.1. Melaksanakan pelayanan medik yang ketat sesuai dengan prosedur baku school of medicine. Ini akan meningkatkan standar pelayanan kepada pasien (termasuk “rakyat miskin”). Ini akan menyulitkan petugas yang selama ini tidak disiplin dalam tugasnya (sudah terbiasa begitu) dan kemungkinan mereka akan melakukan perlawanan. Namun citra dokter Indonesia akan terangkat setara dengan dokter di luar negeri. Yang takut dalam masalah hukum ini biasanya hanya dokter yang nakal dan lalai/anggap enteng: tidak melengkapi rekam medik, indikasi tindakan medik yang kurang jelas atau komersial. Kita berpendapat bahwa pelayanan hukum untuk pasien tidak kurang pentingnya dari pelayanan medik itu sendiri (memberikan perlindungan hukum oleh dokter kepada pasien tidak kurang pentingnya dari pada pelayanan medik yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia).

5.2. Membangun sistem asuransi/penjaminan pembiayaan pelayanan medik yang ralistis. Sekarang biaya berobat yang disediakn dengan sistem yang ada oleh pemerintah tidak akan menyembuhkan pasien, misalnya dengan Jamsostek, Askes pegawai negeri dan sekarang askeskin (askes rakyat miskin). Menurut pengamatan saya Jamsostek menyediakan dana rata-rata Rp 3500 dan Askeskin Rp6600 untuk setiap kunjungan berobat jalan). Ini menambah rumitnya sistem pelayanan medik di Indonesia karena selain petugas kesehatan dipaksa untuk mengelola dengan biaya yang tidak masuk akal, pasien miskin diobati dengan cara yang diskriminatif dan tidak memenuhi standard. Opsi yang tersedia untuk askeskin adalah menghitung dengan benar berapa biaya rata-rata yang realistis untuk penyembuhan orang sakit (apakah yang kurang mampu atau miskin). Kalau dana belum mencukupi lebih baik dilakukan bertahap dengan dimulai pada sebagian saja dahulu dari rakyat miskin, tetapi dengan biaya yang memadai/realistis. Dengan cara ini standar pelayanan medik itu ditata kembali dan pada waktunya citra petugasnya, khususnya dokter, akan terangkat. Kalau sekarang setiap warga miskin diasuransikan Rp 5000/bulan pada PT ASKES sebaiknya diubah menjadi minimal Rp30.000/bulan dan sementara hanya 1/6 dari warga miskin dilayani. Tentu harus dilakukian pengawasan yang ketat (pelanggaran harus diganjar dengan pidana penipuan/pemalsuan termsuk oleh lurah yang memberikan kartu askeskin kepda orang mampu/bukan miskin).

6. Anjuran:
6.1. Forum Dokter Pembanding (FDP) melayani penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan penasehat hukum) untuk tampil sebagai saksi ahli yang independen.
6.2. FDP merumuskan kebijakan alternatif sebagai pembanding kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kelayakan yang berlaku masa kini.
6.3. Hasil yang diharapkan kalau anjuran ini dilaksanakan adalah peningkatan standar pelayanan medik untuk orang sakit dan terangkatnya citra dan standar kualifikasi dokter Indonesia.
6.4. memasyarakatkan FDP sehingga dapat diterima masyarakat penegak hukum sebagai badan yang independen.
6.5. Merumuskan usul-usul alternatif mengatasi kegawatdaruratan sistem pelayanan kesehatan kita sekarang.

Jakarta. 17-8-2005



(Dr. Sarmedi Purba)

Thursday, May 19, 2005

PENDAPAT TENTANG ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA

Menanggapi tulisan Bpk Sulastomo ttg. ASURANSI KESEHATAN BAGI WARGA MISKIN yang dimuat di Harian KOMPAS 19 Mei 2005, mengirimkan tulisan ini Harian KOMPAS dan kawan-kawan di milis sebb.:.

Membaca tulisan tersebut saya mendapat kesan bahwa Pak Sulastomo percaya bahwa dengan mengasuransikan tiap orang warga miskin sebesar Rp. 5000 per bulan, 36 juta jiwa golongan yang tidak mampu ini dapat dipelihara kesehatannya, dpl. saya kutip “diharapkan akan dapat dinikmati oleh mereka yang berhak menerima”.

Yang saya mau pertanyakan apakah memang sudah dihitung secara aktuaris apakah dengan premi Rp.5000 per kepala untuk 36 juta warga miskin, pelayanan kesehatan dengan dibiayai oleh PT ASKES sudah mencukupi untuk pelayanan kesehatan dengan standar minimum sehingga orang sakit bisa disembuhkan.

Saya ingin menanyakan Pak Sulastomo, sebagai orang yang berpengalaman dalam bidang asuransi kesehatan, apakah memang ini mungkin? Menurut pengalaman saya rasanya mustahil. Untuk karyawan sebanyak 200 orang saya pernah mencoba mengasuransikan pada PT ASKES dengan premi Rp 63.000/ kepala/bulan (pelayanan mondok kelas 3 termasuk berobat jalan). Mereka kewalahan sehingga akhirnya PT ASKES memutuskan untuk menghentikan kontrak dengan perusahaan kami.

Saya pernah mendiskusikannya dengan kawan-kawan yang mempunyai pengalaman mengelola dana kesehatan dan mereka menaksir bahwa biaya premi per orang per bulan minimal Rp 30.000 walaupun jumlahnya jutaan.

Kalau dana dari Askes nanti tidak mencukupi untuk membiayai pemeliharaan kesehatan warga miskin ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:

1.RSU Daerah (RSUD) dipaksa untuk menyediakan pelayanan murah dibawah harga pokok sehingga akan mengorbankan kualitas pelayanan. Ini sudah terjadi pada penjaminan pembiayaan oleh PT ASKES untuk PNS selama ini.
2.RSUD akan menutupi kekurangan dana dari PT ASKES dari anggarannya sendiri sehingga merusak sistem keuangan RSUD yang menjadi tidak realistis. Pada hal kita mengetahui bahwa pengobatan standar yang dimaksudkan oleh pak Sulastomo dalam tulisan tadi mempunyai harga pokok yang sama, apakah pelayanan kesehatan itu dilakukan di RSUD atau RSU Swasta. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa premi Rp 5000 per orang per bulan tidak akan mencapai harga pokok yang dimaksud di atas.
3.PT Askes akan membuat “administrative barrier” yakni dengan menata birokrasi yang berbelit-belit dan rumit sehingga akses nasabah PT Askes kelas kambing ini lebih sempit dan jumlah yang mempergunakan jasa pelayanan berkurang. Siasat ini telah dilakukan juga oleh PT Jamsostek pada buruh dan karyawan sehingga angka kesakitan pada buruh sangat rendah, karena mereka tidak mudah mendapat pelayanan (sebagian karena tempat pelayanan yang relatif sedikit jumlahnya dan jaraknya jauh dari tempat pemukiman buruh - terutama sulit dicapai pada malam hari). Administrative barrier ini sudah dipasang oleh PT ASKES pada PNS sejak bertahun-tahun. Seorang pegawai tinggi salah satu Departemen di Jakarta pernah menceritakan kepada saya bahwa dia diminta menyediakan beberapa fotocopy, lampiran dan birokrasi yang rumit untuk mendapat pelayanan dengan pembiayaan PT ASKES. Akhirnya dia memilih untuk bayar sendiri karena dengan demikian prosedurnya bisa sangat lempang.
4.PT ASKES akan mensubsidi pelayanan warga miskin ini dari keuntungannya dari nasabah yang lebih mampu untuk tarip ASKES PLUS. Ini akan menimbulkan masalah baru, karena situasi ini dapat mengganggu sistem penjaminan yang selama ini juga tidak mulus jalannya.

Situasi dan kondisi yang timbul akibat hal-hal tersebut di atas akan membahayakan pembangunan sistem penjaminan pelayanan kesehatan yang sedang dikembangkan di Indonesia, di mana dalam sistem ini PT ASKES memegang peran dan pangsa pasar yang cukup besar.

Kita mengetahui bahwa penjaminan pelayanan kesehatan bukan hanya memerlukan standar pelayanan minimum dan terjangkau tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah pelayanan yang tepat waktu. Tidak ada gunanya penjaminan pelayanan kalau daftar tunggunya terlalu panjang, sehingga misalnya orang tua penderita hernia sudah meninggal dimakan usia sebelum dia mendapat giliran diopersi.

Dengan paparan di atas saya ingin memberi jalan keluar sbb.:
1.Menghitung kembali berapa biaya premi pelayanan standar minimum yang dibutuhkan untuk warga miskin tadi. Penghitungan ini harus melibatkan pihak asuransi, rumah sakit (milik pemerintah dan swasta) sehingga diperoleh angka yang realistis dan praktikabel. Premi asuransi ini harus direvisi kembali secara berkala agar dapat menutupi harga pasar yang sebenarnya (obat, makanan, personal cost, BBM, dll). Dengan harga yang realistis ini warga miskin tidak menjadi pasien yang didiskriminasi dalam pelayanan kesehatan.
2.Untuk memperbaiki mutu pelayanan kesehatan, monopoli oleh RS milik Pemerintah dan perusahaan asuransi milik pemerintah harus dihilangkan. Karena ketiadaan pesaing maka pelayanan makin merosot. Hal ini tidak hanya berlaku dalam ekonomi pasar dalam proses produksi bahan konsumsi rumah tangga, tetapi justru dalam bidang pelayanan. Memang di beberapa negara maju telah terjadi fusi dari provider atau penjamin pelayanan kesehatan, tetapi masyarakat masih mempunyai beberapa pilihan sistem penjaminan, misalnya pilihan tentang luasnya cakupan jaminan dan kwalitas pelayanan (dengan dokter pribadi atau tidak, pelayanan kelas 1 atau 3, dst.). Intinya adalah, persaingan itu membuat penyedia pelayanan akan terus menerus meningkatkan kualitas pelayanannya.
3.Kalau dana tidak mencukupi maka pelayanan terhadap warga miskin ini ditangani bertahap, misalnya pada tahap 1 hanya 1/4 dari warga miskin yang dicakup, tahap berikutnya akan diperluas cakupannya. Upaya pengentasan kemiskina yang serius akan mengurangi jumlah “warga miskin” ini sehingga dengan peningkatan pendapatan per kapita dan pemerataan pendapatan, jumlah “warga miskin” ini juga akan mengalami penurunan.

Kesimpulannya, pembangunan sarana penjaminan pelayanan kesehatan di Indonesia harus ditangani dengan serius karena penyediaan dana pelayanan kesehatan adalah tulang punggung dari program pelayanan kesehatan itu sendiri. Penjaminan pembiayaan pelayanan kesehatan untuk warga miskin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penjaminan pelayanan secara nasional, karena porsi warga miskin yang relatif besar dan keruwetan yang terjadi pada sistem penjaminan untuk waga miskin akan berdampak negatif pada pembangunan sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Kualitas pelayanan kesehatan, teknologi kedokteran dan kualitas hidup bangsa Indonesia akan dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan kita menanggulangi masalah pendanaan pemeliharaan keseahtan di Indonesia.

Dr.med.Sarmedi Purba, SpOG
Pengamat Politik Kesehatan




Kamis, 19 Mei 2005
Asuransi Kesehatan bagi Warga Miskin
Oleh Sulastomo
DALAM rangka program subsidi bagi masyarakat miskin, pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk sektor kesehatan menjadi program asuransi kesehatan (askes) bagi masyarakat miskin.
Setiap orang miskin akan menerima bantuan untuk membayar iuran asuransi kesehatan, Rp 5.000. Jumlah mereka, diperkirakan sebanyak 36 juta. PT Askes Indonesia bertugas menyelenggarakan program yang kemudian diperkenalkan sebagai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPK MM).
Pemberian subsidi langsung seperti itu diharapkan akan dapat dinikmati oleh mereka yang berhak menerima. Semula, subsidi seperti itu disalurkan melalui para Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), yaitu RS/puskesmas dan lainnya. Dengan pemberian subsidi seperti itu, sering dilaporkan salah arah. Misalnya, subsidi justru dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya mampu membayar pelayanan kesehatan. Dengan pengalihan subsidi menjadi premi askes, penerima subsidi telah ditetapkan sebelumnya. Penetapan didasarkan kriteria tertentu dan tidak dilakukan pada saat sakit, seperti ketika tidak mampu membayar layanan kesehatan dengan mencari "surat miskin".
Berbeda dengan program sebelumnya, dengan mengalihkan menjadi program JPK MM, hak masyarakat miskin menjadi lebih terjamin karena hak/manfaat/benefitnya telah dibayar melalui iuran/premi askes. Ada transparansi dan akuntabilitas lebih jelas sehingga akan mendorong pengelolaan lebih profesional.
Meski demikian, tidak berarti semua pasti akan berjalan seperti diharapkan. Banyak kendala harus diantisipasi agar program ini dapat berkelanjutan sehingga dapat menjadi awal dimulainya program jaminan sosial kesehatan, sesuai UU No 40/2004 (UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN).
PENETAPAN orang miskin ternyata tidak mudah. Ada perbedaan angka. Angka 36 juta yang sering disebut pemerintah, dengan demikian bisa lebih, bisa kurang. Apabila kurang, tidak menjadi masalah. Kalau berlebih, dapat mengganggu penyelenggaraan, mengingat anggaran yang tersedia (Rp 2.1 triliun) dengan sendirinya menjadi kurang. Kalau benar program ini berdasar asuransi, tentu jumlah kumulatif premium (anggaran) tergantung jumlah peserta askes. Jawaban terhadap masalah ini mungkin dapat diperoleh sekitar Agustus nanti, saat pendaftaran peserta diharapkan selesai.
Selanjutnya, yang sering menjadi pertanyaan adalah, mampukah semua tugas itu diletakkan di pundak PT Askes Indonesia? Bukankah di berbagai daerah telah berdiri Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang didirikan atas prakarsa pemerintah juga untuk mengembangkan program jaminan kesehatan?
Satu hal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan program asuransi kesehatan adalah, aspek efisiensi, standar dan kualitas pelayanan kesehatan adalah amat penting. Efisiensi diperlukan agar dana yang tersedia dapat memberi manfaat maksimal (cost–effective). Hal ini diperlukan agar kenaikan biaya pelayanan kesehatan dapat dikendalikan sehingga premi tidak meningkat tahun demi tahun, yang akan memberatkan masyarakat.
Standar pelayanan diperlukan untuk menjamin bahwa tiap peserta akan menerima manfaat sama, sesuai premi yang dibayar. Sedangkan kualitas pelayanan diperlukan untuk melindungi peserta dari tindakan medik yang tidak sesuai kebutuhan, mengingat peserta askes, sebenarnya tidak tahu (ignorance) terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Untuk bisa memenuhi "efisiensi, standar, dan kualitas" pelayanan yang harus dipenuhi, ada prakondisi yang harus dipenuhi. Prinsip asuransi mengharuskan kita memenuhi persyaratan hukum bilangan banyak (the law of large numbers/the law of average). Semakin besar peserta program asuransi, semakin mudah menghitung risiko yang akan dihadapi peserta. Perhitungan "risiko dan manfaat" akan mendekati ketepatan yang semakin sempurna sehingga kelangsungan hidup program dapat lebih terjamin. Dari aspek ini dapat dipahami jika kita harus mencegah terbukanya peluang penyelenggaraan program asuransi kesehatan yang terpecah (fragmented), misalnya dengan membuka peluang banyak badan penyelenggara asuransi kesehatan (multi –payor system). Pelajaran dari banyak negara yang memperkenalkan multi – payor system, misalnya Jerman dan Jepang, akhirnya badan–badan penyelenggara asuransi kesehatan itu melakukan konfederasi/federasi atau bekerja sama dalam pengelolaan program asuransi kesehatan (administrasi bersama/central administration). Bahkan di Korea Selatan, seluruh Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan, yang semula berjumlah 22 buah, menjadi satu Badan Penyelenggara Tunggal, menjadi Single–payor system.
Dengan "wadah tunggal" Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan, aspek standar dan kualitas pelayanan kesehatan kian terbuka peluang besar terselenggara dengan baik. Hal ini disebabkan oleh karena Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan itu akan memiliki posisi tawar yang amat tinggi terhadap PPK.
Dengan memberi tugas penyelenggaraan program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin hanya pada PT Askes Indonesia, dapat dikatakan, pemerintah telah melakukan lompatan besar ke depan, mengantisipasi pelaksanaan UU N0 40/2004, yang menetapkan PT Askes sebagai salah satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS ) di Indonesia.
MESKI demikian, ada hal-hal yang harus mendapat perhatian agar JPK MM dapat menjadi embrio SJSN. Pemerintah, selayaknya melengkapi perangkat hukum sehingga kelangsungan program dapat terjamin dan tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan.
Amat diperlukan peraturan pemerintah yang menetapkan kriteria orang miskin, guna mencegah timbulnya angka–angka berbeda tentang jumlah orang miskin, berdasar kriteria berbeda. Dalam UU No 40/2004, jumlah orang miskin ditetapkan pemerintah daerah sesuai kriteria yang ditetapkan peraturan pemerintah.
Selanjutnya, sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, PT Askes Indonesia juga perlu disiapkan sebagai BPJS. Status Persero yang profit-making harus berubah menjadi lembaga BPJS yang bersifat not for profit, sebagaimana dimaksud dalam UU No 40/2004. Selain itu, kemampuan BPJS harus disiapkan agar kelangsungan program dapat terjamin.
Sebaiknya ada pembagian peran, tugas antara pemerintah pusat dan daerah. Jika program ini hanya menjadi program pemerintah pusat, tentu akan memberatkan pemerintah pusat. Di AS, program seperti ini (medicaid) menjadi tanggungjawab negara bagian. Di sini kita harus hati-hati agar kelangsungan program ini dapat berlanjut sehingga dapat memberi sumbangan besar lahirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Sulastomo Mantan Ketua Tim SJSN

Wednesday, May 11, 2005

KINDERHEIM DER TSUNAMI OPFER AUS NIAS

11. May 2005

Heute um 10.00 Uhr sind 13 Kinder aus der Insel Nias bei uns im Youth Center von Stiftung Bina Insani in Pematangsiantar angekommen. Sie sind von Herrn Ir. Nitema Gulo und Herrn Bazaro Waruwu begleitet worden. Sie sind alle gesund aber muede. Sie sind nach 12-stuendigen Schiff-Fahrt von Gunung Sitoli um 4 Uhr in Sibolga, Westkueste von Sumatra angekommen. Nach einer 6-stuendigen Busfahrt sind sie in Siantar angekommen.

Anbei ist die Liste der Kinder, sowohl eine Gruppenfoto als auch die einzelnen Bilder der Kinder.

Nach Angaben von Herrn Gulo und Herrn Waruwu sind von den 25 dmaligen Kinder 7 nach Medan und Pekanbaru umgezogen, 5 sind in anderen Schulen gegangen (weil sie zu lange gewartet haben und wegen der erneuten Erdbeben vom 28. Maerz 2005) und eins ist bei den Erdbeben vom 28. Maerz umgekommen.

Herr Gulo und wir sind der Meinung, dass wir die 13 Kinder erst unterbringen und nach einiger Zeit weitere hilfsbeduerftige Kinder suchen und nach Siantar bringen. Es muss natuerlich vor dem Schulanfang (Juli) dieses Jahres sein.

Im Namen der Kinder wollen wir uns bei allen Freunden in Deutschland ganz herzlich bedanken.

Mit freundlichen Gruessen

Dr.med.Sarmedi Purba

Ps. Weitere Berichte folgen in paar Tagen.

5. Juni 2005

Am 28. Juni 2005 ist ein Kind der damals 25 Kinder nachgekommen. Er heisst Yatatema Gulo, 2. Klasse SMP aus Lasarabagawu. Er konnte gluecklicherweise am 30.5.2005 in der Schule aufgenommen werden.

Die Liste der 13 Kinder (jetzt 14 Kinder):

No Name der Kinder Ges Geb.Dt Shule Aus Dorf Bemerkung
1 Marlin Waruwu m 27.3.88 SMU. Lasarabagawu
2 Fa’ahakhododo Gulo m 28.11.88 SMU Lasarabagawu
3 Fa’atulo Gulo m 10.4.88 SMK Fukagambo Waisen
4 Sokhiwolo’o Gulo m 13.7.90 SMP Lasarabagawu
5 Oskal Gulo m 16.4.90 SMP Fukagambo
6 Nofamati Zebua m 22.2.91 SMP Ononamolo-III
7 Masali Gulo m 13.12.91 SMP Lasarabagawu
8 Afolo Gulo m 19.4.91 SMP Lasarabagawu
9 Yafitarius Gulo m 28.12.92 SMP Lasarabagawu
10 Fernadowita Putra Gulo m 18.10.94 SD Lasarabagawu
11 Herman Gulo m 6.4.94 SD Lasarabagawu
12 Aminaria Waruwu w 16.3.93 SD Lasarabagawu
13 Natola Gulo m 17.7.88 SMU Hilisoromi Vater verstorb
14 Yatatema Gulo m SMP Lasarabagawu (nachgekommen am 28.5.2005)
Bemerkungen:
SMU = Oberschule; SMK = Fachoberschule; SMP = Erste Mittlere Schule; SD = Grundschule
Grundschule 6 Jahre, Mittl. Schule 3 Jahre, Oberschule 3 Jahre

Die Fotos der 13 Kinder (Nr.1-13)

Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Wednesday, January 19, 2005

RENCANA SHELTER ANAK NIAS KORBAN TSUNAMI

PENGADAAN SHELTER BAGI ANAK-ANAK
KORBAN GEMPA TSUNAMI ACEH DAN NIAS
Di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara, Indonea

Organisation Profile

A. Organisation : YAYASAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA “ BINA INSANI”
Human Resources Development Foundation

Founded : 2 May 1982, Notary SM. SINAGA, SH , Pematangsiantar
Address : Jln. Pantai Timur NO. 91, Pematangsiantar, Sumatera Utara, Indonesia
Phone : 0622 – 50527
FaX : 0622 – 51290
Email : bina_insani04@yahoo.com dan joened@indo.net.id
Contact Person:- Dr. Sarmedi Purba ( Chairman of Foundation )
- Agus Marpaung (Executive Director)

VISI : MEMBANGUN UNTUK DAN BERSAMA RAKYAT
MISI - Bersama melaksanakan program-program pengembangan keswadayaan
Masyarakat di Pedesaan
- Bersama meningkatkan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat di bidang social, ekonomi dan hak azasi manusia
Program Kerja:
1. Pengadaan Sarana phisik ( Air Bersih, Pemukiman)
2. Pendidikan dan Pelatihan
- Taman Kanak-kanak
- Perempuan, gender dan Kesehatan Reproduksi, Akupresur
- Pertanian dan pengembangan ekonomi
- Penguatan Kesadaran Hukum & HAM (Civil Society)
3. Publikasi Suara Insani

B. Name of Organisation : DIG ( Deutsch –Indonesische Gesellschaft Rhein-Main eV)
Founded : 1 Dezember 1997, Notar Dr. Klaus Hackenberg, Eschborn/
Germany
Address : Haupt Str 110, 65760 Eschborn, Germany
Phone : 061-96-484679
Fax : 061-96-954917
Email : rusdin.sumbajak@t-online.de
Contact Person : Dr. Hans von Zedlitz ( Vice Chairman of DIG) /Rusdin Sumbajak –Founder/Chairman)

Program kerja :
1-menghubungi dan mensosialisasikan program kerja kepada Donatur/Sponsor dan juga memberikan laporan terhadap perwakilan Pemerintah Jerman ( Konsulat dan Kemlu )

2.DIG dan Bina Insani bersama-sama memberikan laporan pertangung jawaban program kerja yang sedang berjalan dan akan dilakukan secara berkala.
3. Atas permintaan Donatur/sponsor yang telah memberikan Dana berhak melakukan pemeriksaan dan penilaian tersendiri atas project yang sedang berjalan.


1. BACKGROUND

Gempa Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu telah menewaskan 105.000 orang di Aceh dan Sumatera Utara yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa. Juga merusak pemukiman, perkantoran, dan fasilitas lainnya. Banyak orang yang masih hidup tapi saat ini kondisinya sangat kritis baik yang dirawat di Rumah Sakit maupun yang belum dibawa ke rumah sakit. Banyak yang belum mendapatkan bantuan makanan karena sulitnya pendistribusian bahan-bahan makanan, karena sarana transportasi dan juga komunikasi terputus.

Beberapa daerah yang banyak korban akibat Gempa Tsunami selain di wilayah Aceh terdapat di Kecamatan Mandrehe dan Siromu, Pulau Nias di Sumatera Utara.

Gempa ini telah mengakibatknya banyak anak yang saat ini masih hidup tetapi orang tuanya telah meninggal dunia. Hal ini telah membuat pukulan yang berat terhadap kondisi anak mental maupun terhadap fisik. Mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal dan kesulitan untuk mendapatkan makanan, kesehatan, dan pendidikan.

Kondisi Anak-anak Korban Tsunami Sumatera Utara sangat mengharapkan upaya-upaya kongkrit yang dapat membantu anak tersebut. Dimana mereka saat ini sebahagian besar tinggal di Pulau Nias, namun sebahagian dari anak tersebut dibawa oleh familinya dan tinggal diberba gai daerah seperti Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Medan, dan Sibolga.

Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam menolong anak yang orang tuanya meninggal akibat Gempa Tsunami Sumatera Utara adalah menyediakan Shelter di Kota Pematangsiantar, provinsi Sumatera Utara. Shelter yang dapat memberikan tempat tinggal bagi anak-anak dimana anak tersebut dapat tinggal, mendapat makanan, kesehatan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

Untuk tujuan di atas telah dipersiapkan sebuah rumah yang telah disewa sebagai Youth Center di Jalan Sambo 7A Pematangsiantar.


2. TARGET GROUP
Adapun Target Group dari Program ini adalah:
Ø Anak-anak Korban Tsunami Sumatera Utara (Nias)
Ø Anak-anak yang orang tuanya tidak mampu menyekolahkan anaknya lagi akbibat kerusakan gempa tsunami.
Ø Anak-anak yang berada di Nias
Ø Anak-anak yang membutuhkan perawatan medis dan psikhologis

3. OBJECTIVE
Ø Pendirian Shelter:
Memberikan pelayanan tempat tinggal, makanan, pendidikan bagi 25 anak korban Tsunami Sumatera Utara (Nias)

4. AREA PROGRAM

Shelter ini akan disediakan di satu rumah sewa di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.


5. INTERMEDIATE RESULT AND ACTIVITIES
No
Kegiatan
Indikator Keberhasilan
1
-Sosialisasi Kepada Stake holder (Pemerintah Kota Pematangsiantar dan Bupati Simalungun, Masyarakat, Elemen Masyarakat)
Ø Pihak Pemerintah Kota Pematangsiantar (Walikota - DPRD) dan Kabupaten Simalungun (Bupati-DPRD) mendukung adanya Shelter bagi Anak Korban Tsaunami Aceh dan Sumatera Utara (Nias)
2
-Menyewa Rumah sebagai Shelter
Ø Adanya 1 kompleks rumah yang disediakan sebagai shelter yang menampung 100 orang anak Korban Tsunami Sumatera Utara (NIAS)

6. BUDGET
Anggaran yang dibutuhkan dalam program ini :
Biaya sosialisasi kepada stakeholder
Biaya sewa 1 rumah untuk shelter
Biaya air, Listrik, telephone kompleks perumahan
Biaya Pembelian peralatan di Shelter: tempat tidur, alat memasak yang tidak ada lagi (tambahan)
Biaya transportasi penjemputan anak untuk datang ke shelter
Biaya hidup 100 orang Anak
Honor 2 Tenaga Pengasuh dan 1 orang kepala asrama, 1 tukang masak dan 3 orang pembantu

7. ASSESSMENT OF RISK
Proyek ini akan gagal diimplementasikan apabila terjadi :
Ø Kebijakan Pemerintah Pusat melarang Anak Korban Tsunami Nias diasuh di luar Nias.

8. SUSTAINABLE OF PROJECT AND IMPACT
Dampak dan Kesinambungan Program ini adalah:
Ø 25 orang anak korban Tsunami Sumatera Utara (Nias) akan mendapatkan perlindungan dan pendidikan
Ø 25 anak akan mendapatkan hidup yang layak walaupun orang tua mereka telah meninggal dunia
Ø 25 orang anak akan mendapatkan pendidikan formal dan non formal di Kota Pematangsiantar dengan mengupayakan program beasiswa
Ø Shelter ini akan tetap menjadi tempat perlindungan anak-anak korban Tsunami dan Pusat Rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi anak korban Tsunami, yang berlangsung secara berkesinambungan.