Friday, March 09, 2007

PEMEKARAN KABUPATEN SIMALUNGUN - OPINI

OPINI

Pemekaran Sebagai Upaya Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Kabupaten Simalungun
(Sarmedi Purba)

Pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru adalah kesempatan yang terbuka dalam upaya mempercepat pembangunan daerah sesudah era reformasi, khususnya untuk daerah tertinggal di Indonesia. Kemacetan pembangunan antara lain disebabkan oleh macetnya organisasi pemerintahan, sistem demokrasi yang tidak berjalan seperti seharusnya, Salah satu penyebab kesulitan yang timbul adalah karena luasnya daerah yang harus diurus oleh satu pemerintahan daerah dan jumlah penduduk yang melebihi angka ideal untuk dapat berfungsinya kontrol sosial masyarakat.

Dengan perkataan lain, pemerintahan yang sentralistik yang berjalan selama orde baru terlalu lamban melaksanakan pembangunan Indonesia. Salah satu kesimpulan pada era reformasi adalah mempercepat pembangunan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.

Menurut studi yang dilakukan di Filipina jumlah penduduk provinsi yang ideal adalah 1 sampai 2 juta, untuk satu kabupaten/kota 100 sampai 200 ribu jiwa. Pemerintahan kabupaten sebagai daerah otonom akan lebih demokratis, kepala daerah lebih mudah menjalankan tugasnya dan akan terfokus untuk masalah-masalah yang benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat. Ini berarti bahwa rakyat pada satu daerah otonomi di tingkat kabupaten kota akan lebih banyak berinteraksi dengan kepala daerah dan stafnya dan kontrol sosial masyarakat lebih berfungsi.

Merujuk pada pendapat di atas maka Kabupaten Simalungun sebaiknya dimekarkan menjadi dua kabupaten dan pada tahap berikutnya menjadi 4 sampai 5 kabupaten yang penduduknya masing-masing antara 100 sampai 200 ribu jiwa, sehingga pada akhir ceritanya 5-6 kabupaten hasil pemekaran itu digabungkan dengan kota Pematang Siantar membentuk satu Provinsi Simalungun.

Gambaran ideal yang dicita-citakan oleh pemikir otonomi daerah seperti digambarkan di atas bukan ilusi atau mimpi di siang bolong. Pemikiran pembentukan daerah otonomi kabupaten Tapanauli Utara (256.444 jiwa) dan Tobasa (sekarang 169.116 jiwa) yang kemudian disusul dengan pembentukan kabupaten Humbang Hasundutan (152.757 jiwa) dan kabupaten Samosir (130.662 jiwa) yang diproses sejak 5 tahun silam adalah bukti nyata yang dapat dibuat sebagai rujukan. Keempat kabupaten yang baru yang terbentuk itu adalah ex Kabupaten Tapanuli Utara yang penduduknya 709.000 jiwa. Karena itu kehadiran Provinsi Tapanuli yang sekarang sudah diambang pintu mengacu kepada pendapat di atas. Yaitu penggabungan keempat daerah ex Tapanuli Utara dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga yang penduduknya akan menjadi 1,1 juta (sama dengan penduduk Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar yang juga hampir 1,1 juta dari masing-msing 841.198 jiwa di Simalungun dan 235.372 jiwa[1] di Pematangsiantar).

Mengamati data-data di atas amatlah menarik untuk menggambarkan skenario apa yang akan terjadi kalau pada tahun 2007 ini (atau paling lambat 2008) Provinsi Tapanuli menjadi kenyataan. Apakah Provinsi Sumut yang penduduknya berkurang 1,1 juta menjadi 11,5 juta tetap menjadi satu provinsi yang utuh? Atau akan muncul gagasan mempersiapkan pembentukan Provinsi lain, semisal Provinsi Nias (harus dimekarkan menjadi 5-6 kabupaten/kota), Provinsi Tapanuli Bagian Selatan (sekarang sudah dipersiapkan menajdi 5-6 kabupaten/kota dengan penduduk sekitar 1,1 juta) dan beberapa provinsi penggabungan kabupaten/kota di daerah ex Keresidenan Sumatera Timur.

Mengapa pemekaran Kabupaten Simalungun penting sebagai upaya mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah ini?
Pembangunan yang macet atau pembangunan yang “jalan di tempat” di Kabupaten Simalungun, khususnya dalam pembangunan infrastruktur, dapat kita lihat dari minimnya penambahan atau pembukaan jalan baru, jalan yang lama rusak khronis. Masih ada beberapa ibukota kecamatan yang tidak dapat dijangkau dengan kenderaan roda 4 kecuali berkeliling melewati kabupaten lain, semisal jalan ke Sindarraya dan Nagori Dolog. Kita tidak habis pikir bagaimana 61 tahun Indonesia Merdeka belum mampu membuka jalan ke kecamatan yang teisolasi itu?

Nah, salah satu penyebabnya karena bupati yang berkedudukan di Pematangsiantar dan mengurus 32 kecamatan dan 840.000 penduduk itu tidak mungkin lagi bekerja efisien dan effektif. Ini bukan hanya disebabkan ketidakmampuan dari bupati-bupati selama ini, tetapi karena secara teknis memang hampir tidak mungkin memikirkan jalan ke Nagori Dolog dan Sindarraya dengan banyaknya urusan-urusan penting yang menyita perhatian dan waktu kepala daerah. Karena merasa diterlantarkan oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun, daerah yang terisolir ini sekarang meminta untuk dipindahkan ke Kabupaten Serdang Bedagai.

Kalau ibukota kabupaten di Sondiraya dan bupatinya hanya mengurusi 7 kecamatan di sekitarnya, dapat kita bayangkan bahwa prioritas utama program pembangunan bupatinya adalah membuka jalan ke daerah yang terisolasi tadi. Sama situasinya kalau ibukota kabupaten di Saribudolok, maka Bupatinya pasti akan memperjuangkan agar jalan akan mulus menuju Medan, Lubuk Pakam dan Tebing Tinggi melalui Saran Padang dan Bangun Purba. Bupati Saribudolok itu pasti akan memfokuskan diri dalam penataan jalan di tepi Danau Toba yang juga terisolir karena masih banyak desa-desa yang hanya dapat dicapai dengan angkutan danau. Demikian juga halnya di daerah sekitar Perdagangan, Tanah Jawa, Tiga Dolok dan Parapat.

Kita berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur lainnya akan berkembang dengan cepat kalau sarana jalan menuju kecamatan-kecamatan dan desa-desa yang terpencil dijamin berfungsi dengan baik. Sarana pendidikan dan kesehatan hanya dapat berfungsi kalau transportasi berjalan dengan wajar. Hasil pertanian akan mendapat „nilai tambah“ dengan pembukaan jalan. Sebaliknya dengan rusaknya jalan yang sudah ada, maka usaha pertanian rakyat akan menjadi tidak efisien dan tidak menambah pendapatan masyarakat.

Salah satu motivasi politisi memperjuangkan pemekaran daerah adalah dalam rangka memperjuangkan kucuran dana pembangunan untuk daerah. Bukankah politik pembangunan adalah perjuangan untuk mendapatkan porsi anggaran yang pantas dan adil untuk daerah masing-masing?

Kritik politisi pusat yang masih mempertahankan pemerintahan yang sentralistik, yang menuduh daerah otonomi baru hanya berupaya menghabiskan uang yang berasal dari Pusat (APBN) menjadi salah kaprah karena memang perjuangan daerah, khususnya daerah tertinggal adalah mengejar ketertinggalan mereka selama ini, yang tidak tersentuh oleh pembangunan, seperti ibukota kecamatan yang belum dibuatkan jalan menuju ibukota kabupaten tadi.

Ini sama saja dengan sentilan mereka yang anti otonomi daerah dengan menyebut “raja-raja kecil” untuk kepala daerah otonomi yang baru itu. Padahal maksud konsep memperkecil daerah kabupaten menjadi sekitar 100 sampai 200 ribu penduduk adalah untuk mengurangi potensi korupsi dan mencegah timbulnya raja-raja kecil itu. Pada daerah kecil demikian, tidak banyak lagi yang bisa dikorupsi. Dan kontrol sosial masyarakat dan pengawasan DPRD lebih berfungsi pada daerah yang bependuduk sedikit ini.

Akan halnya pembagian kue pembangunan untuk daerah otonomi baru itu? Dana pembangunan untuk daerah yang sama akan meningkat. Daerah ex Tapanuli Utara yang sudah mekar menjadi 4 kabupaten itu telah menerima kucuran dana (dituangkan menjadi APBD) yang konon jumlahnya sudah hampir dua kali lebih besar dari APBD Kabupaten Simalungun. Perlu dicatat bahwa Kabupaten Simalungun memiliki penduduk dan potensi (termasuk Pendapatan Asli Daerahnya) yang lebih besar dari daerah ex Taput.

Ada kekuatiran beberapa kelompok kecil etnik Simalungun, pemekaran ini dapat memecah belah kesatuan suku Simalungun sebagai penduduk asli di Simalungun. Kekuatiran mereka juga karena kemungkinan hilangnya „daerah Simalungun“ yang dihuni oleh suku pendatang, sehingga daerah kekuasaan ex 7 kerajaan Simalungun sebelum Indonesia Merdeka tidak utuh lagi, termasuk budaya Simalungun yang terkandung di dalamnya.

Kekuatiran ini dapat kita terima, namun kita berpendapat, bahwa pembangunan budaya Simalungun tidak terlepas dari upaya pemberdayaan masyarakat suku Simalungun itu sendiri. Pemberdayaan manusia etnik Simalungun ini tidak akan akan tercapai kalau tidak ada perjuangan memperbesar alokasi dana pembangunan, mempercepat pembangunan, peningkatan pelayanan publik, rekrutmen politik lokal.

Ini semua hanya dapat diperjuangkan melalui pemerintahan yang dekat kepada rakyat. Pembentukan daerah otonomi dengan penduduk yang lebih kecil membuka jalan untuk ini. Mempertahankan kabupaten Simalungun yang gemuk terbukti malah merangsang pemisahan Kecamatan Silau Kahean memisahkan diri dan masuk ke Kabupaten Serdang Bedagai.

Dengan alasan-alasan tersebut di atas kita mengajak seluruh lapisan masyarakat yang peduli pembangunan Kabupaten Simalungun, apa pun latar belakangnya untuk memperjuangkan pemekaran Kabupaten Simalungun. Selain ex Kabupaten Tapanuli Utara sebagai contoh, tetangga Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Batubara dapat dipedomani. Mengapa Kabupaten Simalungun tinggal diam dan malah tidur? Bergegaslah sekarang.

Ambil jugalah contoh Provinsi Gorontalo (hanya 5 kabupaten/kota dengan penduduk 835.000) dan Bangka Belitung (Babel) yang hanya memiliki 5 daerah otonomi kabupaten/kota dengan 900.000 jiwa.[2] Mereka adalah daerah yang dengan cepat memanfaatkan peluang yang terbuka pada era reformasi. Di negara tetangga kita Filipina yang berpenduduk 75 juta ada 78 provinsi, Thailand yang dihuni 65 juta jiwa diperintah oleh 75 gubernur provinsi.

Kalau Provinsi Tapanuli (Protap) terwujud, logikanya harus direspons dengan gagasan baru Provinsi Simalungun (proyeksi dari pemekaran Simalungun).

Untuk tahap pertama pembentukan darah otonomi baru harus digagasi dengan cepat di Simalungun, yaitu pembentukan Kabupaten Simalungun Hataran dengan ibukota Perdagangan. Panitia persiapan harus dibentuk secepatnya. Alternatif yang terbuka untuk mempercepat proses tewujudnya kabupaten baru ini adalah dengan menyusun kembali persyaratan-persayaratan yang sudah pernah dibuat, mengajukannya ke DPR sebagai usul Hak Inisiatif DPR. Kalau ini berhasil seperti pada pembentukan daerah otonomi Provinsi Kepulauan Riau, mengapa tidak?

Kemudian Kabupaten Induk Simalungun akan berbenah diri dan kalau persiapannya sudah matang, daerah ini, sebagaimana juga Kabupaten Simalungun Hataran, dijajaki menjadi masing-masing 2 kabupaten. Empat kabupaten yang yang terbentuk itu ditambah dengan Kota Pematangsiantar menjadi modal utama cita-cita pembentukan Provinsi Simalungun kelak. Cita-cita generasi penerus yang ingin daerah Simalungun jaya, ikut serta dalam laju pembangunan Indonesia dan tidak menunggu tetesan dana pembangunan dengan berpangku tangan.

Strategi untuk menggolkan gagasan ini dibuat dengan mencari dukungan dari seluruh lapisan masyarakat lintas suku, agama dan golongan. Dalam sistem politik Indonesia gagasan ini harus didukung oleh partai-partai yang mempunyai visi pembangunan dengan percepatan tinggi. Untuk ini setiap partai harus membahas gagasan ini dalam program partainya masing-masing. Dan pada akhirnya rakyatlah yang mementukan partai mana yang dapat menjadi tempat penyampaian aspirasi mereka. Sejarah akan membuktikan apakah partai yang tidak memperjuangkan pemekaran daerah masih mendapat dukungan rakyat. Partai mana yang tidak setuju pembuatan jalan ke Nagori Dolog dan Sindarraya? Partai mana yang tidak bersedia memperjuangkan dana provinsi untuk perbaikan jalan provinsi Pematangsiantar – Kaban Jahe atau Saribudolok – Lubuk Pakam atau Pematangsiantar - Limapuluh? Ini akan dijadikan tema kampanye Pemilu yang akan datang.

Akhirnya kita ingin mengingatkan bahwa pembangunan demokrasi dan upaya pembangunan yang tujuannya mengangkat harkat manusia dari jurang kemiskinan adalah perjuangan hak azasi manusia penduduk Indonesia khususnya di Kabupaten Simalungun, terlepas dia suku apa, agama apa atau golongan apa. Perjuangan demokrasi di satu pihak dan uapaya peningkatan pendapatan masyarakat melalui pembenahan infrastruktur di lain pihak, adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Karena itu kita menghimbau semua lapisan masyarakat, semua golongan, etnik, suku dan ras, partai politik, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mendukung upaya percepatan pembangunan di daerah kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar melalui upaya pemekaran daerah ini. Kalau kota Pangururan sudah menjadi ibukota kabupaten (sekarang jalannya sudah beraspal beton), apakah 10 tahun yang akan datang Saribudolok, yang sekarang lebih ramai, bisa bersaing sebagai ibukota kecamatan?








[1] Data BPS Sumut
[2] Data BPS Tahun 2000