Monday, February 02, 2009

Asuransi Kesehatan Untuk Semua

Pak Dono dan kawan-kawan netters,
Saya kira pemilis des-kes harus menyambut gagasan pak Sugeng Bahagijo dari Perkumpulan Prakarsa ini, khususnya gagasan untuk menempatkan kesehatan menjadi isu politik, sehingga rakyat punya pilihan menentukan presiden sesuau program kesehatan yang disodorkannya.

Menurut saya potensi anggaran pusat dan daerah memungkinkan untuk menyelenggarakan askes untuk semua di Indonesia. Pada Seminar yang diselenggarakan Caucus Askes Daerah setahun yl di Pematangsiantar, di mana Prof Laksono juga memberikan masukan, kami mendapat informasi dari kepala daerah yang hadir waktu itu, bahwa ada yang menganggarkan 20 % dari APBD untuk kesehatan, antara lain dengan menambah biaya askes yang belum dicakup oleh Askeskin, sekarang Jamkesmas. Malah ada yang sudah mempunyai askes daerah yang terbuka untuk semua penduduk satu kabupaten dengan premi yang rendah.

Model yang diajukan Obama sangat relevan untuk Indonesia dengan beberapa penyesuaian. Yang perlu dibuat jadi isu politik adalah:
1. Apakah anggaran Jamkesmas harus dikelola pusat padahal dalam UU Otonomi Daerah kesehatan sudah menjadi wewenang daerah (desentralisasi kesehatan).
2. Berapa sebenarnya premi asuransi kesehatan yang mampu memberikan pelkes yang menyembuhkan sehingga jaminan pelkes tidak hanya formal ada tapi realistis sesuai standar pelayanan minimal. Tentu ini menyangkut perdebatan kue anggaran yang 5% (?) dari PDB.
3. Anggaran yang dikelola PT Askes dan PT Jamsostek harus ditinjau ulang apakah sudah mencukupi untuk pelkes yang mampu menyembuhkan.
4. Perkelahian antara Menkes dan Direksi PT Askes juga menjadi PR presiden 2009-2014. Setelah Anggaran Askeskin yang Rp 4.2 T ditarik dari PT Askes ke program Swakelola Depkes yi Jamkesmas, sekarang giliran PT Askes menarik Pelkes PNS dari Puskesmas Pemerintah dan mengalihkannya ke dokter keluarga. Jadi tidak ada konsep politik kesehatan yang jelas dari SBY. Ini perlu ditegaskan oleh capres yad. Namun pada pengamatan saya tidak ada partai yang betul-betul peduli akan masalah ini.
5. Karena SJSN nampaknya sulit diterapkan perlu kiranya capres baru membuat konsep baru untuk dituangkan dalam RUU-P. Apakah sudah akan meninggalkan sistem penjaminan/asuransi atau alokasi dana sosial seperti Jamkesmas.

Akhirnya semua persoalan ini berpulang kepada kita semua di forum ini, apa visi kita (boleh masing-masing) dan apa ada akses kita ke partai atau capres 2009-2014.

Sarmedi
http://sarmedipurba.blogspot.com
*pendapat ini diutarakan pada milis des-kes@yahoogroups.com 2 Februari 2009 sebagai tanggapan tulisan KESEHATAN UNTUK SEMUA oleh SUGENG BAHAGIJO, Associate Director Perkumpulan Prakarsa, HARIAN KOMPAS 2 Februari 2009Kesehatan untuk Semua
Kompas, Senin, 2 Februari 2009:

Sugeng Bahagijo

Penuhilah kebutuhan kesehatan warga negara dan Anda akan memenangi pemilu.

Tidak percaya? Dalil ini dibuktikan Obama. Sekitar setahun sebelum
pemilu, rencana kesehatan Obama dinilai sebagai yang terbaik, bahkan
lebih baik daripada rencana milik calon presiden AS dari Republik,
termasuk John McCain, rival utamanya.

Dari segi cakupan (untuk semua), pendanaan, pilihan konsumen, dan
kemudahan pengelolaan (administrative simplicity), rencana kesehatan
Obama lebih unggul (Collins dan Kriss, 2008).

Obama merancang sistem asuransi kesehatan bagi semua warga AS. Bagi 47
juta warga yang hari ini tidak terlindungi, Obama menyediakannya.
Caranya, semua anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua
orang dewasa wajib memilikinya. Bagi yang tidak mampu, pemerintah akan
membayar preminya. Dananya berasal dari model campuran dari iuran
perusahaan, dana pemerintah federal, dan negara bagian plus iuran
peserta bagi yang mampu (mixed private-public group insurance).

Bagaimana Indonesia? Lima tahun pasca-Undang- Undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) 2004, yang hendak menata ulang jaminan
kesehatan, kita belum mendengar rencana para calon presiden untuk
mempercepat pelaksanaan SJSN. Tujuh bulan menjelang pemilu presiden,
kita juga belum melihat rencana kesehatan yang rinci dan kredibel,
yang oleh pemilih dapat dinilai, didukung, atau ditolak.

Kesehatan Indonesia

Meski lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bagus, kinerja kesehatan
Indonesia masih tertinggal. Tahun 2008, anggaran kesehatan hanya 2,49
persen dari APBN. Tahun 2009, anggaran kesehatan naik ke 2,8 persen
dari total APBN, sementara standar WHO sebesar 15 persen (Kompas,
6/1/2008). Bila harus memilih, mestinya kesehatan lebih utama
ketimbang pendidikan yang meraup anggaran 20 persen.

Wajar jika kinerja kesehatan masih tersisih. Angka kematian ibu masih
tinggi dan diperkirakan Indonesia akan gagal meraih target MDGs 2015.
Meski kini Indonesia ramai dengan rumah sakit internasional, kita juga
disodori berita seperti meninggalnya Muhammad Reinaldi (lima bulan) di
Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ia dipulangkan sesudah dirawat selama
29 hari karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya perawatan
(Berita Kota, 1/11/2008).

Ketimpangan hak atas kesehatan akan berlanjut jika perubahan tidak
dilakukan. Ketiadaan asuransi sosial menjadi sebab. Lindhental (2004)
mencatat, dari 210 juta lebih penduduk, hanya 17 juta jiwa yang
terlindungi asuransi kesehatan. Apalagi praktik yang ada membolehkan
penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter) menarik
biaya dari pengguna tanpa batasan. Pemerintah daerah bahkan
menggunakan pendapatan ini sebagai sumber utama pendapatan asli daerah
ketimbang pajak jasa restoran dan usaha hiburan. Ini tidak lain pajak
regresif bagi yang lemah (GTZ, 2008).

Guru besar kesehatan masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menunjukkan,
yang terjadi adalah you get what you pay for, akses atas jasa
kesehatan ditentukan daya beli dan pendapatan. Padahal, daya beli dan
pendapatan rata-rata keluarga Indonesia masih setingkat UMR. Pasar
kesehatan dan usaha swasta kesehatan dapat dibenarkan asal akses bagi
yang lemah menjadi mudah dan kinerja kesehatan nasional tidak
inferior. Patut diingat, derajat kesehatan sebuah bangsa bukan
ditentukan besaran kue ekonomi, tetapi distribusi kue ekonomi. Itulah
hasil kajian kinerja kesehatan antarbangsa oleh Norman Daniels, guru
besar Universitas Harvard (2001).

Pengalaman Asia Timur

Berkaca pada pengalaman Asia Timur, ada kaitan positif antara
demokratisasi politik dan derajat kesehatan di Jepang, Korea Selatan,
dan Taiwan. Di Jepang, sejak LDP pecah, kompetisi partai politik kian
ketat. Merebut hati pemilih dan warga negara tidak lagi bisa
diandalkan pada prestasi masa lalu. Parpol kian merasakan, mereka
perlu tampil dengan kebijakan sosial bagi semua lapisan sosial (Wong,
2008). Kompetisi politik ketat itu mendesak perubahan dari pendekatan
targeting dengan anggaran minimal menjadi pendekatan universal dan
anggaran maksimal.

Di Indonesia, terbitnya UU SJSN 2004 tentang jaminan sosial tak bisa
disangkal merupakan karya politik, dengan PDI-P dan Golkar sebagai
sponsor utama. UU ini digodok sejak 2002 dan tahun 2004, tahun akhir
jabatan Presiden Megawati, DPR mengesahkannya. UU SJSN ini merupakan
kemajuan besar karena dilandasi pada konsepsi perlindungan untuk
semua, perempuan dan lelaki, kaya dan miskin. Terkandung di dalamnya
upaya membagi beban dan manfaat (pooling risks and benefits) antara
yang mampu dan tidak mampu. Dengan demikian, ketimpangan sosial
ekonomi dikurangi.

Menjelang pemilu presiden Agustus 2009, kita menanti apa dan bagaimana
rincian kebijakan kesehatan para capres. Pemilih mencari jawab
bagaimana lapangan kerja diciptakan, pendapatan ditingkatkan, biaya
kesehatan dan pendidikan terjangkau. Mereka memerlukan sedikit citra
dan retorika. Selebihnya, yang dicari adalah kenyataan.

Sudah saatnya para capres menjawab. Misalnya, mengapa kita pelit dalam
alokasi anggaran kesehatan. Apakah ini akan dipertahankan? Benarkah
Jamkesnas akan dilanjutkan? Bagaimana dengan mereka yang tidak
tercakup Jamkesnas?

Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa


• Review & Outlook
• Paper Edition
• Weekender
• About Us
• Contact Us



Footing the Bill
The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 05/24/2008 7:17 AM | Center Piece
Providing affordable healthcare for a country’s neediest citizens is a thorny issue. Bhimanto Suwastoyo looks at the government’s attempts to work out glitches in health insurance for the poor.

In January, the Indonesian government launched a new scheme to provide free health services for the country's poor, estimated at some 76.4 million. The government replaced a less than three-year-old program managed by state health insurance company PT ASKES, saying the new program was an improved version that addressed the weaknesses of the old one.
However, many question whether this new program is the right vehicle to provide free health services to the poor, or if it will merely be a costly exercise in bad planning that will break down after a few years.
"Based on the considerations of controlling the costs of health services, improving quality, transparency and accountability, a change has been made in the management of the Health Insurance for the Poor program in 2008," Health Minister Siti Fadilah Supari said when launching the new public health insurance program, known by its Indonesian acronym Jamkesmas.
Supari said the major change was that it no longer used the services of PT ASKES and that the money for the program was now channeled directly from the state treasury to the bank accounts of 842 participating hospitals.
Under the old scheme, the government paid health insurance premiums for the poor to PT ASKES, allotting Rp 5,000 for each of the estimated 76.4 million low-income citizens who qualified.
The old program, the minister said when promoting the scheme in March, "was prone to and had the potential for corruption or irregularities".
Sarmedi Purba, who heads the Forum for Second Opinion Doctors, said the change was not merely cosmetic because it was no longer a health insurance scheme, where the state paid premiums for a set number of participants and ASKES paid for the medical service claims.
"The case now is that the government provides a certain sum of money for the hospitals to provide the services. It is no longer an insurance scheme but direct social assistance," Purba said.
Even back in 2005, Purba said, he foresaw that the Rp 5,000 insurance premium was not sufficient for comprehensive free medical coverage. Three years later, the figure not only remained unchanged, but had become the total cost allotted for one person per year.
Both Purba and former ASKES head Sulastomo said that with the Jamkesmas system, the country would never be able to provide comprehensive free health services for the poor and the program would always be chronically short of funds. .
Lily Sulistyowati, spokesperson for the Health Ministry, acknowledged that in 2007 the health service allotment under the old program was exceeded by Rp 1.7 billion, but promised that if an ongoing audit finds the costs warranted, the government will reimburse hospitals.
"Jamkesmas should return to an insurance scheme managed through an insurance system using the prudential principle .... Insurance companies have both the hard and software to insure health services, the government does not," Purba said.
For Sulastomo, unless the country launches an integrated health insurance program, also inclusive of higher income groups who can afford medical services, the program will fail.
"Only cross-financing between the rich and the poor can work. The state does not have the funds necessary to provide free health services to the poor," he said.
Another key problem is the qualifications, capabilities and integrity of the 2,664 "independent" officials to be recruited by the government to verify the administrative, financial and medical aspects of the Jamkesmas program across the archipelago.
"The commission is worried about the transition period, including the recruitment and forming of verification teams, the payment mechanism. Can the government really prepare those things in a such a short time, while the number of people needing health services is growing and the need is so urgent," said Taufan Tampubolon, a member of the legislative commission on health affairs.
The commission has also called for a review of the Jamkesmas program, saying the scheme violates a 2004 law on public health coverage because health insurance services for the poor should be managed by an independent entity, not the government.
Sulastomo said that Jamkesmas also had no real system of checks and balances because the verifications were done by the government and reported to the government.
"Organization-wise, it is already confusing .. anything that is not common sense and does not follow the principle of social health insurance will not be able to survive long.”
He also said that if the government wanted to go ahead with the scheme, it was imperative that the independence of the verification teams be assured. In the field, the transition to the new program does not appear to have affected the poor seeking free medical services.
"I have been an outpatient here for about two months now and I have not have had to pay anything for the health services. And I have had X-rays, went to see a gynecologist, had a heart examination, etc," said Sarti, 30, from Peserangan village in Cilegon, some 60 kilometers west of Jakarta.
As she squatted on the side of a covered path at Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta, Sarti said the only money she had to pay so far was for accommodation at a hostel run by the hospital – Rp 15,000 per day -- her meals and the trips home that she sometimes makes.
She has a yet unidentified womb problem that has bothered her since a miscarriage last year. "I often lose consciousness and suffer from grueling pain in the groin," she said.
Cunro, a slightly younger woman from Binuang village in Serang, not far from Cilegon, has also been an outpatient at Cipto Mangunkusumo for about two months, trying to find a cure for the painful and uncontrolled urinating that she has suffered since giving birth.
She takes a train to Jakarta every three days for treatment and sometimes stays at the hospital-run hostel.
"The hardest thing is the waiting. I am lucky that it was my husband who arranged for all the necessary letters and documents," Cunro said.
For outpatients, six documents are required, including a membership card for the old ASKES program, a reference letter from a local state health polyclinic, another from a provincial general hospital and a recommendation from a local social affairs and health office.
For hospitalization more documents are required, including a recommendation letter from a doctor at a local polyclinic.
Eka Yoshida, who heads health services for the poor at Cipto Mangunkusumo, said the hospital was obliged to provide health services for the poor.
She said the hospital still did not have a definite list of Jamkesmas participants from ASKES to work with. The list is prepared by provincial governments based on recommendations from district chiefs. ASKES verifies and compiles the final list and issues a Jamkesmas card to those on the list.
"And even after we receive the list, what will happen to those poor who are not on the list?" Yoshida said, adding that the public "was not yet educated enough about the prevailing health reference system".
Many poor people from the regions come directly to the hospital without any reference or recommendation from their local polyclinic or provincial general hospital.
"They do not have the proper documents, but they are already here and often in need of direct medical attention. We cannot refuse them," Yoshida said.
"We have to be flexible and therefore we also ask the authorities to be flexible with us, when we submit our invoices. At the current time, we cannot strictly adhere to the rules.”
Another problem faced by hospitals, Yoshida said, is dealing with bogus patients claiming free services.
"Not every patient claiming to be poor is honest. We have cases where patients come with highlighted hair, or with gold rings and bracelets, carrying an expensive cell phone, but they claim to be poor and want free medical services. If they have the proper documents, what can we do?"