Menanggapi tulisan Bpk Sulastomo ttg. ASURANSI KESEHATAN BAGI WARGA MISKIN yang dimuat di Harian KOMPAS 19 Mei 2005, mengirimkan tulisan ini Harian KOMPAS dan kawan-kawan di milis sebb.:.
Membaca tulisan tersebut saya mendapat kesan bahwa Pak Sulastomo percaya bahwa dengan mengasuransikan tiap orang warga miskin sebesar Rp. 5000 per bulan, 36 juta jiwa golongan yang tidak mampu ini dapat dipelihara kesehatannya, dpl. saya kutip “diharapkan akan dapat dinikmati oleh mereka yang berhak menerima”.
Yang saya mau pertanyakan apakah memang sudah dihitung secara aktuaris apakah dengan premi Rp.5000 per kepala untuk 36 juta warga miskin, pelayanan kesehatan dengan dibiayai oleh PT ASKES sudah mencukupi untuk pelayanan kesehatan dengan standar minimum sehingga orang sakit bisa disembuhkan.
Saya ingin menanyakan Pak Sulastomo, sebagai orang yang berpengalaman dalam bidang asuransi kesehatan, apakah memang ini mungkin? Menurut pengalaman saya rasanya mustahil. Untuk karyawan sebanyak 200 orang saya pernah mencoba mengasuransikan pada PT ASKES dengan premi Rp 63.000/ kepala/bulan (pelayanan mondok kelas 3 termasuk berobat jalan). Mereka kewalahan sehingga akhirnya PT ASKES memutuskan untuk menghentikan kontrak dengan perusahaan kami.
Saya pernah mendiskusikannya dengan kawan-kawan yang mempunyai pengalaman mengelola dana kesehatan dan mereka menaksir bahwa biaya premi per orang per bulan minimal Rp 30.000 walaupun jumlahnya jutaan.
Kalau dana dari Askes nanti tidak mencukupi untuk membiayai pemeliharaan kesehatan warga miskin ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
1.RSU Daerah (RSUD) dipaksa untuk menyediakan pelayanan murah dibawah harga pokok sehingga akan mengorbankan kualitas pelayanan. Ini sudah terjadi pada penjaminan pembiayaan oleh PT ASKES untuk PNS selama ini.
2.RSUD akan menutupi kekurangan dana dari PT ASKES dari anggarannya sendiri sehingga merusak sistem keuangan RSUD yang menjadi tidak realistis. Pada hal kita mengetahui bahwa pengobatan standar yang dimaksudkan oleh pak Sulastomo dalam tulisan tadi mempunyai harga pokok yang sama, apakah pelayanan kesehatan itu dilakukan di RSUD atau RSU Swasta. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa premi Rp 5000 per orang per bulan tidak akan mencapai harga pokok yang dimaksud di atas.
3.PT Askes akan membuat “administrative barrier” yakni dengan menata birokrasi yang berbelit-belit dan rumit sehingga akses nasabah PT Askes kelas kambing ini lebih sempit dan jumlah yang mempergunakan jasa pelayanan berkurang. Siasat ini telah dilakukan juga oleh PT Jamsostek pada buruh dan karyawan sehingga angka kesakitan pada buruh sangat rendah, karena mereka tidak mudah mendapat pelayanan (sebagian karena tempat pelayanan yang relatif sedikit jumlahnya dan jaraknya jauh dari tempat pemukiman buruh - terutama sulit dicapai pada malam hari). Administrative barrier ini sudah dipasang oleh PT ASKES pada PNS sejak bertahun-tahun. Seorang pegawai tinggi salah satu Departemen di Jakarta pernah menceritakan kepada saya bahwa dia diminta menyediakan beberapa fotocopy, lampiran dan birokrasi yang rumit untuk mendapat pelayanan dengan pembiayaan PT ASKES. Akhirnya dia memilih untuk bayar sendiri karena dengan demikian prosedurnya bisa sangat lempang.
4.PT ASKES akan mensubsidi pelayanan warga miskin ini dari keuntungannya dari nasabah yang lebih mampu untuk tarip ASKES PLUS. Ini akan menimbulkan masalah baru, karena situasi ini dapat mengganggu sistem penjaminan yang selama ini juga tidak mulus jalannya.
Situasi dan kondisi yang timbul akibat hal-hal tersebut di atas akan membahayakan pembangunan sistem penjaminan pelayanan kesehatan yang sedang dikembangkan di Indonesia, di mana dalam sistem ini PT ASKES memegang peran dan pangsa pasar yang cukup besar.
Kita mengetahui bahwa penjaminan pelayanan kesehatan bukan hanya memerlukan standar pelayanan minimum dan terjangkau tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah pelayanan yang tepat waktu. Tidak ada gunanya penjaminan pelayanan kalau daftar tunggunya terlalu panjang, sehingga misalnya orang tua penderita hernia sudah meninggal dimakan usia sebelum dia mendapat giliran diopersi.
Dengan paparan di atas saya ingin memberi jalan keluar sbb.:
1.Menghitung kembali berapa biaya premi pelayanan standar minimum yang dibutuhkan untuk warga miskin tadi. Penghitungan ini harus melibatkan pihak asuransi, rumah sakit (milik pemerintah dan swasta) sehingga diperoleh angka yang realistis dan praktikabel. Premi asuransi ini harus direvisi kembali secara berkala agar dapat menutupi harga pasar yang sebenarnya (obat, makanan, personal cost, BBM, dll). Dengan harga yang realistis ini warga miskin tidak menjadi pasien yang didiskriminasi dalam pelayanan kesehatan.
2.Untuk memperbaiki mutu pelayanan kesehatan, monopoli oleh RS milik Pemerintah dan perusahaan asuransi milik pemerintah harus dihilangkan. Karena ketiadaan pesaing maka pelayanan makin merosot. Hal ini tidak hanya berlaku dalam ekonomi pasar dalam proses produksi bahan konsumsi rumah tangga, tetapi justru dalam bidang pelayanan. Memang di beberapa negara maju telah terjadi fusi dari provider atau penjamin pelayanan kesehatan, tetapi masyarakat masih mempunyai beberapa pilihan sistem penjaminan, misalnya pilihan tentang luasnya cakupan jaminan dan kwalitas pelayanan (dengan dokter pribadi atau tidak, pelayanan kelas 1 atau 3, dst.). Intinya adalah, persaingan itu membuat penyedia pelayanan akan terus menerus meningkatkan kualitas pelayanannya.
3.Kalau dana tidak mencukupi maka pelayanan terhadap warga miskin ini ditangani bertahap, misalnya pada tahap 1 hanya 1/4 dari warga miskin yang dicakup, tahap berikutnya akan diperluas cakupannya. Upaya pengentasan kemiskina yang serius akan mengurangi jumlah “warga miskin” ini sehingga dengan peningkatan pendapatan per kapita dan pemerataan pendapatan, jumlah “warga miskin” ini juga akan mengalami penurunan.
Kesimpulannya, pembangunan sarana penjaminan pelayanan kesehatan di Indonesia harus ditangani dengan serius karena penyediaan dana pelayanan kesehatan adalah tulang punggung dari program pelayanan kesehatan itu sendiri. Penjaminan pembiayaan pelayanan kesehatan untuk warga miskin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penjaminan pelayanan secara nasional, karena porsi warga miskin yang relatif besar dan keruwetan yang terjadi pada sistem penjaminan untuk waga miskin akan berdampak negatif pada pembangunan sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Kualitas pelayanan kesehatan, teknologi kedokteran dan kualitas hidup bangsa Indonesia akan dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan kita menanggulangi masalah pendanaan pemeliharaan keseahtan di Indonesia.
Dr.med.Sarmedi Purba, SpOG
Pengamat Politik Kesehatan
Kamis, 19 Mei 2005
Asuransi Kesehatan bagi Warga Miskin
Oleh Sulastomo
DALAM rangka program subsidi bagi masyarakat miskin, pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk sektor kesehatan menjadi program asuransi kesehatan (askes) bagi masyarakat miskin.
Setiap orang miskin akan menerima bantuan untuk membayar iuran asuransi kesehatan, Rp 5.000. Jumlah mereka, diperkirakan sebanyak 36 juta. PT Askes Indonesia bertugas menyelenggarakan program yang kemudian diperkenalkan sebagai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPK MM).
Pemberian subsidi langsung seperti itu diharapkan akan dapat dinikmati oleh mereka yang berhak menerima. Semula, subsidi seperti itu disalurkan melalui para Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), yaitu RS/puskesmas dan lainnya. Dengan pemberian subsidi seperti itu, sering dilaporkan salah arah. Misalnya, subsidi justru dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya mampu membayar pelayanan kesehatan. Dengan pengalihan subsidi menjadi premi askes, penerima subsidi telah ditetapkan sebelumnya. Penetapan didasarkan kriteria tertentu dan tidak dilakukan pada saat sakit, seperti ketika tidak mampu membayar layanan kesehatan dengan mencari "surat miskin".
Berbeda dengan program sebelumnya, dengan mengalihkan menjadi program JPK MM, hak masyarakat miskin menjadi lebih terjamin karena hak/manfaat/benefitnya telah dibayar melalui iuran/premi askes. Ada transparansi dan akuntabilitas lebih jelas sehingga akan mendorong pengelolaan lebih profesional.
Meski demikian, tidak berarti semua pasti akan berjalan seperti diharapkan. Banyak kendala harus diantisipasi agar program ini dapat berkelanjutan sehingga dapat menjadi awal dimulainya program jaminan sosial kesehatan, sesuai UU No 40/2004 (UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN).
PENETAPAN orang miskin ternyata tidak mudah. Ada perbedaan angka. Angka 36 juta yang sering disebut pemerintah, dengan demikian bisa lebih, bisa kurang. Apabila kurang, tidak menjadi masalah. Kalau berlebih, dapat mengganggu penyelenggaraan, mengingat anggaran yang tersedia (Rp 2.1 triliun) dengan sendirinya menjadi kurang. Kalau benar program ini berdasar asuransi, tentu jumlah kumulatif premium (anggaran) tergantung jumlah peserta askes. Jawaban terhadap masalah ini mungkin dapat diperoleh sekitar Agustus nanti, saat pendaftaran peserta diharapkan selesai.
Selanjutnya, yang sering menjadi pertanyaan adalah, mampukah semua tugas itu diletakkan di pundak PT Askes Indonesia? Bukankah di berbagai daerah telah berdiri Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) yang didirikan atas prakarsa pemerintah juga untuk mengembangkan program jaminan kesehatan?
Satu hal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan program asuransi kesehatan adalah, aspek efisiensi, standar dan kualitas pelayanan kesehatan adalah amat penting. Efisiensi diperlukan agar dana yang tersedia dapat memberi manfaat maksimal (cost–effective). Hal ini diperlukan agar kenaikan biaya pelayanan kesehatan dapat dikendalikan sehingga premi tidak meningkat tahun demi tahun, yang akan memberatkan masyarakat.
Standar pelayanan diperlukan untuk menjamin bahwa tiap peserta akan menerima manfaat sama, sesuai premi yang dibayar. Sedangkan kualitas pelayanan diperlukan untuk melindungi peserta dari tindakan medik yang tidak sesuai kebutuhan, mengingat peserta askes, sebenarnya tidak tahu (ignorance) terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Untuk bisa memenuhi "efisiensi, standar, dan kualitas" pelayanan yang harus dipenuhi, ada prakondisi yang harus dipenuhi. Prinsip asuransi mengharuskan kita memenuhi persyaratan hukum bilangan banyak (the law of large numbers/the law of average). Semakin besar peserta program asuransi, semakin mudah menghitung risiko yang akan dihadapi peserta. Perhitungan "risiko dan manfaat" akan mendekati ketepatan yang semakin sempurna sehingga kelangsungan hidup program dapat lebih terjamin. Dari aspek ini dapat dipahami jika kita harus mencegah terbukanya peluang penyelenggaraan program asuransi kesehatan yang terpecah (fragmented), misalnya dengan membuka peluang banyak badan penyelenggara asuransi kesehatan (multi –payor system). Pelajaran dari banyak negara yang memperkenalkan multi – payor system, misalnya Jerman dan Jepang, akhirnya badan–badan penyelenggara asuransi kesehatan itu melakukan konfederasi/federasi atau bekerja sama dalam pengelolaan program asuransi kesehatan (administrasi bersama/central administration). Bahkan di Korea Selatan, seluruh Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan, yang semula berjumlah 22 buah, menjadi satu Badan Penyelenggara Tunggal, menjadi Single–payor system.
Dengan "wadah tunggal" Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan, aspek standar dan kualitas pelayanan kesehatan kian terbuka peluang besar terselenggara dengan baik. Hal ini disebabkan oleh karena Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan itu akan memiliki posisi tawar yang amat tinggi terhadap PPK.
Dengan memberi tugas penyelenggaraan program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin hanya pada PT Askes Indonesia, dapat dikatakan, pemerintah telah melakukan lompatan besar ke depan, mengantisipasi pelaksanaan UU N0 40/2004, yang menetapkan PT Askes sebagai salah satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS ) di Indonesia.
MESKI demikian, ada hal-hal yang harus mendapat perhatian agar JPK MM dapat menjadi embrio SJSN. Pemerintah, selayaknya melengkapi perangkat hukum sehingga kelangsungan program dapat terjamin dan tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan.
Amat diperlukan peraturan pemerintah yang menetapkan kriteria orang miskin, guna mencegah timbulnya angka–angka berbeda tentang jumlah orang miskin, berdasar kriteria berbeda. Dalam UU No 40/2004, jumlah orang miskin ditetapkan pemerintah daerah sesuai kriteria yang ditetapkan peraturan pemerintah.
Selanjutnya, sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, PT Askes Indonesia juga perlu disiapkan sebagai BPJS. Status Persero yang profit-making harus berubah menjadi lembaga BPJS yang bersifat not for profit, sebagaimana dimaksud dalam UU No 40/2004. Selain itu, kemampuan BPJS harus disiapkan agar kelangsungan program dapat terjamin.
Sebaiknya ada pembagian peran, tugas antara pemerintah pusat dan daerah. Jika program ini hanya menjadi program pemerintah pusat, tentu akan memberatkan pemerintah pusat. Di AS, program seperti ini (medicaid) menjadi tanggungjawab negara bagian. Di sini kita harus hati-hati agar kelangsungan program ini dapat berlanjut sehingga dapat memberi sumbangan besar lahirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Sulastomo Mantan Ketua Tim SJSN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment