Oleh Sarmedi Purba
Akhirnya Menkes dengan dukungan Presiden, resmi mengalihkan Askeskin menjadi Jamkesmas 4 Maret 2008. Dengan demikian program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (JPKMM) sebesar Rp4,6 Triliun pada APBN 2008 dialihkan dari sistem asuransi menjadi sistem swakelola oleh pemerintah (catatan: kata miskin” dihapus dari Jamkesmas).
Apa artinya perubahan ini dan apa prediksi kita atas kebijakan baru ini? Pada tulisan ini dipaparkan beberapa kelainan (keanehan) kebijakan ini, apa akibatnya dan apa dugaan kita yang akan terjadi pada akhir pelaksanaan program pada akhir 2008.
1. Sejak Program JPKMM dimulai dengan sistem Askeskin tahun 2005 saya sendiri sudah menghitung bahwa biaya Rp 5.000 per orang per bulan tidak cukup untuk penjaminan pelayanan kesehatan orang miskin. Dugaan ini baru tebukti pada akhir 2007, di mana PT Askes menunggak pembayaran biaya pengobatan orang miskin kepada RSUD sebesar Rp1,2 Triliun. Dari mana pemerintah akan menutupi lobang anggaran ini, belum ada kejelasan, karena anggaran untuk itu memang tidak ada lagi dan semua anggaran 2007 telah disetor habis kepada PT Askes.
2. Sekarang untuk program 2008 tarif Rp 5000 per kepala per bulan juga masih diberlakukan Menkes, yaitu Rp 4,6 Triliun untuk 76,4 juta orang miskin. Padahal harga bahan pokok, obat dan jasa sudah mengalami kenaikan sejak tahun 2005. Prediksi saya, kekurangan biaya akan jauh melampaui angka defisit tahun 2007 yaitu sebesar Rp 1,2 Triliun.
3. Mengapa tidak dihitung dulu berapa yang dibutuhkan untuk biaya penjaminan pengobatan orang miskin? Ada beberapa kemungkinan, pertama karena tidak mau menghitungnya karena tujuannya bukan untuk menyembuhkan orang miskin yang sakit, tetapi hanya sebagai alat “tebar pesona” yang selama ini dituduhkan kepada pemerintah oleh Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Untuk tidak berniat buruk sangka seperti dugaan ini, kemungkinan kedua adalah kebiasaan pejabat kita yang tidak mau merencanakan dengan cermat sebelum program dimulai. Sama halnya dengan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang sampai sekarang tidak jelas kiprahnya dan kita duga akan gagal pelaksanaannya karena kesulitan penerapannya.
4. Keanehan lainnya adalah makin menjauhnya sistem Jamkesmas ini dari visi yang terkandung pada UU SJSN No 40 Tahun 2004 itu. Mengapa? UU SJSN mepersyaratkan adanya Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional (BPJSN) yang merupakan pihak ketiga diluar pemerintah, semacam perusahaan asuransi nirlaba yang berdiri sendiri. Karena badan ini belum ada (belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya), maka untuk sementara tugasnya dilaksanakan oleh PT Askes dan PT Jamsostek, perusahaan milik pemerintah. Seperti sudah diutarakan oleh Dirut PT Askes dan pakar-pakar asuransi kesehatan, sebaiknya harus ada pihak ketiga untuk melaksanaan penjaminan pelayanan kesehatan, untuk mendapatkan pelayanan yang optimal. Tetapi karena pertikaian antara Depkes dan PT Askes tentang masalah verifikasi dan mark up, Depkes tidak memberikan lagi wewenang penuh kepada PT Askes dalam pengelolaan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin untuk tahun 2008. Mereka hanya diberikan tugas mengeluarkan kartu Jamkesmas tanpa berhak melihat atau mengelola uangnya (rumusannya: “meliputi tatalaksana kepesertaan, tatalaksana pelayanan dan tatalaksana organisasi dan manajemen”). Dalam konteks ini kita juga mempersoalkan anggaran JPKMM yang direncanakan pada APBN sebagai “jaminan” yang berarti bersifat asuransi, yang dialihkan pemerintah (Depkes) menjadi dana sosial yang dikelola aparat pemerintah sendiri, yang tidak mempunyai dalil-dalil kehati-hatian seperti pada perusahaan asuransi.
5. Memang sangatlah aneh kalau satu perusahaan asuransi kesehatan seperti PT Askes ditugasi hanya mendata dan mengatur siapa yang berhak dapat kartu asuransi tanpa mencampuri seluruh fungsi asuransi kesehatan dalam pengelolaan pelayanan kesehatan. Bukankah perusahaan milik negara ini dibuat berbentuk PT agar aturan mainnya sama dengan perusahaan swasta lainnya, lebih rasionil, lebih efisien dan lebih profitable, walaupun profitnya kembali kepada negara untuk dapat dinikmati rakyat? Anehnya, mengapa Dirut PT Askes mau mengerjakan pekerjaan “kotor” yang tidak profesional ini dengan fee kecil sebesar Rp 74.632.173.903? Saya pernah menanyakan kepatuhan PTAskes, walaupun perusahaan ini dibawah naungan Menteri BUMN dan diatur oleh Departemen Keuangan. Salah seorang Komisari PT Askes menjawab, “memang kami anak asuh Menteri BUMN pak, tetapi yang melahirkan kami adalah Depkes… dan kami tidak mau jadi anak durhaka…”
6. Pertanyaan yang paling penting adalah, apakah Menkes menganut “evidence based medicine” (ilmu kesehatan berbasis bukti) pada pelaksanaan program Jamkesmas ini? Banyak pakar mengajukan pertanyaan yang sama dan menjawab sendiri pertanyaannya dengan tidak. Sebagai contoh Depkes akan menerapkan INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Group). Sistem ini berisi paket-paket pengobatan murah yang berisi jenis penyakit (diagnosa) dan harga paketnya. Misalnya untuk radang usus buntu (appendicitis) harganya Rp 650.000. Rumah sakit dan dokter boleh mengoperasi pasien atau hanya memberikan antibiotika dan obat anti nyeri, pemerintah hanya membayar Rp 650.000. Dan untuk honor dokter spesialis bedah dirinci sebesar Rp 90.000, tanpa menanyakan dokter, apakah dia setuju dengan ketentuan itu. Tidak ada juga keterangan dari mana angka Rp 650.000 itu datang, karena kita tidak tahu berapa harga makanan, obat-obatan termasuk obat bius di kamar operasi, sabun cuci, dll. Intinya, apakah memakai harga paket atau tidak, harus diketahui harga pokok pelayanan menyembuhkan tiap penyakit dan ini harus dapat dibuktikan secara ilmiah atau oleh dokter yang berpengalaman untuk tiap jenis penyakit. Sebab tanpa evidence based medicine, biaya yang dianggarkan sebesar Rp 4,6 Triliun itu akan terbuang percuma dan tidak dapat dinikmati oleh orang miskin.
Akhirnya saya hanya mengharap, agar prediksi tersebut di atas meleset. Mudah-mudahan rumahsakit sebagai penyedia pelayanan (provider) tidak dikorbankan, karena ini akan merusak sistem pelayanan kesehatan Indonesia seluruhnya (mengapa banyak orang berobat ke luar negeri?), membuat rumah sakit terpuruk karena harus mengalihkan dana lain untuk bisnis rugi yang dilakukannya dengan Depkes dan tidak kurang pentingnya, tenaga dokter yang menurun kualitasnya (pasien dirujuk bukan karena alasan tindakan medis, tetapi karena faktor harga paket). Untuk menghindari “disasters” yang mungkin timbul, saya hanya menghimbau untuk menata ulang program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin ini dengan melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), perusahaan obat, asosiasi asuransi kesehatan dan pakar-pakar lain yang dianggap perlu.
(Dr. med. dr. Sarmedi Purba SpOG, Ketua Umum Forum Dokter Pembanding Jakarta, Dirut PT Vita Insani Insani Sentra Medika Pematangsiantar, tinggal di Pematangsiantar, Sumut)
Email: sarmedipurba@hotmail.com
Situs: http://sarmedipurba.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Dear Dok,
Ulasan yang menarik sekali.
Terima kasih pencerahannya.
Kadang langkah petinggi2 kita seperti kurang perencanaan dan penelitian matang.
Yang menjadi korban ya rakyat dan pelaku kesehatan.
Topik serupa sering dibahas oleh rekan sejawat dr. Hatmoko di blog beliau.
Salam,
Dani Iswara
http://daniiswara.net/
Selamat pagi Pak Purba. Begitu rumitnya jalinan interest dilevel atas, begitu pula kusutnya implementasi dilevel bawah. Sehingga terkadang timbul ungkapan sarkatis "Orang miskin dilarang sakit" Dengan hilangnya kata "miskin" apakah ini akan diterjemahkan secara uraian juridis sebagai pengelakan "tanggung jawab negara" Mudah-mudahan tidak demikian. Horas
Post a Comment