Hari Senin, 20 Agustus 2007 saya membacara koran Sinar Indonesia Baru bahwa di Bah Pasussang, Desa Siporkas, Kecamatan Raya terjadi musibah kebakaran di mana 3 rumah dilalap api dan 4 keluarga kehilangan harta benda. Saya mengirimkan sms kepada sekretaris PMI Cabang Siantar Simalungun apakah kepada desa itu bisa diantar bantuan PMI. Jawabnya postif dan kami pada sore harinya menyerahkan bantuan 4 karung beras masing-masing 30 kg untuk 4 keluarga korban kebakaran.
Dalam perjalanan dari Sondiraya melalui Bah Biruh, Buluraya Pasar dan Siporkas saya menelusuri hutan belantara yang masih perawan menuju Bah Pasussang. Melalui Lembah Panguapan dan jembatan Bah Siduaruang kami menaiki bukit dan melihat Dolog Simarsopah dengan tebing batu putih yang memantulkan cahaya matahari sore di kejauhan.
Limapuluh tahun silam saya jalan kaki menjelajahi hutan ini. Waktu itu ada seorang anak gadis dari Desa Sinundol tinggal di rumah kami –belajar menjahit pada ibu saya- dan dialah yang membawa kami ke desanya Sinundol, melewati Bah Pasussang. Kami bermalam dan keesokan harinya setelah matahari melalui puncak ketinggiannya, kami masing-masing membawa satu bakul kemiri di atas kepala. Jalannya berbatu-batu, kadang miring ke sebelah kanan atau kiri. Dan kami berhenti kelelahan di Lombang Panguapan ini.
Waktu itu di lereng Dolog Simarsopah, di dea Sinundol, biji kemiri dapat diambil sesuka hati dan sebanyak yang kita ingini. Mereka bilang “songon ayoban namapitung”, orang buta pun dapat memanen tanpa kesulitan. Konon kabarnya, kemiri di Dolog Simarsopah terkenal bagus dan lezat rasanya. Dengan usia 13 tahun saya ikut menempuh jarak 15 km melalui jalan hutan yang bekelok-kelok menembus hutan belantara dengan membawa 1 bakul (haduduk) biji kemiri menuju Desa Sondiraya.
Ingatan itulah mengetuk hati saya untuk melihat Desa Bah Pasussang kembali sesudah sekian lama. Seingat saya waktu masa kanak-kanak- pernah saya ikut kebaktian di sekolah di Bah Pasussang, di mana Pdt Wismar Saragih berkhotbah dan mengadakan rapat dengan pengurus gereja di Bah Pasussang ini. Pada satu lahan datar saya masih ingat sekolahan itu. Ada 3 ruangan kelas belajar. Sekarang saya tidak mengenal desa yang saya lihat itu lagi. Sekolah mereka jauh di bawah lembah di bawah jurang dan gereja di atas bukit di pinggir jalan raya Sondiraya menuju Sindarraya. Desa Bah Pasussang sendiri terletak 50 meter dari gereja yang bertuliskan GKPS Bah Pasunsang yang megah itu.
Waktu saya tanya di mana sekolah lama itu, mereka bilang itu sudah di luar desa sekarang, dekat jurang yang terancam longsor. Karena itulah sekolah di bangun di lembah sana dan desa baru dibangun di tempat sekarang. Mereka ada 80 keluarga dengan mata pencaraharian utama berkebun karet yang hasilnya dijual di Sindarraya, 15 km dari Bah Pasussang. Mereka juga menanam padi di lereng gunung yang terjal dengan kemiringan 60 derajat.
Jalan beraspal beton yang sebagian sudah rusak dan semaknya kanan kiri jalan sudah hampir haltup (bertemu di tengah jalan) tidak banyak mengubah nasib desa ini. Bedanya, mereka sudah bisa naik mobil, bus (1 x sehari) dan sepeda motor, untuk keluar dari desanya ke Sondiraya dan Pematangsiantar, yang jaraknya 15 dan 45 km.
Ketika saya tanya bagaimana jalan ke ibukota kecamatan Rayakahean di Sindarraya, mereka bilang masih dalam keadaan rusak dan sulit dilalui. Pertama sempit dan pada beberapa tempat hanya dapat dilalui minibus, tidak dengan sedan. Padahal jalan ini satu-satunya jalan antar kecamatan Raya dan Rayakahean atau jalan kabupaten antar kecamatan. Sampai sekarang mereka dari Kecamatan Rayakahean menempuh jarak yang lebih jauh melalui Kabupaten Serdang Bedagei dan Tebing Tinggi atau Bajalinggei untuk mencapai ibukota kabupaten Simalungun di Pematang Simalungun, KM 3 Jalan Asahan Pematangsiantar. Kalau ibukata Siamlungun pindah ke Sondiraya bagaimana ya? Sungguh ironis pada masa 62 tahun Indonesia Merdeka.
Saya menyerahkan 4 karung beras kepada korban bemimik putus asa itu. Salah seorang lelaki muda dengan muka kaku dan mata berkaca-kaca, menerima bantuan simbolik itu, boras tenger, penumbuh semangat berjuang terus mengarungi hidup yang cukup pahit ini. Sebagai Ketua PMI saya katakan bahwa hidup jalan terus, the life must go on, dan untuk itulah PMI membuat program bantuan korban bencana alam, salah atu dari kegiatannya untuk kemanusiaan. Dalam perjalanan pulang saya berpikir, masih banyak Bah Pasussang lain di Indonesia.
Gunung/Dolog Simarsopah
Hutan Belantara
Menyerahkan Bantuan "Boras Tenger"
Tuesday, August 21, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment