Sunday, May 18, 2008

HARI KEBANGKITAN NASIONAL vs 100 TAHUN KIPRAH DOKTER INDONESIA

Oleh Sarmedi Purba

Hari Kebangkitan Nasional ke 100 dimanfaatkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi event besar untuk profesi kedokteran di Indonesia. Alasannya dapat diterima akal, karena yang mendirikan Budi Utomo 100 tahun lalu, pada 20 Mei 1908 adalah beberapa dokter Indonesia, khususnya dokter Wahidin Soedirohoesodo dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Walaupun kemudian kita ketahui bahwa kehadiran dokter-dokter sekolah dokter pribumi Stovia di Batavia waktu itu bukan karena pergerakan profesi kedokteran, tetapi hanya kebetulan, karena yang mengunjungi “sekolah tinggi” waktu itu hanya mungkin di bidang kedokteran. Sekolah tinggi hukum baru jauh kemudian hari, itupun banyak yang dikirim ke Negeri Belanda.

Tetapi yang pasti adalah bahwa dokter ternyata mampu bergerak dalam bidang politik, bukan hanya dalam politik kesehatan tetapi dalam politik membangkitkan semangat bangsanya untuk melepaskan diri dari penjajahan, menuntuk persamaan hak sebagai bangsa, yang sekarang sudah diakui termasuk dalam hak-hak azasi manusia universal (universal human rights). Sesudah 100 tahun, pada tahun 2008 ini, apakah dokter Indonesia mampu berjuang dalam bidang politik memperjuangkan bangsanya? Jawabnya lebih cenderung tidak dari ya. Mengapa?

Karena untuk menjadi pemimpin, selama ini orang Indonesia memilih jalur militer ketimbang jalur non militer. Kebanyakan politisi non militer adalah sarjana hukum, menyusul ekonomi, teknik dan barisan terakhir adalah dokter. Mungkin karena kuliah kedokteran membutuhkan ketekunan, kemapanan, kehati-hatian, sehingga selalu dianggap salah kaprah, kalau seorang dokter bicara dalam bidang politik.

Baru pada bulan Mei 2008 ini, saya mendapat pengalaman pahit, ketika berbicara sebagai pemerhati politik, mengkritik dengan pedas pengunduran perpindahan kantor bupati di salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Pemindahan kantor bupati yang sudah menelan biaya sekitar Rp 200 milyar untuk mendirikan sarana fisik diterlantarkan sejak bertahun-tahun oleh bupati. Karena kritikan ini saya sebutkan sebagai pengingkaran janji kampanye Pilkada yang memalukan, pejabat terkait marah besar dengan mengatakan bahwa saya sebagai dokter tidak mempunyai tata krama berbicara dan sebaiknya hanya mengurusi rumah sakit tempat saya mencari nafkah. Kesimpulan saya, seorang yang berprofesi dokter dianggap bupati setempat tidak kompeten berbicara tentang politik, walaupun itu menyangkut kepentingan masyarakat kabupaten yang menurut hemat saya sudah dikorbankan, karena menunda perpindahan itu sejak bertahun-tahun, yang pada gilirannya berdampak perlambatan pembangunan (baca: pensejahteraan) rakyat di kabupaten itu.

Dengan alasan tersebut saya berpikir bahwa penting sekali Ikatan Dokter Indonesia memikirkan agar organisasi profesi ini membuat program pengkaderan sehingga lebih banyak dokter-dokter yang berminat memasuki partai, duduk dalam jabatan legislatif dan eksekutif, memperjuangkan nasib bangsanya, khususnya dalam bidang kesehatan. Memang pada salah satu misi IDI dirumuskan tentang “mengembangkan peranan yang bermakna dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia”. Tetapi ini kan harus diperjuangkan secara politis memalui partai politik, legislatif dan peranserta dalam eksekutif.

Misalnya, apakah IDI atau wakil-wakilnya pernah memperjuangkan agar anggaran kesehatan pada APBN harus mencapai 20% (menurut WHO minimal 5%) seperti pada anggaran pendidikan? Siapa yang kompeten bicara mengenai hal itu. Dan bagaimana implementasinya agar anggaran tersebut dapat “meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia” secara “bermakna”.

Sebagai rujukan perlu disebut di sini bahwa anggaran kesehatan kita secara nasional adalah dibawah 3 %, di mana pada tahun 2008 sedikit menurun dari angka tahun sebelumnya. Kita mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab untuk ini. Apakah hanya Menteri Kesehatan yang “dianggap” mewakili kepentingan dokter, yang secara konstitusi adalah “pembantu” Presiden?

Sepanjang pengetahuan saya belum ada partai atau pemerintahan pada zaman reformasi ini yang mempunyai visi dan program kesehatan yang jelas dan konsekuen dilaksanakan. Paling sedikit saya tidak melihatnya pada kampanye Pilpres 2004. Semua Capres bicara hanya secara umum saja –seperti IDI- yang dapat diinterpretasikan sesuka pembacanya. Tidak ada politisi atau partai yang memperjuangkan agar sistem pembiayaan pelayanan kesehatan harus terjamin melalui sumber tertentu semisal scheme penjaminan atau asuransi kesehatan tertentu, berapa persen rakyat Indonesia dalam satu periode pemerintahan yang 5 tahunan itu ditargetkan dapat menikmatinya. Karena itulah juga program penjaminan kesehatan berubah-ubah konsepnya (karena tidak ada visinya), misalnya dari sistem asuransi menjadi sistem dana sosial. Pada hal perubahan itu sangat prinsipil sekali dalam politik kesehatan, seperti yang kita amati dengan sistem kesehatan nasional di Inggris dan sistem asuransi kesehatan di Jerman atau di Amerika Serikat (isu ini merupakan topik hangat pada kampanye Pemilu atau Pilpres di Amerika Serikat dan Jerman).

Membicarakan kesehatan sebagai isu politik masih tabu di Indonesia. Karena orang menganggap, program apapun itu kalau namanya program kesehatan, selalu baik dan dapat diterima semua pihak. Pada hal kita tahu, bahwa banyak program kesehatan yang dianggap baik pada mulanya, ternyata gagal. Mungkin terlalu pesimis, kalau kita sebutkan proyek kesehatan gagal di Indonesia, semisal program pemberantasan (=eradication) malaria (masih ada 1,75 juta kasus malaria di Indonesia), tuberkulosis (kasus tbc meningkat di beberapa daerah), program gizi (kembalinya busung lapar), belum tersedianya asuransi kesehatan yang merata dan memadai di Indonesia (bandingakn dengan Malaysia dan Singapura yang sudah berjalan dengan baik). Apakah Health for All Tahun 2000 dan Indonesia Sehat 2010 termasuk dalam daftar ini?

Karena itu saya mengusulkan, momentum 100 tahun kiprah dokter Indonesia dapat dijadikan tonggak perubahan agar kesehatan menjadi isu politik kembali di Indonesia, sama dengan pendahulu kita dokter Wahidin Soedirohoesodo, dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, yang menjadikan ilmunya menjadi isu politik bukan hanya dalam bidang kesehatan tetapi dalam bidang pergerakan nasional. Mari mengajak semua dokter berkiprah politik untuk memperjuangkan nasib bangsa ini, karena dokterlah yang paling dekat kepada tiap insan di masyarakat, karena profesinya membutuhkan sentuhan individual secara fisik, psikhis, spiritual dan sosial.

No comments: