Saturday, May 24, 2008

Berita ASRAMA ANAK Siantar di koran Jerman

Dalam Rangka HUT RSVI ke-25 dan 100 Tahun Kiprah Dokter Indonesia Rumah Sakit Vita Insani Bertekad Hijaukan Kota Siantar

Pematangsiantar memerlukan pepohonan sebagai paru-paru kota. Sayangnya belakangan ini kesadaran untuk menanam pohon semakin menurun. Untuk itu, Rumah Sakit Vita Insani (RSVI) sebagai salah satu stakeholder Kota Pematangsiantar bertekad menggelorakan kembali semangat melakukan penghijauan.

Kegiatan penghijauan yang dimotori RSVI merupakan sebagai wujud terimakasih kepada masyarakat dalam rangka hari ulang tahun rumah sakit itu yang ke-25 dan 100 tahun kiprah dokter Indonesia. RSVI akan melakukan penanaman 25 ratus atau 2.500 pepononan (simbol 25 tahun RS Vita Insani dan 100 tahun kiprah dokter Indonesia) berbagai jenis di lingkungan RSUD dr Djasamen Saragih. Ribuan bibit lainnya akan ditanam di beberapa tempat strategis yang akan diperjuangkan menjadi jalur hijau di Pematangsiantar.

Direktur RSVI dr Alpin Hoza dan Direktur PT Vita Insani Sentra Medika Dr med dr Sarmedi Purba SpOG di ruang kerjanya kepada wartawan, Rabu (21/5) menjelaskan program penghijauan yang akan dilakukan di Kota Pematangsiantar. Perubahan iklim global dan peningkatan derajat kesehatan memerlukan lingkungan yang sehat. Salah satunya ketersediaan udara bersih bagi masyarakatnya, selain pola hidup yang sehat.

“RSVI sebagai salah satu unit yang melayani kesehatan masyarakat, terpanggil untuk melakukan penanaman pohon di Kota Pematangsiantar. Ini tahap awal, selanjutnya akan dilakukan secara bertahap di daerah-daerah lain yang menjadi area pelayanan RSVI. Kami berharap dukungan masyarakat untuk memeliharanya, ini demi kita dan kelangsungan hidup generasi mendatang,” kata Sarmedi Purba.

Konsultasi Gratis
RSVI juga meluncurkan program konsultasi gratis bagi setiap warga yang berobat jalan pada tanggal 21 Mei 2008. Hal ini merupakan bagian dari 100 tahun kiprah dokter Indonesia. “Jangan lupa, sekarang kita merayakan 100 tahun kebangkitan nasional, salah satu tokohnya adalah seorang dokter, yakni dokter Sutomo. Jadi dalam rangka memperingati, RSVI menggratiskan jasa medik konsultasi bagi yang berobat jalan,”ujar Alpin Hoza.

Khusus mengenai peran dokter dalam kebangkitan nasional, menurut Sarmedi Purba perlu diperjelas. Belakangan, kehadiran dokter dalam panggung politik Indonesia semakin berkurang bahkan sangat minim. Padahal, sejarah mencatat, dokter Indonesia sebagai salah satu tokoh yang melahirkan kebangkitan bangsa Indonesia.

Untuk itu, Sarmedi Purba melihat kehadiran dokter untuk kebangkitan bangsa Indonesia yang tengah terpuruk di segala bidang, sangat diperlukan. Untuk itu, ia mengimbau dokter-dokter Indonesia jangan terlena dalam tugas-tugas rutin saja. Tapi harus memiliki kepekaan dengan kondisi bangsa dan aktif memberi sumbangan pemikiran maupun tenaga membangkitkan kembali Indonesia.

“Dokter-dokter Indonesia bangkitlah, ibu pertiwi memerlukan kita, memerlukan perjuangan kita, ”seru Sarmedi Purba. Ia berkeyakinan Indonesia cepat pulih dari keterpurukan, jika makin banyak dokter berperan aktif dalam berbagai bidang, bukan hanya bidang kesehatan saja, tapi juga sosial politik dan ekonomi. Momen 100 tahun kebangkitan nasional harus menjadi titik kembali dokter untuk berperan aktif. (siaran pers rsvi 21-5-08/Bantors)

Sunday, May 18, 2008

HARI KEBANGKITAN NASIONAL vs 100 TAHUN KIPRAH DOKTER INDONESIA

Oleh Sarmedi Purba

Hari Kebangkitan Nasional ke 100 dimanfaatkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi event besar untuk profesi kedokteran di Indonesia. Alasannya dapat diterima akal, karena yang mendirikan Budi Utomo 100 tahun lalu, pada 20 Mei 1908 adalah beberapa dokter Indonesia, khususnya dokter Wahidin Soedirohoesodo dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Walaupun kemudian kita ketahui bahwa kehadiran dokter-dokter sekolah dokter pribumi Stovia di Batavia waktu itu bukan karena pergerakan profesi kedokteran, tetapi hanya kebetulan, karena yang mengunjungi “sekolah tinggi” waktu itu hanya mungkin di bidang kedokteran. Sekolah tinggi hukum baru jauh kemudian hari, itupun banyak yang dikirim ke Negeri Belanda.

Tetapi yang pasti adalah bahwa dokter ternyata mampu bergerak dalam bidang politik, bukan hanya dalam politik kesehatan tetapi dalam politik membangkitkan semangat bangsanya untuk melepaskan diri dari penjajahan, menuntuk persamaan hak sebagai bangsa, yang sekarang sudah diakui termasuk dalam hak-hak azasi manusia universal (universal human rights). Sesudah 100 tahun, pada tahun 2008 ini, apakah dokter Indonesia mampu berjuang dalam bidang politik memperjuangkan bangsanya? Jawabnya lebih cenderung tidak dari ya. Mengapa?

Karena untuk menjadi pemimpin, selama ini orang Indonesia memilih jalur militer ketimbang jalur non militer. Kebanyakan politisi non militer adalah sarjana hukum, menyusul ekonomi, teknik dan barisan terakhir adalah dokter. Mungkin karena kuliah kedokteran membutuhkan ketekunan, kemapanan, kehati-hatian, sehingga selalu dianggap salah kaprah, kalau seorang dokter bicara dalam bidang politik.

Baru pada bulan Mei 2008 ini, saya mendapat pengalaman pahit, ketika berbicara sebagai pemerhati politik, mengkritik dengan pedas pengunduran perpindahan kantor bupati di salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Pemindahan kantor bupati yang sudah menelan biaya sekitar Rp 200 milyar untuk mendirikan sarana fisik diterlantarkan sejak bertahun-tahun oleh bupati. Karena kritikan ini saya sebutkan sebagai pengingkaran janji kampanye Pilkada yang memalukan, pejabat terkait marah besar dengan mengatakan bahwa saya sebagai dokter tidak mempunyai tata krama berbicara dan sebaiknya hanya mengurusi rumah sakit tempat saya mencari nafkah. Kesimpulan saya, seorang yang berprofesi dokter dianggap bupati setempat tidak kompeten berbicara tentang politik, walaupun itu menyangkut kepentingan masyarakat kabupaten yang menurut hemat saya sudah dikorbankan, karena menunda perpindahan itu sejak bertahun-tahun, yang pada gilirannya berdampak perlambatan pembangunan (baca: pensejahteraan) rakyat di kabupaten itu.

Dengan alasan tersebut saya berpikir bahwa penting sekali Ikatan Dokter Indonesia memikirkan agar organisasi profesi ini membuat program pengkaderan sehingga lebih banyak dokter-dokter yang berminat memasuki partai, duduk dalam jabatan legislatif dan eksekutif, memperjuangkan nasib bangsanya, khususnya dalam bidang kesehatan. Memang pada salah satu misi IDI dirumuskan tentang “mengembangkan peranan yang bermakna dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia”. Tetapi ini kan harus diperjuangkan secara politis memalui partai politik, legislatif dan peranserta dalam eksekutif.

Misalnya, apakah IDI atau wakil-wakilnya pernah memperjuangkan agar anggaran kesehatan pada APBN harus mencapai 20% (menurut WHO minimal 5%) seperti pada anggaran pendidikan? Siapa yang kompeten bicara mengenai hal itu. Dan bagaimana implementasinya agar anggaran tersebut dapat “meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia” secara “bermakna”.

Sebagai rujukan perlu disebut di sini bahwa anggaran kesehatan kita secara nasional adalah dibawah 3 %, di mana pada tahun 2008 sedikit menurun dari angka tahun sebelumnya. Kita mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab untuk ini. Apakah hanya Menteri Kesehatan yang “dianggap” mewakili kepentingan dokter, yang secara konstitusi adalah “pembantu” Presiden?

Sepanjang pengetahuan saya belum ada partai atau pemerintahan pada zaman reformasi ini yang mempunyai visi dan program kesehatan yang jelas dan konsekuen dilaksanakan. Paling sedikit saya tidak melihatnya pada kampanye Pilpres 2004. Semua Capres bicara hanya secara umum saja –seperti IDI- yang dapat diinterpretasikan sesuka pembacanya. Tidak ada politisi atau partai yang memperjuangkan agar sistem pembiayaan pelayanan kesehatan harus terjamin melalui sumber tertentu semisal scheme penjaminan atau asuransi kesehatan tertentu, berapa persen rakyat Indonesia dalam satu periode pemerintahan yang 5 tahunan itu ditargetkan dapat menikmatinya. Karena itulah juga program penjaminan kesehatan berubah-ubah konsepnya (karena tidak ada visinya), misalnya dari sistem asuransi menjadi sistem dana sosial. Pada hal perubahan itu sangat prinsipil sekali dalam politik kesehatan, seperti yang kita amati dengan sistem kesehatan nasional di Inggris dan sistem asuransi kesehatan di Jerman atau di Amerika Serikat (isu ini merupakan topik hangat pada kampanye Pemilu atau Pilpres di Amerika Serikat dan Jerman).

Membicarakan kesehatan sebagai isu politik masih tabu di Indonesia. Karena orang menganggap, program apapun itu kalau namanya program kesehatan, selalu baik dan dapat diterima semua pihak. Pada hal kita tahu, bahwa banyak program kesehatan yang dianggap baik pada mulanya, ternyata gagal. Mungkin terlalu pesimis, kalau kita sebutkan proyek kesehatan gagal di Indonesia, semisal program pemberantasan (=eradication) malaria (masih ada 1,75 juta kasus malaria di Indonesia), tuberkulosis (kasus tbc meningkat di beberapa daerah), program gizi (kembalinya busung lapar), belum tersedianya asuransi kesehatan yang merata dan memadai di Indonesia (bandingakn dengan Malaysia dan Singapura yang sudah berjalan dengan baik). Apakah Health for All Tahun 2000 dan Indonesia Sehat 2010 termasuk dalam daftar ini?

Karena itu saya mengusulkan, momentum 100 tahun kiprah dokter Indonesia dapat dijadikan tonggak perubahan agar kesehatan menjadi isu politik kembali di Indonesia, sama dengan pendahulu kita dokter Wahidin Soedirohoesodo, dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, yang menjadikan ilmunya menjadi isu politik bukan hanya dalam bidang kesehatan tetapi dalam bidang pergerakan nasional. Mari mengajak semua dokter berkiprah politik untuk memperjuangkan nasib bangsa ini, karena dokterlah yang paling dekat kepada tiap insan di masyarakat, karena profesinya membutuhkan sentuhan individual secara fisik, psikhis, spiritual dan sosial.

Thursday, May 08, 2008

Komentar Marim Purba tentang Perpindahan Kantor Bupati Ke Raya

Saya sudah dengar dan baca beberapa komentar banyak orang, khususnya Yang Terhormat Bapak Drs. Tuan Zulkarnain Damanik, Bupati Simalungun. Komentar saya atas semuanya itu; 1) Ternyata tak banyak kita yang mampu melakukan saling kritik dengan kepala dingin. Jika kita mendiskusikan tentang kampung kita, itu adalah kewajiban kultural dan kewajiban historis. Jika tidak kita yang memperbaiki kampung sendiri, lalu siapa? Karena itu berdiskusilah dengan wawasan yang matang dan tidak subjektif (apalagi sampai mempersoalkan urusan pribadi). Bupati ternyata bukan anggota yang dewasa untuk berdiskusi. Mungkin ada baiknya disampaikan melalui beliau, agar ikut 'nimbrung' melalui milis .. 2) Ada juga pernyataan dari Tuan Zulkarnain bahwa 'orang Siantar' tak usah mencampuri urusan 'Simalungun. ' Menurut hemat saya, seorang alumnus APDN yang diguyur dengan prinsip Wawasan Nusantara tak selayaknya
berkata demikian. Sungguhpun era otonomi daerah sedang berproses, tapi daerah kota dan kabupaten adalah saling dependen. Satu daerah hidup dan menghidupi daerah lainnya. Sementara itu pendapat dan peran seseorang tak bisa dibatasi oleh wilayah. Orang Simalangun (atau orang apapun) terpanggil untuk melakukan perbaikan darimanapun mereka berada. Bupati hanyalah jabatan dan amanah yang sifatnya sementara, tapi masyarakat adalah komunitas yang harus dipelihara kontinuitas partisipasinya. Jika hanya (penduduk) Simalungun yang boleh membicarakan Simalungun, itu namanya kampungan! Kita semua memang 'orang kampung' tapi jangan menjadi 'kampungan!' 3) Walau dasar hukum perpindahan sudah dimulai sejak era Alm. Jabanten Damanik dan dilanjutkan oleh Jhon Hugo, tapi tak elok jika Bupati menyalahkan proses pada Bupati sebelumnya. Setiap orang punya beban sejarah yang harus dipikulnya. Kesamaan pada setiap era tersebut adalah; Isu perpindahan
Ibukota Simalungun dipakai sebagai ajang untuk 1) meninabobokan masyarakat Simalungun (khususnya Raya dan sekitarnya) akan janji-janji dan mimpi-mimpi. Semula dijanjikan bahwa Raya akan menjadi Ibukota yang modern, lalu dihembuskan betapa kemakmuran akan singgah di Raya karena perpindahan, dan terakhir dijanjikan bahwa Presiden akan datang secara khusus ke Raya. Semuanya adalah 'bungkusan yang mengaburkan isi'. Semuanya adalah janji dan harapan untuk menidurkan masyarakat Raya terus menerus dalam kebodohan dan keterbelakangan 2) seiring dengan mimpi tersebut, maka setiap era Bupati telah 'ditumpahkan' puluhan bahkan ratusan milyar untuk membangun dan membangun, tapi tanpa orientasi dan ketiadaan fokus. Setiap tahun anggaran berarti ada proyek pembangunan, bukan untuk dihuni, tapi cuma sekedar dibangun dan dibangun, dan dibangun. Lagi-lagi, kita semua gemuk oleh janji dan mimpi. 4) Pindah memang menakutkan dalam psikologi semua mahluk dibumi
ini, dan pindah membutuhkan keberanian dan perjuangan. Bukankah banyak orang menikah dengan cara sederhana, dan barulah kemudian berjuang untuk mengisi secara bertahap kebutuhan dirumahnya? Sayangnya perpindahan ibukota Kabupaten tanpa perjuangan. Bupati berharap semuanya selesai dengan sempurna terlebih dahulu (ruangan, meubel, karpet merah, bus angkutan pegawai, dll), baru kemudian pindah. Bukankah bangunan ruangan 1 akan rusak saat membangun gedung ke 15, dan gedung ke 2 akan menyusul rusak saat membangun gedung ke 16, dst? Maka, lagi-lagi ditumpahkan terus anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan, untuk pembangunan dan pemeliharaan, serta untuk pembangunan dan pemeliharaan, dst .. Raya cuma dipakai sebagai wadah untuk menuangkan anggaran demi anggaran fisik, dan melupakan anggaran 'pemberdayaan' untuk masyarakat sekitar. Usul saya, pindahlah mulai SEKARANG, urusan lain belakangan .. Pindah secara bertahap, sambil belajar menjadi
awarga baru di gedung yang baru, dan suasana baru. Pindah memang memerlukan keberanian dan perjuangan. Sayangnya Bupati kita tidak pemberani, dan bukan pejuang! Ok, cuma itu komentar saya. Tentu saja komentar ini jauh dari sempurna, dan karena itu perlu masukan. Saya akan sediakan hati untuk diskusi dengan nyaman diatas rasa saling percaya; bahwa semuanya didasarkan oleh niat kita membangun Simalungun. Alangkah senangnya jika Bupati juga terlibat dalam milis ini .. yang terus belajar untuk menjadi pemberani dan pejuang .. mariMPurba (komentar ini dikirim untuk merespon diskkusi berjudul "Perpindahan Kantor Bupati Simalungun dipolemikkan Bupati Simalungun" di miling list barita simalungun bar-sim@yahoogropups.com dan gkps-l@yahoogroups.com)

Saturday, May 03, 2008

Tanggapan Sarmedi tentang Pernyataan Bupati Simalungun

Inilah tanggapan dr Sarmedi tentang pernyataan Bupati Zulkarnain Damanik di Harian METRO SIANTAR terbitan 4 Mei 2008 yang mengatakan Sarmedi tidak mempunyai "tata krama berbicara" dan lebih baik menjaga rumah sakit miliknya sendiri agar tidak terjadi malpraktek:

Tanggapan pernyataan Bupati Kabupaten Simalungun tentang kritik saya atas tertundanya perpindahan kantor bupati ke Sondiraya:

Nampaknya Bupati Zulkarnain Damanik mengalihkan persoalan ke masalah tata krama, positive thinking, malpraktek yang saya ragukan apakah dimaknai dengan benar.

Dalam kehidupan berdemokrasi kan boleh mengkritik, atau ada pengecualian di Kabupaten Simalungun? Tapi jangan alihkan persoalan ke hal di luar topik bahasan. Ini kan salah kaprah.

Setiap orang berhak menuntut janji Pilkada Bupati, apalagi pendukungnya seperti Sarmedi. Jadi bukan soal sentimen, tapi masalah kepentingan rakyat. Saya pribadi tidak mendapat keuntungan apa-apa dengan perpindahan kantor bupati. Dan saya bukan bicara sebagai dokter tetapi sebagai seorang yang prihatin pada nasib rakyat Simalungun yang dibohongi pejabat.

Sebagai contoh Bupati mengatakan di Harian Metro 3 Mei 2008 berjudul BUPATI AJAK WARGA POSITIVE THINKING, bahwa ”bupati sudah akan berkantor di Raya antara pertengahan Mei hingga akhir Juni.” Besoknya pada 4 Mei 2008, di Harian Metro Siantar dengan judul: BUPATI INGATKAN dr SARMEDI JAGA TATA KRAMA BERBICARA, Bupati Zulkarnain mengubah rencananya ke bulan Juni 2008 dengan mengatakan: ”Marilah kita doakan agar ibukota Simalungun bisa pindah di bulan Juni minggu pertama.” Jadi itulah yang saya protes mulai tahun 2006, di mana rencana itu molor terus sampai pertengahan 2008. Akhirnya orang kan nggak percaya lagi karena tidak ada janji lagi yang bisa dipegang.

Kalau mau fair Bupati harus menjawab, apakah urgensinya menunda perpindahan ibukota ke Sondiraya, yang dijanjikan pada Pilkada 2005 bahwa perpindahan dilaksanakan pertengahan 2006? Kalau menyangkut kelengkapan gedung dan perabot, satu periode lagi pun Bapak Bupati Zulkarnain menjabat, tidak akan lengkap. Ini membutuhkan semangat juang yang konsisten.

Akhirnya saya ingin mengatakan, rakyatlah yang menilai, apakah saya yang tidak bertatakrama atau Bupati yang ingkar janji.

Sebagai catatan, ada orang yang berani bertaruh bahwa Kantor Bupati belum pindah pada bulan Mei 2008 seperti yang dijanjikan Bupati Zulkarnain.
(Sarmedi Purba)


(Sarmedi Purba)


Bupati Ingatkan dr Sarmedi Jaga Tata Krama Berbicara

SIMALUNGUN-METRO (4 Mei 2008)

Bupati Simalungun Zulkarnain Damanik mengatakan, ibukota Kabupaten Simalungun segera pindah ke Raya di minggu pertama Juni 2008. Untuk mewujudkan itu bupati menghimbau masyarakat tidak mengeluarkan statemen yang bisa memecah konsentrasi perpindahan, seperti komentar dr Sarmedi Purba, yang dinilai berlebihan dan tidak bertata krama.

“Saya (Pemkab) sedang berupaya agar ibukota Simalungun bisa segera pindah ke Raya. Harus diketahui, pindah itu bukan seperti membalikkan telapak tangan,” kata bupati pemenang Pilkada 2005 lalu di Simalungun, Sabtu (3/5).

Bupati menyesalkan sikap dr Sarmedi yang dinilai telah mengeluarkan komentar tidak proporsional . Seharusnya kata Bupati, sebagai seorang dokter, Sarmedi lebih dahulu mengoreksi pelayanan rumah sakit miliknya, tempatnya mencari nafkah.

“dr Sarmedi harus bertutur santun. Saya mau tanya, apa yang sudah dibuat dr Sarmedi untuk Kabupaten Simalungun? Kalau memang punya usulan, silahkan temui saya. Saya siap audiensi. Saya bupati pilihan rakyat. Jika dr Sarmedi ingin jadi bupati, silahkan mencalon di tahun 2010,” tandas bupati lagi.

Sebelumnya dr Sarmedi ada menyebutkan, bupati seharusnya tidak layak ingkar janji soal perpindahan ibukota Simalungun ke Raya. Menanggapi pernyataan itu, bupati mengatakan, itu bukan kemauan pemerintah kabupaten.

“dr Sarmedi, kalau memang merasa sebagai tokoh masyarakat dan pengamat politik, bersikaplah dengan baik. Etika berbicara harus dijaga, dan sebagai orang yang berpendidikan, harus pakai sopan santun. Kata-kata yang dilontarkan adalah tidak pantas. Urusi dulu soal dugaan malapraktik pasien di Rumah Sakit Vita Insani Insani-nya!” kata bupati yang diusung PKS, PAN, PPP, dan sejumlah partai gurem pada Pilkada 2005 silam.

Bupati lagi-lagi mengatakan dr Sarmedi agar jangan terlalu sentimen terhadap kinerja pemerintah.

“Mari kita doakan agar ibukota Simalungun bisa pindah di bulan Juni minggu pertama. Nah, kenapa perpindahan ibukota tertunda, karena memang ada yang harus dibenahi. Sekarang kita sudah mendatangkan dua unit bus untuk para PNS yang menjadi alat transportasi mereka ke Raya (alvin).



Soal Perpindahan Ibukota Simalungun ke Raya
Bupati Ajak Warga Positive Thinking

SIMALUNGUN-METRO (3 Mei 2008)

Bupati Simalungun Drs T. Zulkarnain Damanik, MM mengajak seluruh elemen masyarakat agar positive thinking (berpikir positif) dalam menyambut perpindahan ibukota kabupaten ke Raya. Menurutnya, berbagai elemen sebaiknya tak sekedar memberikan kritik tanpa melakukan tindakan apapun.

Katanya, ia akan sangat merespon jika masyarakat, khususnya di Raya sejak dini membenahi pekarangan rumah dalam menyambut perpindahan ibukota. Demikian dikatakan Bupati Simalungun, ketika berbincang-bincang dengan METRO, Jumat (2/5).

Baginya kritikan itu sah-sah saja, selama bukan fitnah. Namun ia sangat menyayangkan bila enegi dihabiskan hanya untuk berkoak-koak tanpa melakukan tindakan nyata yang cukup berarti. “Misalnya menata pekarangan rumah warga, terutama di sepanjang jalan menuju Raya,” kata Bupati.

Masih kata bupati, jadwal perpindahan sebenarnya sudah dekat. Rencananya sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Simalungun, untuk panen raya di Panombean Pane, antara 7-10 Juli, bupati sudah akan berkantor di Raya pertengahan Mei hinggah akhir Juni.

Mengenai perpindahan yang molor dari April ke Mei, bupati mengatakan itu hal yang lumrah sebagai manusia biasa. Jika ada yang menudingnya telah ingkar janji, bupati mengatakan mengapa hanya dialamatkan kepadanya, sebab Peraturan Pemerintah (PP) tentang perpindahan ibukota Kabupaten Simalungun ke Raya telah diterbitkan sekitar sembilan tahun yang lalu, yakni PP No 70 Tahun 1999.

“Sudah dua bupati yang menjabat di Simalungun. Masa saya yang baru menjabat kurang lebih dua tahun, untuk mundur dua bulan saja tidak bisa,” tukas bupati.

Saat disinggung kondisi jalan menuju Raya yang masih rusak, Bupati tak memungkirinya. Katanya, kondisi jalan dari Bombongan Nagori Sibaganding KM 10 hingga ke Tigarunggu memang cukup parah. Dan diakuinya, telah berbagai upaya dilakukan untuk “mencolok” dana dari pemerintah pusat agar alan di Simalungun diperbaiki, terutama jalan menuju Raya. Bahkan, ia bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Topot Saragih sudah langsung menghadap ke Direktorat Jenderal (Dirjend) PU di Jakarta.

“Memang mendapat persetujuan. Namun apa daya bila ternyata alokasi sebesar Rp 50 Milyar untuk tahun anggaran 2008, oleh pemerintah pusat dialihkan. Walau tetap jalan Siantar Tigarunggu, namun rutenya tidak dari Raya, melainkan dari jalan Prapat ke Tanjung Dolok, lalu Tigarunggu,” kata Bupati. (dro)