(Dr. Sarmedi Purba, SpOG
–Ketua Umum Forum Dokter Pembanding Jakarta
-Dirut PT Vita Insani Insani Sentra Medika Pematangsiantar)
Masalah utama pada pembiayaan pelayanan kesehatan keluarga miskin adalah salah hitung biaya asuransi kesehatan oleh PT Askes dan Pemerintah, cq Depkes dan Depkeu.
Tulisan saya pada 19 Mei 2005 di milis komunikasirs@yahoogroups.com, menanggapi tulisan Pak Sulastomo (Mantan Dirut PT Askes) di Harian Kompas pada hari yang sama, memprediksi bahwa Rp 5.000 per orang per bulan tidak cukup untuk menyelenggarakan pelayanan yang dapat menyembuhkan keluarga miskin (tulisan saya berjudul PENDAPAT TENTANG ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA di situs http://sarmedipurba.blogspot.com ). Sayangnya prediksi saya menjadi kenyataan sehingga pada akhir 2007 terjadilah situasi chaos pada sistim keuangan PT Askes dan rumah sakit milik pemerintah dan sebagian kecil RS swasta.
Pembenaran teori saya bahwa Rp 5000 per orang per bulan tidak cukup dapat kita lihat dari pengamatan sbb:
1. Menkes mengatakan (lihat www.depkes.go .id) pemerintah telah membayar kewajibannya untuk tahun 2007 kepada PT Askes dan tidak akan membayar tunggakan PT Askes kepada rumah sakit.
2. PT Askes menghitung bahwa sebenarnya harus ada Rp 9.300 per orang per bulan baru mencukupi. Jadi tunggakan kepada RS tidak tahu siapa yang akan menutupinya.
3. Rumah sakit menjerit karena dana cadangannya habis dikuras oleh belanja obat yang didahulukan dan ditunggak PT Askes, yang juga menjerit karena dana tidak turun dari pemerintah. Terbukti bahwa ini bukan masalah verifikasi atau penggelembungan biaya pengobatan, tetapi murni karena salah hitung alias salah urus.
4. Menurut dr Farid W Husai, Dirjen Bina Pelyanan Medik Depkes R.I. angka kunjungan pemilik kartu Askeskin pada tahun 2006 berjumlah 6,92 juta (uang tidak habis), sampai September 2007 berjumlah 4,9 juta (uangnya habis, jumlah kunjungan 12 bulan ditaksir 4/3 x 4,9 = 6,53 juta) dan untuk kuartal terakhir 2007 PT Askes tidak sanggup membayar klaim RS penyelenggara Askeskin karena tidak ada lagi kucuran dana dari pemerintah. Hal ini karena jumlah kunjungan kemungkinan meningkat yang dibebani lagi dengan kunjungan rawat inap dengan benefit pengobatan jantung dan cuci darah. Perhitungan saya, utilisasi pengobatan penduduk miskin belum maksimal, karena standar angka kunjungan berobat jalan di Indonesia adalah 15% dari populasi, sehingga angka kunjungan dari 76,4 peserta Askeskin adalah 11,46 juta, jauh di atas angka kunjungan berobat jalan yang telah berlaku tahun 2006 (6,92 juta) dan 2007 (dihitung 6,52 juta). Angka kunjungan rawat inap saya perkirakan 10% dari kunjungan berobat jalan atau 10% x 11,46 juta = 1,146 juta. Namun dari angka kunjungan rawat inap 2006 sebesar 1,58 juta dan sampai September 2007 sebesar 1,53 juta yang kalau dihitung merata untuk 12 bulan 2007 = 4/3 x 1,53 = 2,04 juta kunjungan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa angka kunjungan rawat inap jauh di atas 10%, yaitu 2,04 juta rawat inap : 11,46 juta rawat jalan = 17,8%. Memang dapat diduga bahwa angka kesakitan gakin akan lebih tinggi dari angka kesakitan rata-rata pendudu Indonesia, karena kekurangan gizi dan kondisi lingkungan yang kurang sehat. Dari angka-angka di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anggaran Rp 4,6 Triliun untuk 76,4 juta jiwa rakyat miskin (Rp 5.000 x 12 bulan x 76,4 = Rp Rp 4,584 Triliun) pada tahun 2008, jauh dari menuckupi sehingga diprediksi akan terjadi lagi tunggakan yang jauh lebih besar dari tahun 2007.
Ada beberapa hal yang aneh dalam proses bergulirnya program Askeskin pada tahun 2005 sampai hari ini:
1. Pemerintah tidak dapat menjawab, dari mana angka Rp 5000 itu datang, karena setahu kita tidak pernah diumumkan dasar perhitungannya. Pada tulisan saya tertanggal 19 Mei 2005, saya kemukakan bahwa dengan biaya Rp 63.000 per orang per bulan untuk 200 orang karyawan rumah sakit yang saya pimpin, dinyatakan oleh PT Askes Cabang Pematangsiantar tidak cukup, sehingga tanpa perundingan dengan kami, kerja sama operasional diputus sepihak. Memang kita mengetahui, lebih banyak peserta asuransi, lebih rendah preminya. Tetapi apakah angka ini terus mengecil berbanding lurus dengan jumlah peserta sehingga Rp 1000 per orang per kepala juga akan cukup kalau pesertanya 200 juta misalnya? Ini harus dihitung aktuaris yang mungkin hadir juga pada caucus kita pada hari ini.
2. Kalau hitungan pemerintah benar dengan premi Rp 5000 per orang per bulan, sebenarnya setiap penduduk yang dapat menyisihkan dana Rp 5.000 per bulan dapat menikmati asuransi dari PT Askes. Mengapa penduduk yang mampu malah didiskriminasi, itu kan aneh.
3. Penentuan premi asuransi kesehatan biasanya dirundingkan dengan pihak yang terlibat langsung (stake holder), yaitu asuransi sebagai pembayar (bapel), rumah sakit sebagai penyedia pelayanan (provider), dokter sebagai pelaku penyembuhan (actor?) dan pemerintah sebagai penengah, mewakili rakyatnya. Dalam hal Askeskin pemerintah memegang peranan lebih sebagai pemegang pundi-pundi pembiayaan kesehatan gakin. Sebenarnya sejak 20 tahun kita bergumul dengan masalah asuransi kesehatan dan sudah banyak konsep-konsep yang bagus ditawarkan, khususnya pada permulaan permerintahan SBY. Tetapi mengapa pemerintah menutup mata dan telinga terhadap usul-usul ini? Dalam persiapan menulis makalah ini saya buka search google.com dan mengetik: asuransi kesehatan indonesia, banyak sekali tulisan-tulisan yang layak pakai (termasuk tulisan saya) tetapi tidak dimanfaatkan. Sekarang karena sudah gawat sekali pemerintah buru-buru mengajak PBF (Pedagang Besar Farmasi), RS (mungkinkah PERSI = Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia?) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) berunding. Mengapa nggak dari dulu?
4. Biasanya premi asuransi menyesuaikan diri dengan perkembangan harga bahan dan jasa. Tetapi pemerintah dalam menghitung premi dalam kurun waktu hamir 3 tahun tetap menerapkan harga Rp 5.000. Ini agak aneh dalam bisnis asuransi karena biasanya peremi dirundingkan ulang dengan stakeholder lain untuk menghitung dengan cermat biaya yang baru, dengan mempertimbangkan kenaikan harga obat, makanan dan jasa medis dan paramedis.
5. Pemerintah memecat (mem-pehaka) PT Askes dan kemudian juga Dirutnya. Karena ini menyangkut hajat orang banyak dan memakai pajak dari pembayar pajak, masyarakat berhak mengetahui proses pehaka ini, apa alasan utamanya, apakah memang premi yang Rp 5 ribu yang kurang atau angka Rp 9.300 dari PT Askes yang benar. Lantas perhitungannya gimana? Masyarakat juga berhak mengetahui dengan transparan, sebagaimana yang dituntut Menkes kepada PT Askes tentang verifikasi pembiayaan pelayanan kesehatan yang katanya hanya 1 orang tiap kabupaten (itupun ada yang tidak ada verifiaktor dalam satu kabupaten/kota, menurut Menkes).
6. Peralihan pengelolaan Askeskin dari PT Askes menjadi swakelola oleh pemerintah, saya anggap juga sebagai keanehan. Pertama karena namanya dari mulanya dicanangkan oleh Menkes sebagai Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin disingkat Askeskin. Jadi ini dideklarasikan sebagai asuransi yang mengikuti hukum perasuransian dibawah pengawasan Depkeu (bukan Depkes). Logikanya kalau PT Askes tidak mampu mengelola Askeskin, harus diserahkan kepada perusahaan asuransi lain, tetapi tidak kepada Depkes atau Pemda atau RS karena 3 lembaga yang terakhir ini tidak berhak mengelola asuransi (menurut peraturan perundang-undangan asuransi harus dikelola oleh PT atau yang dianggap sama statusnya seperti PT). Karena itulah -karena sangat kuatir- saya 19 Januari 2008 yang lalu menghimbau agar Presiden menghentikan pengalihan ini (baca Harian Sinar Indonesia Baru 19-1-2008).
7. Sekarang dana Askeskin yang Rp 4,6 Triliun itu dianggap dana sosial yang dapat digunakan sebagai dana habis pakai (verlies post). Di sini mulai kita agak kristis, apakah Depkes, Pemda dan RS mampu mengelolanya? Orang yang mempunyai pengalaman berbisnis dengan PT Askes tahu benar, betapa rumitnya penghitungan dan verifikasi biaya pengobatan. Mereka punya soft ware yang rumit, hard ware dengan kapasitas tinggi dan brain ware canggih dengan jam terbang tinggi. Yang jelas 2.644 verifiaktor yang akan dilatih secara kilat oleh Depkes dan Pemda itu tidak mungkin melakukan pekerjaan mereka secara manual. Repotnya, kalau manual, BPK pun tidak akan mampu mengawasinya sehingga hasil laporannya akan menjadi disclaimer.
Agaknya tidak fair kalau saya tidak memberikan usul alternatif atas benang kusut pembiayaan kesehatan masyarakat miskin yang kita paparkan di atas, walaupun ini hanya merupakan pengulangan dari tulisan-tulisan saya selama ini di media massa surat kabar, radio dan internet.
1. Indonesia harus memiliki sistim asuransi kesehatan nasional yang program dan aturan mainnya jelas. Di antara negara tetangga Singapura dan Malaysia, hanya Indonesia yang belum punya sistim asuransi kesehatan. Kalau saya mau mengasuransikan kesehatan keluarga saya di Pematangsiantar, tidak ada asuransi yang dapat menanginya agar mereka dijamin pengobatannya untuk menyembuhkan penyakit yang timbul. Yang ada di kota Pematangsiantar hanya PT Askes dan PT Jamsostek, di mana peserta perorangan dilarang masuk. Alternatif yang tersedia adalah masuk asuransi jiwa dengan menompangkan sedikit asuransi kesehatan (biasanya kalau berobat mondok saja) yang sering tidak menjamin kesembuhan penyakit pasien. Ke dalam sistem asuransi kesehatan nasional inilah Askeskin diintegrasikan dengan biaya yang realistis. Jadi kalau premi Rp 9.300 per orang per kepala, orang yang mampu pun harus boleh ikut program ini dengan biaya sendiri, bukan seperti sekarang, mereka menyelundupkan diri ke sistim Askeskin dan datang dengan mobilnya ke rumah sakit.
2. Karena alasan tersebut di atas saya usulkan agar penentuan apakah seorang warga berhak miskin, hanya BPS (Badan Pusat Statistik), karena hanya mereka yang kompeten mengatakannya, karena ada sistem pendataan yang jelas. Seorang direktur rumah sakit tidak mempunyai kemampuan memutuskan seseorang adalah miskin, sama halnya bahwa hanya seorang dokter yang boleh menegakkan diagnosa penyakit dan meresepkan obat, yang tidak boleh dilakukan oleh seorang lurah atau camat. Jadi angka gakin BPS adalah 36 juta, mengapa Menkes lebih memihak kepada Pak Wiranto yang mengklaim orang miskin Indonesia 76,4 juta, yang harus ditanggung pengobatannya? Biarlah data ini dikoreksi tiap 5 tahun dan biarkan beberapa orang tidak kebagian rezeki Askeskin karena mereka tidak teriak kuat waktu pencatat BPS datang tiap 5 tahun.
3. Sebenarnya orang masuk asuransi kesehatan karena yang bersangkutan tidak mampu membayar pengobatan tanpa menjual ladang atau kerbaunya (apalagi kalau menjalani operasi). Jadi yang harus membayar premi asuransi kesehatan adalah orang yang “tidak mampu” tadi, yang walaupun demikian masih mampu menyisihkan sedikit uang untuk Askes. Untuk mereka ini pemerintah menyediakan fasilitas, sehingga secara tidak langsung dapat memperlancar pelayanan kesehatan gakin, karena jumlah peserta yang lebih besar dan kemungkinan terjadinya subsidi silang.
4. Penyelenggaraan sistim asuransi kesehatan nasional harus melibatkan rumah sakit swasta. Dengan demikian pembiayaan dan pengelolaan akan lebih transparan, karena mereka akan berhubungan dengan perusahaan asuransi yang juga harus efisien. Jadi sebaiknya pelayanan orang miskin jangan dimonopoli oleh rumah sakit pemerintah (beberapa rumah sakit swasta di Jawa sudah diikutsertakan melayani program Askeskin).
5. Demikian juga PT Askes jangan memonopoli asuransi kesehatan pegawai negeri sipil dan orang miskin, sebagaimana PT Jamsostek milik pemerintah memonopoli askes buruh/karyawan. Pemerintah harus membuka jalan agar perusahaan swasta dimungkinkan untuk mengurusi kesehatan golongan menengah ke bawah ini. Dengan demikian pelayanan akan bersaing dan lebih baik dan efisien. Dan kalau mau benar-benar dimampukan bersaing dan merata, jangan lagi ada istilah “nirlaba” untuk PT Askes atau PT Jamsostek. Laba bukanlah barang haram, melainkan indikator pertumbuhan dan efisiensi. Karena sama dengan janin dalam kandungan, yang tidak tumbuh pasti akan mati.
6. Pengalihan pengelolaan Askeskin ke pemerintah daerah seperti yang diumumkan Menkes, kita sambut dengan baik, dengan catatan bahwa Pemda jangan mengulangi kesalahan yang dibuat pemerintah pusat, yaitu bahwa Pemda harus bekerjasama dengan asuransi yang ada di daerah, juga dengan badan pelayanan lain di luar PT Askes (kalau ada). Hal ini sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 dan 15 yang mengatakan bahwa kewenangan Pemda kabupaten/kota meliputi antara lain penanganan bidang kesehatan (pasal 14 ayat 1 butir e), yang dibiayai dengan pengalokasian dana kepada pemda oleh pemerintah pusat (pasal 15 ayat 1 butir a, b dan c). Konkritnya usul saya, dana kesehatan, termasuk untuk bantuan rumah sakit, semuanya diberikan kepada bupati dan walikota, dan pemerintah pusat cukup membuat aturan main peruntukannya dan mengawasinya melalui jalur hukum (supaya tidak dikorupsikan) yang masih dalam wewenang pusat. Dengan menghimpun dana dari masyarakat, APBD kabupaten/kota, dana dari provinsi dan pusat, askes daerah dapat tertata dengan baik. Inilah tujuan akhir dari Caucus Asuransi Kesehatan Daerah yang kita geluti hari ini.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan menyampaikan pendapat saya pada caucus asuransi daerah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh pimpinan dari pusat dan daerah pada hari ini. Dan kalau ada tutur kata yang salah, jangan disimpan di dalam hati... dan mohon dimaafkan.
Pematangsiantar, 12 Februari 2008
Dr.med. Sarmedi Purba SpOG
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment