Tuesday, February 19, 2008

REKOMENDASI CAUCUS ASURANSI KESEHATAN DAERAH

Caucus dengan tema “Asuransi Kesehatan Daerah, Mungkinkah?” yang diselenggarakan oleh Harian Medan Bisnis berkerjasama dengan PT. Askes (Persero) Cabang Pematangsiantar dan RSU Dr. Djasamen Saragih – Pematangsiantar, berlangsung pada hari Senin,18 Pebruari 2008 bertempat di Restaurant /Convention Hall International, Pematangsiantar.

Diskusi dibuka oleh Bambang Sulaksono (Pemimpin Redaksi), dan mendengar pendapat dan saran yang disampaikan oleh pembicara :
• Dr. Med. Sarmedi Purba, SP.OG (Ketua Umum Forum Dokter Pembanding),
• Prof. Dr. Laksono Trisnantoro (Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat/ Univ. Gadjah Mada – Yogyakarta),
• Dr. FLP Sitorus, M.Kes (Kepala Dinas Kesehatan Kab. Tobasa),
• Dr. Zulfarma, M.Kes (Direktur Umum PT. Askes),
• Dr. Donald Pardede, MPPM (Kepala Bidang Pemeliharaan Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI) ,
• Drs. Alimuddin Sidabalok, MBA (Kepala BPS Propinsi Sumatera Utara),
• Dr. Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX DPR RI)

Selain itu caucus juga mendengar pengalaman daerah-daerah yang sudah dan akan mengalokasikan APBD-nya dalam mengikutsertakan masyarakat dalam program asuransi kesehatan, yaitu :
• Drs. Monang Sitorus, SH, MBA (Bupati Tobasa),
• Dr. Sutrisno Hadi, Sp.OG (Walikota Tanjung Balai),
• Lingga Napitupulu, Bc.Eng (Ketua DPRD Pematangsiantar),

Setelah melakukan diskusi maka caucus menyimpulkan dan memberikan saran/rekomendasi sebagai berikut :

1. Beberapa Kabupaten telah berupaya menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi masyarakat di daerahnya masing-masing, seperti antara lain Kabupaten Tobasa yang telah menyertakan dana APBD melaksanakan ’Askes Tobamas’ bekerjasama dengan PT. Askes, dan juga pengalaman Kota Tanjung Balai kerjasama PT. Askes melaksanakan ’Askes Madani.’ Berdasarkan pengalaman tersebut dan atas dasar Perundang-undangan yang ada, maka alokasi dukungan dana APBD untuk Asuransi Kesehatan Sosial di daerah sangat dimungkinkan untuk mengasuransikan masyarakat kedalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (JKMU) yang dikelola oleh PT. Askes atau badan pelaksana lainnya. Adanya PP No. 38/207 tentang Pembagian Kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dan PP No. 41/2007 tentang Pedoman Perangkat Organisasi Daerah memungkinkan sektor kesehatan di daerah untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang mengurus ‘Health Care Financing’ yang akan membuat skema asuransi bagi masyarakat. Keikutsertaan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten akan dilakukan secara proporsional, sesuai dengan kemampuan keuangan Kota/Kabupaten masing-masing.

2. Berdasarkan pengalaman selama ini, caucus menyadari bahwa tingginya klaim dari RSU ke PT. Askes sebagai penyelenggara Askeskin diakibatkan oleh ketidakjelasan data orang miskin, dan tingginya pengguna Kartu Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Oleh karena itu direkomendasikan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten untuk berkewajiban melindungi masyarakat pengguna SKTM yang tidak termasuk sebagai peserta Askeskin melalui Asuransi Kesehatan Daerah.

3. Untuk tindak lanjut penyertaan APBD, tiap daerah Kota/Kabupaten didorong memperbesar persentase alokasi anggaran kesehatan, sesuai dengan komitmen nasional untuk menganggarkan dana kesehatan 15% dari total APBD, sehingga Pemerintah Kota/Kabupaten dapat menganggarkan premi asuransi kesehatan masyarakat.

4. Caucus sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan pada tanggal 18 Maret 2008 di Balige – Kabupaten Tobasa; membentuk kelompok kerja yang akan mendorong Pemerintah Kota/Kabupaten mendata secara terinci masyarakat miskin dan masyarakat yang berpotensi miskin (karena sakit, karena bencana, dll), memfasilitasi perumusan program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (JKMU), serta menetapkan besarnya premi yang harus ditanggung oleh mayarakat dan pemerintah.

Pematangsiantar, 18 Pebruari 2008

Tim Perumus :

Marim Purba (Harian Medan Bisnis/Penanggungjawab Program)
Drs. Monang Sitorus, MBA (Bupati Toba Samosir)
Dr. Sutrisno Hadi, SpOG (Walikota Tanjung Balai)
Lingga Napitupulu, BcEng (Ketua DPRD Kota Pematangsiantar)
Dr. Ria N. Telaumbanua, M.Kes (Direktur RSU Dr. Djasamen Saragih, Pematangsiantar)
Dewi Nainggolan, SH. MSi (Kepala Cabang PT. Askes (Persero) Pematangsiantar)
Dr. med. Sarmedi Purba, SpOG (Ketua Umum Forum Dokter Pembanding)
Dr. FLP. Sitorus. M.Kes (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir)

Daerah Dapat Kelola Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin

Dua Daerah di Sumut Sudah Asuransikan Warganya
Selasa, 19-02-2008
*jannes silaban
MedanBisnis – Siantar
Dua daerah di Sumatera Utara ternyata sudah memberikan jaminan asuransi kesehatan bagi warganya, yaitu Kabupaten Toba Samosir dengan Askes Tobamas serta Kota Tanjungbalai dengan Asuransi Madani.

Hal ini menunjukkan bahwa di era desentralisasi dewasa ini daerah berkesempatan menangani sendiri sistem pengelolaan asuransi bagi warganya yang berkategori miskin.
Demikian salah satu kesimpulan dalam sebuah caucus yang diselenggarakan Medan Bisnis Forum, di Restoran Internasional, Pematangsiantar, Senin (18/2).
Kemungkinan daerah sebagai penyelenggara asuransi kesehatan itu diperkuat oleh salah seorang narasumber, Dr Laksono Trisnantoro dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM. Laksono menjelaskan, era desentralisasi seperti yang diamanatkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda sangat memungkinkan bagi daerah dalam penjaminan kesehatan bagi warganya. Daerah, dalam hal ini kabupaten dan kota, bisa berperan dalam pemberian dana penjaminan asuransi warganya serta juga mengumpulkan dan mengelola dana itu. “Dalam pengelolaan dana itu, daerah bisa membentuk Badan Layanan Umum (BLU),” katanya.
Dalam caucus yang diselenggarakan dengan kerja sama PT Askes Cabang Sumut dan RSU Dr Djasamen Saragih Siantar itu, terungkap Kabupaten Toba Samosir mulai menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskinnya mulai tahun 2006 lalu. Menurut Bupati Toba Samosir, Monang Sitorus, pihaknya pada tahun itu telah menganggarkan Rp 1,4 miliar bagi pelaksanaan jaminan kesehatan warga. Selanjutnya, tahun 2007, angka itu ditambah lagi menjadi Rp 2,6 miliar.
Tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir mencapai 120.000 jiwa, di mana hampir 35% di antaranya merupakan peserta Askes Tobamas dengan merangkul PT Askes sebagai lembaga pengelola asuransi kesehatan. “Tahun 2010 nanti, kita menargetkan 85 warga Tobasa sudah ikut program asuransi ini,” katanya.
Sementara itu, menurut Walikota Tanjung Balai Dr Sutrisno Hadi, dari sekitar 146.000 jiwa penduduk kota yang dipimpinnya, sebanyak 40.000 lebih sudah dipesertakan dalam Asuransi Madani, asuransi kesehatan yang dikelola Pemko Tanjung Balai. Sutrisno mengatakan, tahun 2008 ini direncanakan sebanyak 20.000 jiwa warga akan ditambahi lagi mengikuti program ini dengan menganggarkan dana Rp 1,5 miliar dari APBD Pemko Tanjung Balai.
Selain peduli dengan kesehatan masyarakat miskin, Sutrisno juga menjelaskan pihaknya juga menyediakan beras miskin (raskin) bagi warganya. Program ini kurang lebih sama dengan
pemberian raskin yang dibuat pemerintah pusat, hanya saja bedanya, jika pemerintah pusat bermaksud menaikkan harga raskin Rp 1.000 per kg menjadi Rp 1.600 per kg, maka Pemko Tanjung Balai masih tetap bertahan di harga Rp 1.000.
Selain pembicara di atas, dalam caucus itu beberapa pembicara juga dihadirkan seperti Direktur RS Vita Insani Siantar, Dr Sarmedi Purba. Sarmedi lebih banyak menyoroti kelemahan dan kesemrawutan penyelenggaraan sistem asuransi kesehatan bagi warga miskin yang diselenggarakan PT Askes. Belakangan ini Departemen Kesehatan bermaksud menarik kepercayaan pengelolaan Askeskin ini dari PT Askes tanpa alasan yang jelas, hanya karena tidak mampu menanggulangi kekurangan dana untuk pembiayaan Askeskin sebesar Rp 1,2 triliun.
Sarmedi menekankan masih diperlukan pengelolaan Askeskin secara nasional dan karena berpengalaman, PT Askes masih layak dipercaya sebagai lembaga penyelenggara. Hanya saja, katanya, dalam pembuatan jaminan asuransi kesehatan ini, penghitungan premi harus melibatkan lembaga seperti Depkes dan PT Askes.
Mengenai kelanjutan dari penyelenggaraan Askeskin yang masih dikelola PT Askes, juga disetujui Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning. Ribka mengkritisi Menteri Kesehatan yang tanpa alasan jelas melepaskan PT Askes dari penyelenggaran Askeskin. Ribka mengatakan, Askeskin harus diteruskan demi jaminan kesehatan warga miskin. Format yang ditawarkan Depkes RI yakni hanya melibatkan PT Askes dalam pendataan warga miskin sementara soal keuangan langsung dikelola Depkes RI lalu mengirimkan dana Askeskin langsung ke rumah sakit mitra, belum saatnya dilakukan.
Menurut Ribka, dalam mengubah kebijakan, Depkes harus hati-hati agar jangan menyimpang dari peraturan yang berlaku. “Misalnya, Depkes akan membuat rumah sakit menjadi pengelola anggaran. “Dasar hukumnya, apa?” katanya.
Dalam caucus itu, juga dilaksanakan penandatanganan MoU antara PT Askes Regional Sumut dengan RS Djasamen Saragih Siantar. PT Askes juga memberikan bantuan satu unit mobil ambulans bagi RS Djasamen Saragih.
Caucus yang berlangsung satu hari itu dibuka Pemimpin Redaksi Harian MedanBisnis¸Bambang Sulaksono. Acara caucus dipandu masing-masing Marim Purba (MedanBisnis) dan Dr Ria Telumbanua.

Wednesday, February 13, 2008

Benang Kusut Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Miskin

(Dr. Sarmedi Purba, SpOG
–Ketua Umum Forum Dokter Pembanding Jakarta
-Dirut PT Vita Insani Insani Sentra Medika Pematangsiantar)


Masalah utama pada pembiayaan pelayanan kesehatan keluarga miskin adalah salah hitung biaya asuransi kesehatan oleh PT Askes dan Pemerintah, cq Depkes dan Depkeu.

Tulisan saya pada 19 Mei 2005 di milis komunikasirs@yahoogroups.com, menanggapi tulisan Pak Sulastomo (Mantan Dirut PT Askes) di Harian Kompas pada hari yang sama, memprediksi bahwa Rp 5.000 per orang per bulan tidak cukup untuk menyelenggarakan pelayanan yang dapat menyembuhkan keluarga miskin (tulisan saya berjudul PENDAPAT TENTANG ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA di situs http://sarmedipurba.blogspot.com ). Sayangnya prediksi saya menjadi kenyataan sehingga pada akhir 2007 terjadilah situasi chaos pada sistim keuangan PT Askes dan rumah sakit milik pemerintah dan sebagian kecil RS swasta.

Pembenaran teori saya bahwa Rp 5000 per orang per bulan tidak cukup dapat kita lihat dari pengamatan sbb:
1. Menkes mengatakan (lihat www.depkes.go .id) pemerintah telah membayar kewajibannya untuk tahun 2007 kepada PT Askes dan tidak akan membayar tunggakan PT Askes kepada rumah sakit.
2. PT Askes menghitung bahwa sebenarnya harus ada Rp 9.300 per orang per bulan baru mencukupi. Jadi tunggakan kepada RS tidak tahu siapa yang akan menutupinya.
3. Rumah sakit menjerit karena dana cadangannya habis dikuras oleh belanja obat yang didahulukan dan ditunggak PT Askes, yang juga menjerit karena dana tidak turun dari pemerintah. Terbukti bahwa ini bukan masalah verifikasi atau penggelembungan biaya pengobatan, tetapi murni karena salah hitung alias salah urus.
4. Menurut dr Farid W Husai, Dirjen Bina Pelyanan Medik Depkes R.I. angka kunjungan pemilik kartu Askeskin pada tahun 2006 berjumlah 6,92 juta (uang tidak habis), sampai September 2007 berjumlah 4,9 juta (uangnya habis, jumlah kunjungan 12 bulan ditaksir 4/3 x 4,9 = 6,53 juta) dan untuk kuartal terakhir 2007 PT Askes tidak sanggup membayar klaim RS penyelenggara Askeskin karena tidak ada lagi kucuran dana dari pemerintah. Hal ini karena jumlah kunjungan kemungkinan meningkat yang dibebani lagi dengan kunjungan rawat inap dengan benefit pengobatan jantung dan cuci darah. Perhitungan saya, utilisasi pengobatan penduduk miskin belum maksimal, karena standar angka kunjungan berobat jalan di Indonesia adalah 15% dari populasi, sehingga angka kunjungan dari 76,4 peserta Askeskin adalah 11,46 juta, jauh di atas angka kunjungan berobat jalan yang telah berlaku tahun 2006 (6,92 juta) dan 2007 (dihitung 6,52 juta). Angka kunjungan rawat inap saya perkirakan 10% dari kunjungan berobat jalan atau 10% x 11,46 juta = 1,146 juta. Namun dari angka kunjungan rawat inap 2006 sebesar 1,58 juta dan sampai September 2007 sebesar 1,53 juta yang kalau dihitung merata untuk 12 bulan 2007 = 4/3 x 1,53 = 2,04 juta kunjungan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa angka kunjungan rawat inap jauh di atas 10%, yaitu 2,04 juta rawat inap : 11,46 juta rawat jalan = 17,8%. Memang dapat diduga bahwa angka kesakitan gakin akan lebih tinggi dari angka kesakitan rata-rata pendudu Indonesia, karena kekurangan gizi dan kondisi lingkungan yang kurang sehat. Dari angka-angka di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anggaran Rp 4,6 Triliun untuk 76,4 juta jiwa rakyat miskin (Rp 5.000 x 12 bulan x 76,4 = Rp Rp 4,584 Triliun) pada tahun 2008, jauh dari menuckupi sehingga diprediksi akan terjadi lagi tunggakan yang jauh lebih besar dari tahun 2007.


Ada beberapa hal yang aneh dalam proses bergulirnya program Askeskin pada tahun 2005 sampai hari ini:
1. Pemerintah tidak dapat menjawab, dari mana angka Rp 5000 itu datang, karena setahu kita tidak pernah diumumkan dasar perhitungannya. Pada tulisan saya tertanggal 19 Mei 2005, saya kemukakan bahwa dengan biaya Rp 63.000 per orang per bulan untuk 200 orang karyawan rumah sakit yang saya pimpin, dinyatakan oleh PT Askes Cabang Pematangsiantar tidak cukup, sehingga tanpa perundingan dengan kami, kerja sama operasional diputus sepihak. Memang kita mengetahui, lebih banyak peserta asuransi, lebih rendah preminya. Tetapi apakah angka ini terus mengecil berbanding lurus dengan jumlah peserta sehingga Rp 1000 per orang per kepala juga akan cukup kalau pesertanya 200 juta misalnya? Ini harus dihitung aktuaris yang mungkin hadir juga pada caucus kita pada hari ini.
2. Kalau hitungan pemerintah benar dengan premi Rp 5000 per orang per bulan, sebenarnya setiap penduduk yang dapat menyisihkan dana Rp 5.000 per bulan dapat menikmati asuransi dari PT Askes. Mengapa penduduk yang mampu malah didiskriminasi, itu kan aneh.
3. Penentuan premi asuransi kesehatan biasanya dirundingkan dengan pihak yang terlibat langsung (stake holder), yaitu asuransi sebagai pembayar (bapel), rumah sakit sebagai penyedia pelayanan (provider), dokter sebagai pelaku penyembuhan (actor?) dan pemerintah sebagai penengah, mewakili rakyatnya. Dalam hal Askeskin pemerintah memegang peranan lebih sebagai pemegang pundi-pundi pembiayaan kesehatan gakin. Sebenarnya sejak 20 tahun kita bergumul dengan masalah asuransi kesehatan dan sudah banyak konsep-konsep yang bagus ditawarkan, khususnya pada permulaan permerintahan SBY. Tetapi mengapa pemerintah menutup mata dan telinga terhadap usul-usul ini? Dalam persiapan menulis makalah ini saya buka search google.com dan mengetik: asuransi kesehatan indonesia, banyak sekali tulisan-tulisan yang layak pakai (termasuk tulisan saya) tetapi tidak dimanfaatkan. Sekarang karena sudah gawat sekali pemerintah buru-buru mengajak PBF (Pedagang Besar Farmasi), RS (mungkinkah PERSI = Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia?) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) berunding. Mengapa nggak dari dulu?
4. Biasanya premi asuransi menyesuaikan diri dengan perkembangan harga bahan dan jasa. Tetapi pemerintah dalam menghitung premi dalam kurun waktu hamir 3 tahun tetap menerapkan harga Rp 5.000. Ini agak aneh dalam bisnis asuransi karena biasanya peremi dirundingkan ulang dengan stakeholder lain untuk menghitung dengan cermat biaya yang baru, dengan mempertimbangkan kenaikan harga obat, makanan dan jasa medis dan paramedis.
5. Pemerintah memecat (mem-pehaka) PT Askes dan kemudian juga Dirutnya. Karena ini menyangkut hajat orang banyak dan memakai pajak dari pembayar pajak, masyarakat berhak mengetahui proses pehaka ini, apa alasan utamanya, apakah memang premi yang Rp 5 ribu yang kurang atau angka Rp 9.300 dari PT Askes yang benar. Lantas perhitungannya gimana? Masyarakat juga berhak mengetahui dengan transparan, sebagaimana yang dituntut Menkes kepada PT Askes tentang verifikasi pembiayaan pelayanan kesehatan yang katanya hanya 1 orang tiap kabupaten (itupun ada yang tidak ada verifiaktor dalam satu kabupaten/kota, menurut Menkes).
6. Peralihan pengelolaan Askeskin dari PT Askes menjadi swakelola oleh pemerintah, saya anggap juga sebagai keanehan. Pertama karena namanya dari mulanya dicanangkan oleh Menkes sebagai Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin disingkat Askeskin. Jadi ini dideklarasikan sebagai asuransi yang mengikuti hukum perasuransian dibawah pengawasan Depkeu (bukan Depkes). Logikanya kalau PT Askes tidak mampu mengelola Askeskin, harus diserahkan kepada perusahaan asuransi lain, tetapi tidak kepada Depkes atau Pemda atau RS karena 3 lembaga yang terakhir ini tidak berhak mengelola asuransi (menurut peraturan perundang-undangan asuransi harus dikelola oleh PT atau yang dianggap sama statusnya seperti PT). Karena itulah -karena sangat kuatir- saya 19 Januari 2008 yang lalu menghimbau agar Presiden menghentikan pengalihan ini (baca Harian Sinar Indonesia Baru 19-1-2008).
7. Sekarang dana Askeskin yang Rp 4,6 Triliun itu dianggap dana sosial yang dapat digunakan sebagai dana habis pakai (verlies post). Di sini mulai kita agak kristis, apakah Depkes, Pemda dan RS mampu mengelolanya? Orang yang mempunyai pengalaman berbisnis dengan PT Askes tahu benar, betapa rumitnya penghitungan dan verifikasi biaya pengobatan. Mereka punya soft ware yang rumit, hard ware dengan kapasitas tinggi dan brain ware canggih dengan jam terbang tinggi. Yang jelas 2.644 verifiaktor yang akan dilatih secara kilat oleh Depkes dan Pemda itu tidak mungkin melakukan pekerjaan mereka secara manual. Repotnya, kalau manual, BPK pun tidak akan mampu mengawasinya sehingga hasil laporannya akan menjadi disclaimer.

Agaknya tidak fair kalau saya tidak memberikan usul alternatif atas benang kusut pembiayaan kesehatan masyarakat miskin yang kita paparkan di atas, walaupun ini hanya merupakan pengulangan dari tulisan-tulisan saya selama ini di media massa surat kabar, radio dan internet.
1. Indonesia harus memiliki sistim asuransi kesehatan nasional yang program dan aturan mainnya jelas. Di antara negara tetangga Singapura dan Malaysia, hanya Indonesia yang belum punya sistim asuransi kesehatan. Kalau saya mau mengasuransikan kesehatan keluarga saya di Pematangsiantar, tidak ada asuransi yang dapat menanginya agar mereka dijamin pengobatannya untuk menyembuhkan penyakit yang timbul. Yang ada di kota Pematangsiantar hanya PT Askes dan PT Jamsostek, di mana peserta perorangan dilarang masuk. Alternatif yang tersedia adalah masuk asuransi jiwa dengan menompangkan sedikit asuransi kesehatan (biasanya kalau berobat mondok saja) yang sering tidak menjamin kesembuhan penyakit pasien. Ke dalam sistem asuransi kesehatan nasional inilah Askeskin diintegrasikan dengan biaya yang realistis. Jadi kalau premi Rp 9.300 per orang per kepala, orang yang mampu pun harus boleh ikut program ini dengan biaya sendiri, bukan seperti sekarang, mereka menyelundupkan diri ke sistim Askeskin dan datang dengan mobilnya ke rumah sakit.
2. Karena alasan tersebut di atas saya usulkan agar penentuan apakah seorang warga berhak miskin, hanya BPS (Badan Pusat Statistik), karena hanya mereka yang kompeten mengatakannya, karena ada sistem pendataan yang jelas. Seorang direktur rumah sakit tidak mempunyai kemampuan memutuskan seseorang adalah miskin, sama halnya bahwa hanya seorang dokter yang boleh menegakkan diagnosa penyakit dan meresepkan obat, yang tidak boleh dilakukan oleh seorang lurah atau camat. Jadi angka gakin BPS adalah 36 juta, mengapa Menkes lebih memihak kepada Pak Wiranto yang mengklaim orang miskin Indonesia 76,4 juta, yang harus ditanggung pengobatannya? Biarlah data ini dikoreksi tiap 5 tahun dan biarkan beberapa orang tidak kebagian rezeki Askeskin karena mereka tidak teriak kuat waktu pencatat BPS datang tiap 5 tahun.
3. Sebenarnya orang masuk asuransi kesehatan karena yang bersangkutan tidak mampu membayar pengobatan tanpa menjual ladang atau kerbaunya (apalagi kalau menjalani operasi). Jadi yang harus membayar premi asuransi kesehatan adalah orang yang “tidak mampu” tadi, yang walaupun demikian masih mampu menyisihkan sedikit uang untuk Askes. Untuk mereka ini pemerintah menyediakan fasilitas, sehingga secara tidak langsung dapat memperlancar pelayanan kesehatan gakin, karena jumlah peserta yang lebih besar dan kemungkinan terjadinya subsidi silang.
4. Penyelenggaraan sistim asuransi kesehatan nasional harus melibatkan rumah sakit swasta. Dengan demikian pembiayaan dan pengelolaan akan lebih transparan, karena mereka akan berhubungan dengan perusahaan asuransi yang juga harus efisien. Jadi sebaiknya pelayanan orang miskin jangan dimonopoli oleh rumah sakit pemerintah (beberapa rumah sakit swasta di Jawa sudah diikutsertakan melayani program Askeskin).
5. Demikian juga PT Askes jangan memonopoli asuransi kesehatan pegawai negeri sipil dan orang miskin, sebagaimana PT Jamsostek milik pemerintah memonopoli askes buruh/karyawan. Pemerintah harus membuka jalan agar perusahaan swasta dimungkinkan untuk mengurusi kesehatan golongan menengah ke bawah ini. Dengan demikian pelayanan akan bersaing dan lebih baik dan efisien. Dan kalau mau benar-benar dimampukan bersaing dan merata, jangan lagi ada istilah “nirlaba” untuk PT Askes atau PT Jamsostek. Laba bukanlah barang haram, melainkan indikator pertumbuhan dan efisiensi. Karena sama dengan janin dalam kandungan, yang tidak tumbuh pasti akan mati.
6. Pengalihan pengelolaan Askeskin ke pemerintah daerah seperti yang diumumkan Menkes, kita sambut dengan baik, dengan catatan bahwa Pemda jangan mengulangi kesalahan yang dibuat pemerintah pusat, yaitu bahwa Pemda harus bekerjasama dengan asuransi yang ada di daerah, juga dengan badan pelayanan lain di luar PT Askes (kalau ada). Hal ini sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 dan 15 yang mengatakan bahwa kewenangan Pemda kabupaten/kota meliputi antara lain penanganan bidang kesehatan (pasal 14 ayat 1 butir e), yang dibiayai dengan pengalokasian dana kepada pemda oleh pemerintah pusat (pasal 15 ayat 1 butir a, b dan c). Konkritnya usul saya, dana kesehatan, termasuk untuk bantuan rumah sakit, semuanya diberikan kepada bupati dan walikota, dan pemerintah pusat cukup membuat aturan main peruntukannya dan mengawasinya melalui jalur hukum (supaya tidak dikorupsikan) yang masih dalam wewenang pusat. Dengan menghimpun dana dari masyarakat, APBD kabupaten/kota, dana dari provinsi dan pusat, askes daerah dapat tertata dengan baik. Inilah tujuan akhir dari Caucus Asuransi Kesehatan Daerah yang kita geluti hari ini.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan menyampaikan pendapat saya pada caucus asuransi daerah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh pimpinan dari pusat dan daerah pada hari ini. Dan kalau ada tutur kata yang salah, jangan disimpan di dalam hati... dan mohon dimaafkan.

Pematangsiantar, 12 Februari 2008



Dr.med. Sarmedi Purba SpOG

Saturday, February 09, 2008

CARE YOURSELF: BE AWARE OF CERVICAL CANCER

Oleh Dr. med. dr. Sarmedi Purba, SpOG
PresentasI pada 'Cervical Awareness Month' dari SUN HOPE Medan 20-1-2007


Apa itu cervical cancer?
-Kanker mulut rahim
=Kanker leher rahim
=Daging tumbuh ganas yang kebanyakan berasal dari sel gepeng pada leher rahim


Pengetahuan umum tentang
Cervical Cancer

-Yang paling sering dari semua kanker alat kelamin wanita (menyusul kanker indung telur dan badan rahim)
-Dapat dipantau dengan Pap Smear karena lokasinya pada bagian atas liang vagina
-Dengan Pap-Smear angka kejadian berkurang 74% dari tahun 1955 sampai 1992 (USA)
-Penduduk miskin menderita kanker mulut rahim 5 x lebih besar dari penduduk sejahtera
-300.000 orang meninggal tiap tahun oleh penyakit ini

INTERPRETASI HASIL PAPSMEAR
PAP I Sel normal
PAP II peradangan
PAP IIIa CIN I/CIN II Displasia ringan
PAP III Tidak jelas
PAP IVa CIN III Displasia berat
PAP IVb CIN III Mungkin invasif
PAP V karsinom


Pemutakhiran pengetahuan kanker mulut rahim
-Penyebab: infeksi pesisten Human Papilomavirus (HPV) tipe 16 dan 18 yang disebarkan melalui hubungan sex
=Bisa divaksinasi (mis Gardasil=virus like particle=VLP), dianjurkan pada perempuan umur 9-26 tahun (sebelum terjadinya hubungan sex)
-Perbaikan pengobatan di USA: 75% dapat disembuhkan (5 year survival rate)
-Lebih sensitif dari Pap Smear: liquid base, thin-layer slide preparation (1996 FDA appoved)

Stadium & Pengobatan
Stadium Definisi Terapi Sembuh
T1a Mikro<5mm Sesuai risiko 100%
T1b Hanya cervix Operasi (Sinar) 75-90%
T2 A: vagina
B: parametrium Operasi at Radioterapi/sinar-x 50-75
T3 A: 2/3 vagina
B: => dinding panggul Sinar 30-35%
T4 Pada organ lain atau. metastasis Gejala 0-12%


Kanker Mulut Rahim (ideal) di Masa Depan
-Vaksin kedua (Cervarix) melindungi perempuan pada infeksi yang sudah persisten
-Di Indonesia: Pap-Smear campaign dan dibayar pemerintah
-Vaksinasi anak gadis sebelum aktivitas seksual (9-26 tahun)
-Gardasil dimasukkan pada asuransi kesehatan


Dari Buku Pintar
-Perempuan seharusnya tidak perlu mati karena kanker mulut rahim, asal diketahui secara dini (Pap-Smear)
-Lebih dini berhubungan sex meningkatkan risiko insiden kanker mulut rahim (benarkah 50% anak SMA melakukan hubungan sex??)
-Gonta-ganti pasangan meningkatkan risiko kanker mulut rahim

Wednesday, February 06, 2008

Bill Saragih Dimakamkan Dengan Upacara Militer Diiringi Tembakan Salvo

Dengan mata berlinang dan bangga, keluarga beserta handai tolan, menyaksikan pemakaman Sersan, Doktor, Tokoh Musik Internasional, Bill Amirsyah Rondahaim Saragih Garingging, di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta 1 Februar 2008 sore.

Hujan lebat yang turut membuat suasana berkabung atas meninggalnya Bill, tidak membubarkan barisan perajurit TNI yang setia dan gagah berani pada pemakaman itu. Mereka tetap berdiri tegak, melakukan upacara militer penuh, mengibarkan bendera di pusara pemusik jazz kondang ini, melakukan tembakan salvo 2 kali. Hening dan khidmat.

Bungaran Saragih atas nama keluarga mengucapkan selamat jalan kepada Bang Bill seraya menyampaikan terima kasih kepada pasukan TNI yang memakamkan Bill sebagai pejuang bangsa mempertahankan kemerdekaan RI semaca pergolakan melawan milter Belanda yang berupaya menjajah Indonesia kembali sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Pendeta dan dan Pengurus Resort GKPS Cempaka Putih Jakarta memberangkatkan Bill, dari tanah kembali ke tanah, menghibur keluarganya semoga Tuhan memberikan semangat kepada mereka dan handai tolan Bill.

Toni Saragih, anak Bill yang tinggal di Australia, dengan bangga menerima bendera merah putih dari Inspektur Upacara Pemakaman.

Selamat Jalan Bang Bill, Engkau akan kami kenang sepanjang masa…
Photobucket
Prof. Bungaran Saragih melayat
Photobucket
Sangsaka merah-putih, Penghormatan untuk Sang Pejuang

Monday, February 04, 2008

Prof. Wolfgang Koenig in Siantar


PROF DR WOLFGANG AUS DEUTSCHLAND BESUCHTE KINDER DER TSUNAMI OPFER AUS NIAS IN SIANTAR: Fuer das 4. Mal besuchte Prof. DR Wolfgang Koenig, Dozent der Fakultaet der Oekonomi der Universitaet Frankfurt, Deutschland, das Kindeheim der Tsunami-Opfer aus Nias, das von der Stiftung Bina Insani in Jalan Danau Kerinci verwaltet wird (24.1.nachmittag). Der Gast aus Deutschland wird von Dr Sarmedi Purba und seiner Frau Dr Gertrud sowie von Pastor ORK Detlev Nonne, der gerade in Nordsumatra taetig ist, begleitet.
Es sind 20 Kinder, Opfer der Tsunami aus Nias, die von der Stiftung Bina Insani verwaltet werden. Sie sind 16 Jungen und 4 Maedchen, die in die verschiedenen Mittel-und Oberschulen in Siantar gehen. Der Vorsitzende der Stiftung Bina Insani, Sarmedi Purba, sagte, dass Prof Wolfgang der staendige Donateur des Projekts ist und er bemueht sich Fonds in Deutschland zu sammeln, um den Kindern der Tsunami-Opfer zu helfen.

Pernyataan Menkes dan Ketua FDP tentang Askeskin

Berikut kliping Koran Sinar Indonesia Baru 19 Januari 2008

Sunday, February 03, 2008

QUO VADIS ASKESKIN?

Oleh Dr Sarmedi Purba, SpOG, Ketua Umum Forum Dokter Pembanding (FDP) Jakarta:

Kalau Askeskin (Asuransi Kesehatan Untuk Keluarga Miskin) diambil alih Pemerintah cq Dinas Kesehatan Pemko/Pemkab dan PT ASKES mundur sebagai pengelola, dapat kita duga terjadinya chaos pengelolaan anggaran Askeskin yang dicantumkan sebanyak Rp 4,6 triliun pada APBN 2008.

Mengapa? Pengelola baru yg disebut Menkes sebagai verifikator harus dilatih lagi dengan sistem baru; itu tidak gampang dan makan waktu lama. Kedua, bagaimana mengelola klaim Askeskin sebelum sistem baru itu jadi kenyataan. Apakah rumahsakit untuk sementara mengambil alih fungsi verifikasi pelayanan yang dilakukannya sendiri, yang berarti pengelola merangkap jadi pengawas? Karena itulah saya usulkan agar Presiden menyetop kebijakan Menkes menyerahkan verifikasi Askeskin kepada Dinkes (baca Harian Sinar Indonesia Baru edisi 19 Januari 2008 dengan judul: Presiden Diharapkan Batalkan Kebijakan Menkes Mengalihkan Penanganan Askeskin dari PT Askes ke Dinkes).

Pengunduran diri PT ASKES sebagai pengelola Askeskin sangat disesalkan walaupiun dapat dipahami karena adanya pernyataan Menkes, tidak lagi memakai PT ASKES untuk pembayaran klaim Askeskin. Namun harus diketahui bhw PT ASKES juga harus bertanggungjawab atas musibah ini, karena perusahaan asuransi ini tidak menghitung dengan cermat premi yg dibutuhkan untuk pelkes gakin. Memang dari dulu saya mengatakan bahwa premi yang Rp5.000 per orang per bulan tidak pernah cukup untuk penjaminan kesehatan. Sekarang Menkes dan PT ASKES saling menyalahkan, mengapa tunggakan untuk tagihan Askeskin dari rumah sakit tidak kunjung dibayar. Menkes menuduh keterlambatan verifikasi PT Askes, sedang PT Askes mengklaim dana Pemerintah belum turun. Tapi intinya adalah uangnya memang tidak cukup karena tidak ada yg mau cermat menghitung, berapa sebenarnya premi yang dibutuhkan untuk membiayai pengobatan sederhana yang dapat menyembuhkan, untuk orang miskin atau yang tidak miskin.

Usul saya, DPR harus mengusulkan Menkes mundur karena gagal mengelola sistem pembiayaan pelkes yang ditanganinya, khususnya Askeskin.(Dr Sarmedi Purba, SpOG, Ketua Umum Forum Dokter Pembanding/FDP Jakarta)