Tuesday, November 16, 2004

Autobiografi

AUTOBIOGRAFI
SARMEDI PURBA

Latar belakang
Asal usul
Masa kanak-kanak
Masa remaja
Pendidikan
Sekolah di Jerman Barat
Organisasi
LSM
Profesi
Bisnis Rumah Sakit
Terjun ke Politik
Teologi dan Filosfi hidup
Harapan untuk generasi berikut
Penutup


Latar belakang.
Dengan genapnya umur 65 tahun pada tahun 2004 timbul niat dalam hati saya untuk menyusun riwayat hidup saya. Pada saat ini saya tidak ada rencana menerbitkan autobiografi ini karena saya pikir akan sulit pemasarannya. Kalau orang lain kelak menganggap buku ini perlu dipublikasikan, saya tidak keberatan.

Dalam keluarga saya belum ada yang saya tahu yang menulis riwayat hidupnya sendiri atau biografi yang ditulis orang lain. Menurut pengamatan saya banyak yang dapat dimanfaatkan dari riwayat hidup nenek saya Mariam Purba (ayah dari ayah saya) atau Tuan Hapoltakan (Raja Raya,ayah dari ibu saya) atau abang saya Saridin, Saralen dan Mansen yang banyak bergerak dalam bidang kemasyarakatan di masa hidup mereka.

Dengan penulisan sejarah hidup ini saya mengharapkan agar lebih banyak orang yang menulis tentang pengalamannya yang dapat menjadi bahan studi untuk genrasi berikutnya. Budaya tulis ini makin lebih penting karena banyak pengalaman berharga dari leluhur kita yang hanya diketahui dari cerita dari mulut ke mulut dan akurasinya menjadi diragukan.

Sistematika autobiografi ini memungkinkan penuturan yang tumpang tindih yang tidak dapat dihindarkan. Namun saya dengan sadar mengupayakan agar pengulangan sedapat mungkin terhindarkan. Saya mengharapkan agar editor dari penulisan ini (kalau kelak ada) dapat memperbaiki hal-hal yang tidak sesuai dengan cara presentasi yang baik untuk satu liteatur.

Asal usul.
Saya dilahirkan pada 13 Agustus 1939 di Pematang Raya, yang sekarang dalam daerah pemerintahan Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Tanggal dan hari lahir saya tidak ada dicatat oleh orang tua saya. Seingat saya waktu kelas III Sekolah Rakyat kami pergi ke kantor gereja di Raya dan meminta surat keterangan permandian. Disitulah baru saya ketahui tanggal lahir saya dan kemudian saya ketahui dari perhitungan kalender bahwa hari itu jatuh pada hari Minggu pagi. Ibu saya tidak pernah menceritakan apakah saya lahir pada malam atau siang hari. Seingat saya ibu pernah ngomong tentang hal ini, tapi kesan saya dia tidak ingat dengan jelas karena saya adalah anak ke 9 dari 11 anak yang dilahirkannya.

Sepengetahuan saya dari cerita orang tua rumah kelahiran saya adalah di Pematang Raya, bukan di Partayuban, yang sekarang masuk dalam keluarahan Sondi Raya, dimana saya menjalani masa kanak-kanak saya. Waktu saya lahir ayah saya sedang memulai pekerjaan baru dari tukang dobi menajadi tukang obat. Dia menanya abang saya Saridin apa “obat” dalam bahasa Belanda.

Bisnis Rumahsakit

Dalam persiapan pulang ke Indonesia setelah belajar dan tinggal di Jerman selama 11 tahun, cita-cita saya adalah membangun satu rumah sakit yang memenuhi standard internasional di Indonesia. Dengan beberapa teman sejawat yang sedang belajar di Jerman hal ini saya rundingkan, antara lain dengan alm. Dr. Mangasa Lumbantobing,SpPD, yang waktu itu bekerja di Dinslaken, Dr. Rahman, SpR yang belajar di RS Katolik di Neuss. Arsitek kami minta untuk membuat disain RS yag cocok dengan keadaan di Indonesia.

Satu hal yang kita pikirkan waktu itu adalah mengantisipasi kalau listrik mati. Kita harus membuat jalur tersendiri untuk transport pasien pada jalan yang tidak begitu terjal. RS tersebut terdiri dari satu gedung utama tingkat empat untuk pelayanan rawat jalan, diagnostik dan administrasi. Dari gedung ini dibangun 3 gedung yang langsung berhubungan dengan gedung utama (bentuk bintang), juga empat tingkat, untuk pasien rawat mondok.

Waktu saya pulang ke Indonesia dan singah di Jakarta pada bulan Oktober 1975 Dr. Rahman mengumpulkan dokter-dokter yang ingin bergabung membangun RS tsb. Saya diperkenalkan dengan Ibu Nelly Adam Malik dan kami mendiskusikan lokasi yang cocok. Saya dibawa Ibu Nelly meninjau beberapa lokasi yang potensial bisa dibangun rumah sakit dengan lahan kira-kira 2 HA, tapi kebanyakan lokasi yang ditunjukkan tidak seluas yang dibutuhkan. Saya juga dibawa meninjau satu RS Bersalin yang dalam tahap pembangunan di Bekasi, dimana beliau menjadi pengurusnya.

Waktu saya sudah bekerja di Saribudolok saya menerima surat dari Ibu Nelly bahwa ada tawaran investor dari Singapura untuk pembangunan rumah sakit yang kami rencanakan. Namun karena kesibukan sehari-hari dan sulitnya mengatur pembangunan rumah sakit di Jakarta dari Saribulok, rencana itu tidak ditindaklanjuti.

Setelah saya pindah ke Pematangsiantar pada awal tahun 1980 pikiran untuk membangun rumah sakit kembali timbul. Salah satu yang mendorong saya membangun rumah sakit sendiri adalah karena belum ada rumah sakit yang memenuhi standard inernasional di Pematangsiantar. Sebagai dokter spesialis saya selalu merindukan untuk bisa membeli alat USG, mengembangkan bedah laparoskopik dan mempergunakan tokokardiograf. Di rumah sakit gereja di Saribudolok maupun di RS Harapan di Pematangsiantar permintaan itu sering tidak terkabulkan. Yang menentukan kebijaksanaan di rumah sakit milik gereja tersebut adalah orang-orang yang menurut saya kurang mengerti tentang perumahsakitan. Karena itu saya ingin agar dokter-dokter juga bisa menentukan policy rumah sakit agar teknologi kedokteran dapat dikembangkan lebih pesat.

Saya mengajak kawan-kawan dokter untuk ikut bergabung, antara lain Dr. A. Langkat Munthe, Direkutr RSU Pematangsiantar, Dr. Nuramid Saragih, Direktur RSU Tarutung, tapi mereka menolak karena takut adanya conflict of interests. Saya juga mengajak pengusaha-pengusaha yang bukan dokter untuk ikut bergabung

Pada suatu hari saya melayani pasien yang dibawa seorang pengusaha rokok di Pematangsiantar waktu praktek sore di Jalan Diponegoro depan CPM di kota Pematangsiantar. Ruang tunggu saya memang kecil dan karena itu nampak penuh sesak sehingga ada orang yang duduk di tangga rumah toko bertingkat tiga itu. Beberapa waktu kemudian kami ketemu dan dia menyambut usul saya untuk membangun rumah sakit di Siantar. Dia adalah alm. Frank Djingga, teman akrab kami membangun RS Vita Insani di Jalan Merdeka 329 di Pematang Siantar. Sekarang RS Vita Insani sudah 21 tahun dan mempunyai gedung baru yang diresmikan oleh Menteri Pertanian, Prof. Bungaran Saragih, bulan Maret 2004 yang lalu.

Tanpa Frank Djingga RS Vita Insani tidak jadi dibangun pada tahun 1983. Semangat dan cita-citanya tinggi. Dia mempunyai ide dan akses kepada pejabat pemerintah dan perbankan. Kami dengan cepat mendapat izin dari Walikota MJT Sihotang pada waktu itu dan kredit dari Bank Bumi Daya Pematangsiantar pimpinan Bapak Andi Paliama. Semua itu tidak mungkin tanpa jasa-jasa baik Frank Djingga.

Frank Djingga adalah seorang domokrat dan tidak membedakan suku, agama, ras dn kaya miskin. Kepada beberapa dari kami pendiri RS Vita Insani dia memberikan pinjaman agar bisa menanam saham di Vita Insani. Sebagian pinjaman pribadi dari bank sebagian dipinjamkan kepada perusahaan Frank Djingga dengan bunga yang lebih tinggi, dengan tujuan agar pembayaran bunga dan cicilan ke bank tidak telalu berat.

Pak Frank pernah berkata dengan senda gurau, "saya selalu berhubungan langsung dengan Tuhan untuk menghindari komisi kalau kita lewat klenteng, mesjid dan gereja. Jadi biayanya lebih hemat," katanya sambil tersenyum. Secara pribadi saya tidak dapat melupakan jasa Frank Djingga, walaupun akhir yang tragis dimana dia mengakhiri hidupnya dengan suicide dan walaupun sebagai akibatnya, kewajibanya kepada rumah sakit dan beberapa pribadi kami terpaksa diputihkan.

Isteri saya Gertrud membuat memoar dalam bentuk iklan 1/4 halaman untuk Frank Djingga di Harian Analisa Medan, untuk mengekspressikan perasaan dan pandangan kami terhadap Frank Djingga dan kejadian tragis yang menimpa dirinya. Memoar tersebut waktu itu disensor oleh perwakilan Analisa di Pematangsiantar karena katanya tidak boleh mencaantumkan kata "budya Tionghoa" pada ucapan belasungkawa itu. Waktu itu kami merasa aneh bahwa kata-kata dan ungkapan hati pun tidak dibebaskan untuk dikemukakan di tengah khalayak ramai.

Demikianlah RS Vita Insani dibangun oleh pengusaha dan dokter-dokter muda, kebanyakan lulusan Jerman, seperti Dr.med. Polentyno Girsang, Ir. Marasi Sibarani, Ir. Frank Djingga, Dr. Poltak Naiborhu dan saya sendiri. Kemudian turut bergabung Karmin Sutan, seorang pengusaha dealer mobil di Siantar, Haji Ramli, dari perusahaan asuransi di Medan, H. Isnomo, SH, seorang konsultan pajak dari Medan dan MS Sumbayak dari Jakarta, Dr. Paulus Suryanata dan Ester Oskar dari Siantar.

Saya menjabat Direktur RS Vita Insani dari tahun 1983 sampai 1989 yang kemudian atas anjuran kawan-kawan agar jabatan itu diambil alih oleh Dr. Polentyno Girsang. Saya merasa bahwa pergantian itu adalah hal yang wajar agar ada penyegaran pimpinan. Yang saya merasa tidak wajar adalah upaya yang sistematis dari direktur yang baru untuk mendiskreditkan saya sebagai mantan direktur rekan saya Dr. Alpin Hoza, sebagai mantan Asisten Direktur. Seakan-akan ada ketakutan come back pimpinan yang lama. Sebagai contoh saya dituduh menyalahgunakan uang biaya KONTAP (kontrasepsi mantap=sterilisasi operatif) dan Dr. Alpin dituduh menghilangkan obat. Pasalnya pada waktu itu BKKBN (Badan Kordinasi Keluarga Berenca Nasional) memberikan bantuan dana untuk program KONTAP sebesar Rp. 25.000.- tiap akseptor. Uang itu saya berikan kepada pasien dengan memotong honor saya sebagai dokter. Sebagai contoh biaya operasi KONTAP dengan biaya Rp. 175.000.- maka dari pasien diminta hanya Rp. 150.ooo.- dan uang bantuan dari BKKBN yang diterima kemudian diberikan kepada dokter yang melakukan operasi. Nah, ini dianggap Dr. Polentyno sebagai penyalahgunaan dana sehingga uang yang seharusnya diberikan kepada kami dokter ditahannya. Setelah berulang=ulang dibicarakan dalam rapat yayasan akhirnya di menyerahkan uang itu kepada saya walaupun rapat yayasan berulang kali memutuskan untuk melakukan penyerahan itu. Cuma di luar sana santer berita bahwa saya korupsi selama memangku jabatan direktur. Malah berita ini sampai kepada kawan-kawan di Eropah. Akan halnya Dr. Alpin, yang bersangkutan terus ditekan karena ada obat yang diputihkan waktu serah terima, dianggap menjadi tanggung jawabnya. Pada hal itu semuanya seharusnya ditelusuri siapa yang bertanggung jawab di apotik atau gudang apotik. Karena suasaana kerja tidak menyenangkan Dr. Alpin mengundurkan diri dari kegiatan di RS Vita Insani dan memilih berpraktek pribadi di rumahnya sendiri diseberang rumah sakit.

Setelah 7 tahun baru RS Vita Insani mencapai break even point alias pulang modal, suatu hal yang wajar untuk sebuah investasi dengan besaran RS Vita Insani waktu itu. Namun ketegangan antara kelompok pro dan kontra kepemimpinan baru meruncing terus. Saya memilih untuk berada diluar kancah perseteruan itu. Puncaknya adalah ketika masing-masing pihak ingin mengembalikan saham pihak lain agar pihak mereka sendiri memilikinya. Jalan keluar terbuka setelah salah satu kelompok ingin mendirikan rumah sakit baru dengan tidak mengikutsertakan kelompok yang berseberangan. Maka setelah perundingan yang alot terjadilah kesepakatan bahwa Dr. Polentyno Girsang dan kawan-kawan secara baik-baik memisahkan diri dari RS Vita Insani dan pindah ke rumah sakit baru yang mereka dirikan.

Ada beberapa kesan yang medalam dari peristiwa perselisihan tersebut pada diri saya. Saya merasa bahwa rasa persaudaraan dan kebersamaan sangat tipis di antara kawan-kawan yang bergabung dalam perusahaan ini. Kurang rasa saling manut (bah. Simalungun: marsipaihut-ihutan). Hal ini menjadi lebih parah dengan rasa kecemburuan yang tinggi. Tidak ada rasa ingin dan merasa gembira kalau orang lain behasil (bah. Jerman: nichts goennen). Saya terkesan dengan pepatah Jerman: "Leben und leben lassen" (hidup dan biarkan yang lain hidup). Pada mulanya sering orang bersemangat untuk mempersatukan diri. Sesudah 5-6 tahun terjadi kebosanan dan mereka saling mencari kesalahan mitranya (keine Ausdauer = tidak berkelanjutan).

Sifat-sifat dan karakter ini membuat korporasi di Indonesia mudah pecah dan tidak.berkembang pesat. Salah satu kesulitan mempertahankan persatuan dari perusahaan seperti ini adalah karena pemiliknya terlalu banyak dan lebih sulit menyatukan pendapat. Di lain pihak satu rumah sakit membutuhkan banyak pendukung sehingga variasi pengunjung juga lebih banyak. Artinya lebih banyak orang merasa memiliki rumah sakit itu, misalnya karena dilihatnya dokter yang mereka sukai ada ri rumah sakit itu atau teman satu suku atau ras tertentu diterima di rumah sakit itu, apakah sebagai dokter, pemilik atau pasien. Memang inilah juga menjadi alasan saya pribadi untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin orang, golongan, suku dan agama terlibat dalam kegiatan RS Vita Insani.

Dalam kurun waktu 21 tahun RS Vita Insani sudah banyak yang dapat dipetik pengalaman, kepahitan dan keberhasilan. Pada tahun pertama ada yang bilang bahwa rumah sakit semacam ini paling bisa bertahan 2-3 tahun. Dari sudut pandang itu keberhasilan itu lebih nampak maknanya. Malah ada yang bilang, rumah sakit yang dulu hanya satu sudah berkembang menjadi dua rumah sakit. Saya dahulu berpikir, kita harus hati-hati mengurus modal dan harus diupayakan modal itu tidak pecah agar peralatan yang mahal dapat dibeli dan pemakaiannya bisa lebih efisien dan rentabel. Ternyata pikiran itu salah karena dengan terbaginya modal yang ada pelayanan lebih luas dan lebih kompetitif. Tanpa persaingan tidak ada perbaikan pelayanan.

Dulu orang mencari dokter dan rumah sakit. Sekarang rumah sakit harus cari orang dengan menjual produk-produknya yang bersaing. Hospital Marketing merupakan kata kunci keberhasilan rumah sakit. Mengapa? Dengan pemasaran yang dilakukan rumah sakit harus menjanjikan sesuatu, baik itu pada mutu dan diversifikasai pelayanan maupun dalam harga. Motto marketing adalah "DO WHAT YOU SAY". Karena itu rumah sakit harus melakukan sesuatu untuk menepati janjinya. Kalau rumah sakit tidak pernah menjanjikan sesuatu maka dia pun tidak akan melakukan sesuatu dan akhirnya terjadilah pelayanan suka-suka tanpa standard pelayanan tertentu.

Mungkin ini juga yang membuat orang sekarang pergi berobat ke luar negeri, seperti sekarang orang rame-rame pergi ke Penang. Negara jiran kita itu memanfaatkan ketidakmampuan kita mengelola pelayanan orang sakit. Penyalahgunaan keterbelakangan kita ini mencapai puncaknya sekarang dengan membludaknya kunjungan pasien dari Medan atau Sumatera Utara ke kota pulau itu. Sejawat dokter di sana kurang memperhatikan kepentingan pasien dan mereka melanggar aturan main internasinal tentang regulation of medical conduct. Sebagai contoh, pasien yang berobat ke Penang tidak diberikan medical certificate tentang tindakan atau treatment yang dilakukan. Kalau terjadi komplikasi dokter di Indonesia tidak mempunyai data-data apapun tentang penyakit pasien. Ini merugikan pasien dan dokter di Indonesia tidak dapat melakukan apapun. Saya pernah menulis berulang-ulang dokter yang merawat pasien itu di Penang tapi mereka tidak menggubris.

Salah satu cita-cita saya dalam bidang kesehatn di Indonesia adalah membangun sistem penjaminan biaya pelayanan medik. Adalah pemandangan sehari-hari di rumah sakit bahwa keluarga pasien mengalami kesulitan membayar biaya pengobatan pasien yang sudah mendapat izin pulang ke rumah. Ada yang minta diskon, ada yang ingin menunggak, ada pula yang menjual ternaknya atau tanahnya untuk menutupi biaya pengobatan.

Sampai sekarang belum ada sistem yang tertata baik yang dapat menjamin biaya pengobatan orang sakit. Sistem yang ada sekarang dipegang oleh PT Askes, PT Jamsostek dan secara spordis oleh perusahaan-perusahan milik pemerintah dan swasta dengan sistem penjaminan yang bervariasi dan sering tidak dikelola dengan efisien.

PT Askes mengelola penjaminan pengobatan pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan tentara dan polis. Tetapi sarana obat dan diagnostik sering terbatas sehingga sebagian biaya ditimpakan kepada pasien. Keterbatan ini sering sedemikian jauh sehingga sistem itu tidak menjamin kesembuhan pasien secara maksimal. Karena itu banyak orang kecewa dan pergi berobat ke rumah sakit lain dengan biaya seendiri. Hal ini diperparah lagi dengan birokrasi yang berbelit-belit untuk mendapatkan pelayanan dengan biaya Askes ini.

Lain lagi dengan PT Jamsostek yang menerima kontribusi wajib menurut undang-undang dari kelompok orang yang mempunyai ikatan hubungan kerja. Dana yang diberikan pun tidak memadai sehingga pasien yang tertanggung tidak mungkin sembuh dengan sistem pembiayaan yang diberikan.

Saya pernah menganalisa besaran biaya yang diberikan untuk pasien tanggungan PT Jamsostek untuk penderita berobat jalan. Kalau kita bagi pengeluaran untuk pasien berobat jalan dengan jumlah pasien yang dilayani (bandingkan neraca PT Jamsostek tahun 2003) maka rata-rata pengeluaran untuk tiap pasien tidak lebih dari Rp 3500. Dalam jumlah tersebut sudah termasuk honor dokter, biaya obat, biaya pemeriksaan laboratorium atau alat diagnostik lainnya (kalau ada). Itu adalah "mission ompossible". Tapi itulah kenyataannya.

Bagaimana dengan perusahaan BUMN yang membiayai karyawannya berobat dengan tanggungan perusahaan? Ini agak lumayan karena uangnya agak mencukupi. Namun ada kesan bahwa dana-dana itu tidak digunakan dengan efisien dan sering terkesan bocor. Kemudian terjadi kesenjangan sistem dan teknologi pengobatan antar karyawan dan staf sehingga ada kesan penghamburan biaya di satu sisi dan di sisi lain ada pasien yang tidak dilayanai secara adekuat.

Pada perusahaan swasta mereka lebih hati-hati karena biaya kesehatan yang tinggi akan mempengaruhi jumlah profit perusahaan. Mereka sudah mulai mengansuransikan karyawannya pada perusahaan asuransi yang komersil, namun untuk mencari perusahaan asuransi yang profesional dan bertanggung jawab adalah merupakan pekerjaan yang tidak mudah di Indonesia.

Memang serba sulit sekarang sistem pembiayaan pelayanan medik di Indonesia. Walaupun kita punya uang belum tentu ada asuransi yang bonafid. Kalau kita sudah punya penjaminan sering rumah sakit atau sarana pelayanan medik juga belum tertata dengan baik (misalnya belum ada standard pelayanan yang tertata dengan baik dan tarif yang seimbang tanpa penggelembungan).

Karena itu saya berpendapat bahwa ada 3 hal yang harus ditata di Indonesia dalam pelayanan medik:
1. Sistem penjaminan pelayanan medik (asuransi yang diawasi dan menjamin biaya pelayanan dalam upaya penyembuhan penderita).
2. Sarana pelayanan yang baik, artinya tepat waktu (menunggu tidak seharian atau antri operasi beberapa minggu) dan berkualitas sesuai standard pelayanan.
3. Standard pelayanan yang mengikat untuk dokter dan perawat dan paramedis lainnya di rumah sakit, puskesmas dan instalasi pelyanan medik lainnya.

Dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru diberlakukan dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat saya kuatir bahwa pelaksanaannya tidak realistis, khususnya dalam restrukturisasi biaya dan pemberlakuan secara merata di Indonesia. Bagaimana sitem ini bisa disamaratakan di Merauke dengan di Bandung. Masyarakatnya berbeda, income per capita penduduknya seperti antara langit dan bumi dan fasilitas pelayanannya berbeda. Jadi harus ada penyesuaian pada sikon setempat. Ini hanya bisa kalau ada diversivikasi pada pelayanan, pada penjaminan dan pada standard pelayanan. Tidak mungkin standard pelayanan sama di Jakarta dengan di Pematangsiantar karena sarana pelayanan berbeda. Tapi jangan pula standard pelayanan nanati lebih rendah di Jakarta dari di Pematangsiantgar.

Memang diperlukan perobahan visi, perobahan paradigma dalam bidang kesehatan. Sebagai contoh Depkes merencanakan pelayanan monopoli untuk dana yang disediakan pemerintah sebagai realisasi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Dibawah ini saya lampirkan pendapat saya tentang hal itu, menanggapi rencana pemerintah untuk memonopoli biaya pengobatan keluarga miskin yang disantuni oleh pemerintah. Tulisan ini telah dikirim ke situs JPKM Depkes RI pada tanggal 17 Nov. 2004 melalaui http://www.jpkm-online.net/redirect.php?act=contact


TOPIK: Dilemma Pelaksana UU SJSN yang profit dan non profit.

Mengapa Depkes atau Prof Azrul Azwar bersikeras agar pelaksan UU SJSN harus perusahaan nirlaba? Bukankah masanya sudah lewat bahwa perusaan nirlaba itu cenderung tidak efisien dan tidak bertindak sesuai kaidah-kaidah good corporate governance?

Lihat saja RSU milik pemerintah apakah di pusat atau di daerah. Kan semuanya tidak efisien, sumber korupsi dan de facto sudah bangkrut karena dikelola tidak realistis dan tidak masuk akal. Inilah contoh perusahaan nirlaba yang kita banggakan itu.

Di negara komunis Eropah Timur sistem pelayanan kesehatan atau non kesehatan yang nirlaba ini sudah semuanya bangkrut dan ditinggalkan. Mereka rame=rame mengubahnya menjadi perusahaan swasta yang bisa bersaing.

Karena itu kita jangan mundur dan kita harus memakai peusahaan yang mampu mengelola asuransi kesehatan dengan baik dan realistis. Saya mengusulkan agar perusahaan milik pemerintah seperti PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes, dll. harus direstrukturisasi agar bisa bersaing dengan perusahaan asuransi swasta lain yang nota bene harus difasilitasi pertumbuhannya oleh pemerintah.

Kegagalan PT Jamsostek selama ini adalah karena visinya salah diterjemahkan oleh pengelolanya. Misalnya uang yang dibelanjakan untuk pasien berobat jalan rata-rata Rp3500 per pasien. Ini kan tidak masuk akal dan pasien tidak akan sembuh. Padahal duitnya banyak dan untung perusaah melimpah. Sampai bisa meminjamkan uang bertrilyun rupiah kepada kawan-kawan dekatnya, membangun rumah sakit, membangun rumah sususn, dst yang sebenarnya tidak termasuk dalam tugas utamanya. Tugas PT Jamsostek kan memberikan jaminan sosisal. Jaminan ini tidak dapat dipenuhinya tapi menghambur-hamburkan dana kepada sektor yang belum tentu berguna untuk buruh dan karyawan yang menyantuninya. Motifnya kan jelas, dengan adanya proyek, ada kesempatan KKN.

Demikian juga PT Askes harus dirubah strukturnya dan pola kerjanya sehingga misi penjaminan pelayanan kesehatan benar-benar terlaksana sesuai kebutuhan penderita yang memakainya. Sekarang ini PNS belum terlayaani dengan baik. Katanya kurang dana sehingga pelayanan yang diberikan dikrimping. Tapi PT Askes kabarnya untung juga tiap tahun.

PT Askes harus diberikan Pemerintah tugas dan fungsi memberikan penjaminan yang realistis dan benar, sesuai harga pasar obat-obatan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.

Dan saya usulkan agar sarana pelayanan untuk pasien yang ditanggung melalui UU SJSN jangan dimonopoli oleh RS milik pemerintah karena monopoli membunuh suasana persaingan dan akhirnya rumah sakit milik pemerintah itu tidak kompetitif dan pelayanan akan merosot seperti sekarang. Berikan kesempatan untuk mereka besaing dan sarana pelayanan swasta juga dipaksa untuk bersaing dengan harga yang ditentukan oleh pasar. Tentu dengan pengawasan ketat oleh Pemerintah. Lagian, dengan pelayanan gakin oleh RSUD adalah bentuk diskriminasi terselubung untuk pasien.

Camkanlah, perusahaan yang tidak berniat untuk mencari profit tidak akan bertumbuh dan sesuatu yang tidak tumbuh akan mati sendiri. Itu hukum alam, semisal janin yang tidak tumbuh akan mati, demikian juga perusahaan asuransi yang tidak tumbuh akan bangkrut. Mereka harus bisa menantang pasar dan hanya dengan demikian mereka bisa efisien.

Mudah-mudahan usul saya bisa dipertimbangkan.

Wassalam

Sarmedi Purba


Tarik-menarik Kepentingan dalam Pelaksanaan UU SJSN
Sumber: Kompas
Senin, 1 Nopember 2004

Jakarta, Kompas - Dalam mengimplementasikan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, seyogianya pemerintah memanfaatkan badan penyelenggara yang sudah ada atas dasar pertimbangan pengalaman, profesionalisme, jaringan provider (penyedia pelayanan kesehatan), dan jaringan organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pendapat itu dilontarkan Ketua Pansus Rancangan Undang- Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (RUU-SJSN) DPR periode 1999-2004 dr Surya Chandra Surapaty MPH PhD menanggapi gagasan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Prof Dr dr Azrul Azwar MPH.

Dalam Kompas (Selasa, 26/10), Azrul menyatakan, sebelum status badan penyelenggara jaminan sosial (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) berubah dari profit ke nonprofit, sebaiknya dana pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Karena, aspek sosial dari pengelolaan dana untuk penduduk miskin oleh badan pencari laba diragukan.

Sebaliknya, Chandra dalam surat tertulis ke Kompas menyatakan, penerapan program bagi masyarakat miskin dan tak mampu yang pembiayaannya dibayar pemerintah sudah sangat tepat dilaksanakan badan penyelenggara yang telah ada.

"Hal itu mempertimbangkan efisiensi dan keberlanjutan program. Pembentukan badan penyelenggara baru akan memubazirkan waktu dan pembiayaan sehingga jaminan kesehatan bagi masyarakat makin jauh dari yang dicita-citakan," urai Chandra.

Masalah dari keempat badan penyelenggara, menurut dia, hanyalah belum bersifat nirlaba, belum mengikuti prinsip dan amanat, serta masih mengacu pengelolaan BUMN secara umum. Chandra berpendapat, perubahan status dapat dilakukan sesingkat-singkatnya.

Tidak mudah

Prof dr Amal C Sjaaf MPH DrPH dari Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia melihat perubahan status dari profit menjadi nirlaba tak mudah. Banyak konsekuensi terkait dengan kepemilikan saham. Badan hukum apa yang akan digunakan sebagai badan nirlaba, menjadi badan layanan umum, yayasan atau koperasi.

Selain itu, bagaimana mengelola dana asuransi sosial jika masih berstatus badan untuk mencari laba. Apakah sisa hasil usaha akan dibagi kepada pemilik perusahaan atau dikembalikan untuk kepentingan masyarakat?

Bagaimana kerja sama dengan pemerintah daerah yang menjadi pemilik pusat pelayanan kesehatan dan mampu menyediakan dana untuk pembiayaan kesehatan penduduk miskin, seperti DKI Jakarta atau Jawa Timur.

Titik temu

Menurut Prof dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD, ahli pembiayaan kesehatan dari Universitas Gadjah Mada, meski belum sempurna, UU SJSN merupakan langkah maju yang cukup signifikan.

Hal-hal penting, seperti asuransi sosial kesehatan dikelola oleh badan nirlaba, kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib, sudah mendapat persetujuan bersama.

Diakui masih ada tarik-menarik pelbagai kepentingan. Namun, seyogianya masing- masing pihak tidak perlu ngotot melainkan berupaya mencari titik temu sehingga pencapaian universal coverage (cakupan menyeluruh) asuransi sosial bagi penduduk Indonesia bisa makin cepat.

Mengenai tarik-menarik antara profit dan nirlaba, menurut Ghufron, seyogianya apa yang ada saat ini dijalankan saja sepanjang masih sesuai dengan asas asuransi sosial.

Sambil berubah status ke nirlaba, Askes dan Jamsostek bisa mengelola peserta yang ada. Sedangkan badan penyelenggara asuransi sosial kesehatan di sejumlah daerah juga bisa jalan sepanjang bersifat nirlaba. Apalagi UU tentang Otonomi Daerah yang direvisi juga mengamanatkan pengembangan jaminan sosial di provinsi dan kabupaten.

Namun, mereka perlu bersiap untuk berintegrasi secara bertahap dengan badan penyelenggara yang ditetapkan UU. (ATK)



Pengirim : Webmaster







2002 © Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat - Departemen Kesehatan RI
Dikelola oleh Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Website oleh Sucolles

No comments: