Wednesday, November 17, 2004

DILEMMA PELAKSANAAN UU SJSN YANG PROFIT DAN NON PROFIT

Dilemma Pelaksana UU SJSN yang profit dan non profit.

Mengapa Depkes atau Prof Azrul Azwar bersikeras agar pelaksan UU SJSN harus perusahaan nirlaba? Bukankah masanya sudah lewat bahwa perusaan nirlaba itu cenderung tidak efisien dan tidak bertindak sesuai kaidah-kaidah good corporate governance?

Lihat saja RSU milik pemerintah apakah di pusat atau di daerah. Kan semuanya tidak efisien, sumber korupsi dan de facto sudah bangkrut karena dikelola tidak realistis dan tidak masuk akal. Inilah contoh perusahaan nirlaba yang kita banggakan itu.

Di negara komunis Eropah Timur sistem pelayanan kesehatan atau non kesehatan yang nirlaba ini sudah semuanya bangkrut dan ditinggalkan. Mereka rame=rame mengubahnya menjadi perusahaan swasta yang bisa bersaing.

Karena itu kita jangan mundur dan kita harus memakai peusahaan yang mampu mengelola asuransi kesehatan dengan baik dan realistis. Saya mengusulkan agar perusahaan milik pemerintah seperti PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes, dll. harus direstrukturisasi agar bisa bersaing dengan perusahaan asuransi swasta lain yang nota bene harus difasilitasi pertumbuhannya oleh pemerintah.

Kegagalan PT Jamsostek selama ini adalah karena visinya salah diterjemahkan oleh pengelolanya. Misalnya uang yang dibelanjakan untuk pasien berobat jalan rata-rata Rp3500 per pasien. Ini kan tidak masuk akal dan pasien tidak akan sembuh. Padahal duitnya banyak dan untung perusaah melimpah. Sampai bisa meminjamkan uang bertrilyun rupiah kepada kawan-kawan dekatnya, membangun rumah sakit, membangun rumah sususn, dst yang sebenarnya tidak termasuk dalam tugas utamanya. Tugas PT Jamsostek kan memberikan jaminan sosisal. Jaminan ini tidak dapat dipenuhinya tapi menghambur-hamburkan dana kepada sektor yang belum tentu berguna untuk buruh dan karyawan yang menyantuninya. Motifnya kan jelas, dengan adanya proyek, ada kesempatan KKN.

Demikian juga PT Askes harus dirubah strukturnya dan pola kerjanya sehingga misi penjaminan pelayanan kesehatan benar-benar terlaksana sesuai kebutuhan penderita yang memakainya. Sekarang ini PNS belum terlayaani dengan baik. Katanya kurang dana sehingga pelayanan yang diberikan dikrimping. Tapi PT Askes kabarnya untung juga tiap tahun.

PT Askes harus diberikan Pemerintah tugas dan fungsi memberikan penjaminan yang realistis dan benar, sesuai harga pasar obat-obatan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.

Dan saya usulkan agar sarana pelayanan untuk pasien yang ditanggung melalui UU SJSN jangan dimonopoli oleh RS milik pemerintah karena monopoli membunuh suasana persaingan dan akhirnya rumah sakit milik pemerintah itu tidak kompetitif dan pelayanan akan merosot seperti sekarang. Berikan kesempatan untuk mereka besaing dan sarana pelayanan swasta juga dipaksa untuk bersaing dengan harga yang ditentukan oleh pasar. Tentu dengan pengawasan ketat oleh Pemerintah. Lagian, dengan pelayanan gakin oleh RSUD adalah bentuk diskriminasi terselubung untuk pasien.

Camkanlah, perusahaan yang tidak berniat untuk mencari profit tidak akan bertumbuh dan sesuatu yang tidak tumbuh akan mati sendiri. Itu hukum alam, semisal janin yang tidak tumbuh akan mati, demikian juga perusahaan asuransi yang tidak tumbuh akan bangkrut. Mereka harus bisa menantang pasar dan hanya dengan demikian mereka bisa efisien.

Mudah-mudahan usul saya bisa dipertimbangkan.

Wassalam

Sarmedi Purba


Tarik-menarik Kepentingan dalam Pelaksanaan UU SJSN
Sumber: Kompas
Senin, 1 Nopember 2004

Jakarta, Kompas - Dalam mengimplementasikan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, seyogianya pemerintah memanfaatkan badan penyelenggara yang sudah ada atas dasar pertimbangan pengalaman, profesionalisme, jaringan provider (penyedia pelayanan kesehatan), dan jaringan organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pendapat itu dilontarkan Ketua Pansus Rancangan Undang- Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (RUU-SJSN) DPR periode 1999-2004 dr Surya Chandra Surapaty MPH PhD menanggapi gagasan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Prof Dr dr Azrul Azwar MPH.

Dalam Kompas (Selasa, 26/10), Azrul menyatakan, sebelum status badan penyelenggara jaminan sosial (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) berubah dari profit ke nonprofit, sebaiknya dana pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Karena, aspek sosial dari pengelolaan dana untuk penduduk miskin oleh badan pencari laba diragukan.

Sebaliknya, Chandra dalam surat tertulis ke Kompas menyatakan, penerapan program bagi masyarakat miskin dan tak mampu yang pembiayaannya dibayar pemerintah sudah sangat tepat dilaksanakan badan penyelenggara yang telah ada.

"Hal itu mempertimbangkan efisiensi dan keberlanjutan program. Pembentukan badan penyelenggara baru akan memubazirkan waktu dan pembiayaan sehingga jaminan kesehatan bagi masyarakat makin jauh dari yang dicita-citakan," urai Chandra.

Masalah dari keempat badan penyelenggara, menurut dia, hanyalah belum bersifat nirlaba, belum mengikuti prinsip dan amanat, serta masih mengacu pengelolaan BUMN secara umum. Chandra berpendapat, perubahan status dapat dilakukan sesingkat-singkatnya.

Tidak mudah

Prof dr Amal C Sjaaf MPH DrPH dari Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia melihat perubahan status dari profit menjadi nirlaba tak mudah. Banyak konsekuensi terkait dengan kepemilikan saham. Badan hukum apa yang akan digunakan sebagai badan nirlaba, menjadi badan layanan umum, yayasan atau koperasi.

Selain itu, bagaimana mengelola dana asuransi sosial jika masih berstatus badan untuk mencari laba. Apakah sisa hasil usaha akan dibagi kepada pemilik perusahaan atau dikembalikan untuk kepentingan masyarakat?

Bagaimana kerja sama dengan pemerintah daerah yang menjadi pemilik pusat pelayanan kesehatan dan mampu menyediakan dana untuk pembiayaan kesehatan penduduk miskin, seperti DKI Jakarta atau Jawa Timur.

Titik temu

Menurut Prof dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD, ahli pembiayaan kesehatan dari Universitas Gadjah Mada, meski belum sempurna, UU SJSN merupakan langkah maju yang cukup signifikan.

Hal-hal penting, seperti asuransi sosial kesehatan dikelola oleh badan nirlaba, kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib, sudah mendapat persetujuan bersama.

Diakui masih ada tarik-menarik pelbagai kepentingan. Namun, seyogianya masing- masing pihak tidak perlu ngotot melainkan berupaya mencari titik temu sehingga pencapaian universal coverage (cakupan menyeluruh) asuransi sosial bagi penduduk Indonesia bisa makin cepat.

Mengenai tarik-menarik antara profit dan nirlaba, menurut Ghufron, seyogianya apa yang ada saat ini dijalankan saja sepanjang masih sesuai dengan asas asuransi sosial.

Sambil berubah status ke nirlaba, Askes dan Jamsostek bisa mengelola peserta yang ada. Sedangkan badan penyelenggara asuransi sosial kesehatan di sejumlah daerah juga bisa jalan sepanjang bersifat nirlaba. Apalagi UU tentang Otonomi Daerah yang direvisi juga mengamanatkan pengembangan jaminan sosial di provinsi dan kabupaten.

Namun, mereka perlu bersiap untuk berintegrasi secara bertahap dengan badan penyelenggara yang ditetapkan UU. (ATK)



Pengirim : Webmaster







2002 © Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat - Departemen Kesehatan RI
Dikelola oleh Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Website oleh Sucolles

No comments: