GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia)
Jumat, 10 Desember 2004
Kongres GMKI berlangsung dari 8 sampai 15 Desember 2004 di Pematangsiantar. Hari ini saya pulang ke Pematangsiantar dengan pesawat Mandala jam 17.00 dan sekarang sedang menunggu di Bandara Cengkareng. Besok jam 9 pagi ada pertemuan senior GMKI di Siantar Hotel dan malamnya perjamuan kasih senior GMKI di rumah dinas Walikota Siantar.
Nampaknya penyelenggaraan Kongres ini kurang matang sehingga terpaksa diundur dari bulan Nopember ke bulan Desember 2004. Maka terjadilah tabrakan waktu dengan kegiatan Natal. Tadi pada pertemuan keluarga mempersiapkan pesta adat Tati (akan dilaksanakan 7 Januari 2004 di Wisma Mangaraja Jalan Perintis Kemerdekaan di Jakarta) Marim (Walikota Siantar) mengatakan bahwa Wapres Jusuf Kalla tidak jadi datang pada acara pembukaan Kongres GMKI 8 Desember 2004 kemarin dulu. Persiapan dan pembentukan Panitia Kongres GMKI ini juga dari mulanya salah langkah. Tokoh-tokoh setempat tidak diajak berunding untuk menentukan Panitia, termasuk Marim Purba, mantan Ketua Umum GMKI 1982-84. Saya tidak habis pikir kalau kawan-kawan dari HKBP tidak memikirkan temannya dari gereja lain kalau dia sedang di atas angin. Di negara yang serba bhineka ini sebenarnya orang harus membuat komposisi Panitia Kongres dengan memperhatikan kawsan-kawan dari gereja lain, apalagi gereja lokal di Pematangsiantar. Bagi saya adalah tidak masuk akal kalau petinggi HKBP dari Pearaja Tarutung harus diangkat menjadi Ketua Umum Panitia Kongres yang berlangsung di Pematangsiantar, pada hal ada petinggi pemerintahan di Siantar yang mantan Ketua Umum GMKI. Saya tidak habis pikir kalau Badan Pengurus Cabang (BPC) GMKI berpikir harus memilih tokoh HKBP memimpin Kongres ini hanya karena anggota HKBP mendominasi kepengurusan BPC sekarang. Sedang untuk menyusun BPC sendiri orang seharusnya mengupayakan keikutsertakan anggota pengurus dari berbagai denominasi gereja agar fungsi mensosialisasikan oikumene, yang merupakan ciri khas gerakan mahasiswa Kristen, dapat diwujudkan.
Saya menjadi noviat GMKI sejak menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran tahun 1959. Aku diajak oleh Sahat Pasaribu, sekretaris BPC GMKI waktu itu. Pada masa perkenalan kami diberikan bimbingan bagaimana seharusnya kita menjadi kader GMKI. Maka pada tahun 1960 saya sudah diikut sertakan menjadi Ketua bidang kerohanian pada kepengurusan waktu itu. Saya memimpin kebaktian-kebaktian yang dilaksanakan pada tiap hari Jumat siang, sering dilakukan di Gereja HKBP Simalungun Jalan hang Tuah. Sahat Simanjuntak, Ketua BPC waktu itu dengan sabar hati membimbing saya. Saya juga mengikuti beberapa Leadership Training Course (LTC). Yang saya tidak lupa adalah nasehat senior saya Daulat Sitorus waktu itu yang mengajarkan kepada kami: seorang kader harus mampu dengan cepat menganalisa situasi, mampu mengambil kesimpulan dan mampu mengintervensi pada waktu yang cepat dan tepat.
Saya ikut terlibat dalam penyusunan BPC GMKI Cabang Medan pada tahun 1963 (?), di mana kelompok kami berupaya mengorbitkan Daulat Sitorus menjadi Ketua BPC. Setelah bergumul dalam beberapa hari sebagai anggota formateur dan mengalami intrik-intrik bagaimana menjegal saingan, kami akhirnya mengambil keputusan untuk memilih Sahat Pasaribu menjadi ketua BPC
11 Desember 2004
Sesudah makan siang jam 13.00 saya mengikuti pertemuan seniorfriends GMKI di Siantar Hotel yang dihadiri lebih kurang 60 orang. Beberapa yang saya kenal hadir selain Marim Purba adalah Martin Hutabarat, Paul Nainggolan, Firman Daeli (anggota DPR RI Fraksi PDIP), Sahata B. Sitompul (saya bersamanya di PDKB yang kemudian terbagi dua menjadi Partai PDKB pimpinan Seto Harianto dan PDKB pimpinan Manase Malo, dimana kami berseberangan karena saya memilih partai yang pertama), Horas Rajagukguk, Nelson Parapat, Rekson Silaban (menjadi Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia/SBSI), Yussac Atamay (sekarang anggota DPRD Propinsi Papua dari PBSD), Tulus Siambaton, dll. Rupanya saya adalah senior friend yang tertua.
Pada pertemuan tersebut dideklarasikan lahirnya Forum Senior Friends GMKI yang menjadi wadah komunikasi antar senior friends di cabang-cabang dan antar cabang. Saya utarakan pendapat saya bahwa PIKI dulu dimaksud juga sebagai wadah senior friends GMKI, namun dalam perjalanannya menjadi kepentingan politik praktis dari beberapa anggotanya saja dan tidak banyak berguna untuk GMKI. Kalau forum ini dibentuk perlu jelas visinya, cara kerjanya dan programnya. Tanpa visi forum ini akan ngawur seperti selama ini. Misalnya saya heran kalau GMKI pada masa yang lalu ragu-ragu mendukung Marim Purba menjadi Walikota tahun 2000 yang lalu. Saya usulkan bahwa visi forum ini adalah mengupayakan kader GMKI mendapat posisi penentu dalam bidang politik, ekonomi dan keagamaan. Kita harus membuat strategi bersama untuk menggolkan senior GMKI di pemerintahan, legislatif, di corporate, gereja dan lain-lain. Jadi jelas visi forum ini mau jadi apa dia. Untuk memaksimalkan tingkat komunikasi antar senior friends perlu ada website, mailinglist sendiri, dimana semua alamat anggota diketahui, apa posisinya, apa pendapatnya, keunggulannya dan bantuan apa yang dapat diharapkan dari yang bersangkutan untuk mendukung sesamanya. Satu yang tidak kurang pentingnya, harus ada yang mencatat tiap pertemuan atau diskusi interaktif melaui internet, membuat rangkuman/inti pembicaraan, apa usul langkah selanjutnya, ke mana fokus kegiatan, yang mana prioritas, dan seterusnya. Tanpa adanya perumusan demikian, pembicaraan akan berputar-putas sekitar masalah yang sama seperti sejak 40 tahun yang lalu dan tidak ada akhirnya dan tidak pula ada hasilnya.
Malamnya, sesudah kebaktian Natal RS Vita Insani, saya masih sempat mengikuti malam keakraban GMKI di rumah dinas walikota di tengah hujan yang kadang-kadang lebat dan kadang gerimis. Namun demikian saya masih sempat ikut tari poco-poco dan sempat kehujanan. Saya diskusi dengan Rospita Sitorus, senior GMKI yang mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Simalungun (USI), tentang kemelut yang terus menerus terjadi pada institusi pendidikan tinggi yang dipimpin oleh Dr. Polentyno Girsang itu (Dr. P. Girsang adalah Ketua Yayasan). Pada hal jumlah mahasiswa yang mendaftar dari tahun ke tahun terus menurun. Saya berpendapat bahwa perguruan tinggi tidak bisa maju kalau pemilihan fungsionaris universitas hanya bertujuan untuk mengakomodasi orang atau kelompok tertentu. Universitas berbeda dengan politik karena dia harus mengedepankan yang paling mampu dalam ilmunya.
Atas pertanyaan kawan-kawan senior GMKI saya menceritakan bahwa waktu kami jadi pengurus GMKI Cabang Medan, Ketua Umum GMKI adalah Peter Sumbung dan Sekjen Kilian Sihotang. Sesudah saya ke Jerman tahun 1964, Kilian Sihotang menyusul tahun 1968 dan pernah kami angkat menjadi pelayan mahasiswa Kristen di Eropah, di mana saya menjadi ketua PERKI menggantikan Pdt. A.A.Sitompul sejak tahun 1968. Pengurus Pusat GMKI berikutnya dipimpin oleh Binsar Sianipar dan Supardan, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekjen. Pada World Congress of World Student Christian Federation di Helsinki tahun 1967 saya hadir sebagai peninjau mewakili mahasiswa Kristen Indonesia di Eropa, dimana Binsar dan Supardan juga hadir. Di situlah pertama kali saya ke Finlandia yang kemudian menjadi tempat tinggal adik isteri saya, Hannelore, yang kami kunjungi tahun 1975, 1990 dan 2004. Yang paling saya ingat pada kongres seduania itu adalah sandiwara selingan dimana anak-anak ramai-ramai membawa bendera dan spanduk bertuliskan: ”Do not trust people over 30” Dalam pengalaman hidup saya memang benar, bahwa idealisme aktivis menurun kalau sudah tambah tua, dia akan memikirkan masa depannya, anak-anaknya dan masa tuanya. Karena itu organisasi pemuda dan mahasiswa sebaiknya dipimpin oleh pemuda di bawah 30 tahun, sebab pada masa inilah pemuda mampu menjadi pejuang cita-citanya dan berani menempuh risiko.
Waktu saya berkunjung ke Jakarta tahun 1963 saya dibawa PP GMKI (Peter Sumbung, Kilian Sihotang) menghadap Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), dimana kami sempat berfoto di ruang tunggu dengan Prof Dr. Mustopo yang terkenal sebagai penganut agama Pancasila itu. Saya pernah juga menginap juga di Kantor Pengurus Pusat GMKI di Salemba 10 Jakarta.
Teman-teman GMKI yang lain di Medan yang masih saya ingat adalah Todotua Simanjuntak, yang kemudian menjadi penjabat Biro Personalia di Depkes RI, Rudolf Parhusip, kemudian menjadi dokter spesialis paru, Porman Tobing, yang kemudian menjadi isteri Menteri Lingkungan Hidup M. Siregar, Marion Aritonang, dokter di Jakrta dan isteri Naek Tobing, konsultan sexologi di Jakarta (juga senior GMKI), Abdallah Lengkong (kemudian menjadi dokter di Tomohon, berbakat menyanyi dan dia pernah cerita bahwa program KB, Gizi, dll. diajarkannya kepada masyarakat dengan menyanyi). Senior kami waktu itu adalah Dumasi Nababan (kemudian jadi Hakim Tinggi), Pandapotan Simanjuntak (kemudian Profesor Obsteri-Ginekologi dan anggota DPR RI), Mangasa Tobing (kemudian bersama saya di Jerman, dia menjadi spesialis penyakit dalam). Yang menarik bagi saya dalah senior GMKI Tiurniari Sitompul, yang tiba-tiba memanggil saya dan mengangkat saya menjadi salah satu asisten Bagian Fisika sesudah saya lulus CI (Candidat I) di Fakultas Kedokteran USU. Orangnya sering eksentrik dan lucu. Dia objektif dalam menilai ilmu dan mahasiswa. Dia juga guru Fisika saya waktu di SMA (Sekolah Menenagah Atas) Teladan I di Jalan Seram Medan. Kalau mengajar dia selalu melihat ke atas tidak kepada kami murid-muridnya. Di Bagian Fisika FK USU saya menjadi pegawai negerri dengan tunjangan beras tiap bulan, bersama Marion Aritonang, Rudolf Parhusip, Fahmi Tanjung (abang dari Jenderal Faisal Tanjung, dulu kami selalu bilang, kalau orang macam-macam dia bisa mengadukannya kepada adiknya yang AKMIL itu).
Sesudah saya pulang dari Jerman, saya ketemu Fahmi Tanjung di Depkes, yang menawarkan saya program INPRES Spesialis dengan menjanjikan paket 1 rumah, 1 mobil dan sejumlah alat operasi dan ditempatkan di propinsi yang membutuhkan. Atas pertanyaan aku akan diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) Golongan IIIA. Berseloroh saya jawab, kalian sudah jadi jenderal dan aku diberi pangkat kopral, mana aku mau? Karena saya memang mempunyai kontrak beasiswa dengan GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) untuk kelak bekerja di RS Bethesda GKPS Saribudolok sesudah selesai belajar di Jerman, saya menolak untuk menjadi pegawai negeri. Dengan Todotua Simanjuntak kami juga sering ketemu di Depkes. Dia cerita tentang kunjungannya ke Jerman membawa makalah tentang obat kanker yang dihasilkan dari bahan baku singkong. Dengan Tiurniari Sitompul kami jumpa di Wisma Bukit Barisan bersama Robencius Saragih, juga senior GMKI, untuk membicarakan rencana pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran yang digagasi oleh Aminuddin Lubis (juga senior GMKI). Tiur bilang kepada saya, dia tidak habis pikir mengapa orang Batak masih makan daging babi. Itu membuat orang menjadi kurang pintar. Mengapa orang Tionghoa juga pintar walaupun makan daging babi, katanya bahwa kalangan atas di Tiongkok juga tidak makan daging babi. Dia mejakini teori ini. Dengan Muara Marbun, salah satu senior GMKI Medan, kami juga jumpa kembali di Medan pada lomba catur. Dia bercerita pernah jatuh cinta dengan orang Inggeris pada masa training di London, tapi tidak jodoh kawin dengan wanita tersebut. Muara Marbun di Fakultas Kedokteran dulu adalah killer ujian anaatomi. Saya ingat bahwa lichting FK USU 1959 semuanya gugur di tangan Muara Marbun pada mata pelajaran Anatomi dan mengulang 6 bulan kemudian, kecuali Tan Bwee Eng (sekarang Sutanto) dan Justin Simatupang. Belakangan aku tahu bahwa dokter spesialis Radiologi ini menjadi paman dari isteri keponakan saya Jordi Purba.
Muara Marbun adalah Ketua Umum Panita Kongres GMKI 1963 yang diselenggarakan di Pematangisantar. Dia memimpin panitia ini sangat ketat, disiplin dan sering tidak toleran. Banyak kawan-kawan mengeluh dengan caranya yang super teliti. Saya diangkat menjadi wakil sekretaris panitia dan bertugas membuat risalah notulen rapat. Namun saya diberangkatkan oleh NKPS (Naposo Kristen Protestan Simalungun, naposo=pemuda) mengikuti Kamp Kerja Oikumene Internasional di Tangmentoe, Tana Toraja, sebelum kongres itu berlangsung.
Perjalanan ke Tana Toraja ini memakan waktu ayng lama. Dari Jakarta kami diberangkatkan oleh Komisi Pemuda DGI (Dewan Gereja di Indonesia) dengan Christian Tarigan, yang ikut memimpin kamp kerja tersebut. Kami naik kapal laut dari Tanjung Priok ke Makassar, di mana banyak mahasiswa asal Ambon sedang pulang kampung. Di Makassar kami menginap di rumah keluarga Hutabarat, di mana salah satu anaknya juga anggota GMKI. Kami berkenalan dengan Wim Poli, salah satu pengurus GMKI. Mereka semua menyambut kami dengan akrab. Dengan naik bus selama 8 jam kami sampai di Tangmentoe, sebuah pusat pelatihan petugas gereja Toraja. Kami bekerja memperbaiki jalan dari jalan utama beraspal ke pusat latihan tersebut, sepanjang lebih kurang 800 m. Ada peserta dari Jepang, India, Thailand. Dan dari beberapa gereja di Indonesia, khususnya yang di Sulawesi. Saya berkenalan dengan Maria Linting, anak Ketua Synode Gereja Toraja dan pernah diundang makan di rumah mereka di Makale. Dengan Maria kami kemudian sering saling berkirim surat. Kami mengikuti Jubileum 25 tahun Gereja Toraja yang dipusatkan di Rantepao. Berkesan adalah pesta penguburan yang berlangsung meriah dengan menyembelih sebanyak mungkin ternak agar roh yang mati tidak kembali mengganggu manusia yang ditinggalkannya. Kami mengunjungi gua di mana jasad orang Toraja ditaruh sesudah meninggal. Di situ banyak dijumpai tulang dan tengkorak manusia. Saya tergiur untuk membawa satu tengkorak manusia untuk pelajaran anatomi, tapi niat itu saya urungkan. Kami mendengar cerita tentang pembantaian orang Kristen oleh gerombolan Kahar Muzakar di Mamasa, yang pada waktu itu baru saja terjadi. Masalah kemitraan antara pemeluk agama monoteis Kristen dan monoteis Islam waktu itu juga merupakan pergumulan yang tak kunjung selesai.
Memang sekarang aku mulai sadar bahwa kelemahan agama monoteis itu adalah kurangnya toleransi terhadap agama lain. Kebenaran mutlak dari agama yang mereka peluk merupakan ciri khas kedua agama itu sehingga cenderung berebut lahan di antara manusia yang tinggal di daerah kerja mereka. Pada hal Tuhan kedua agama itu dan juga agama Jahudi adalah Tuhan yang disembah oleh Abraham, Bapak orang percaya, orang Jahudi yang pertama. Jadi yang berkelahi adalah keturunan Abraham ini. Kesan saya agama polyteis lebih toleran, misalnya Hindu Bali. Agama polytheis tidak perlu memutlakkan satu Tuhan, ada beberapa dewa yang harus disembah dan kalau satu dewa murka maka masih ada dewa yang lain sebagai alternatif sehingga tidak mudah terjebak pada jalan buntu. Apakah pandangan begitu keliru?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment