SEBASTIAN DIBAPTIS
28 Desember 2004
Kami menunggu di Bandara Cengkareng sesudah tiba dari Denpasar pukul 11.45. Pesawat Star Air yang akan membawa kami ke Medan delay 2 jam 45 menit, dari jam 14.00 menjadi 16.45, dan saya boleh menulis semua kejadian menggembirakan di Bali dari 23 sampai 28 Desember 2004.
Saya gembira sekali dapat merayakan Natal dengan semua anak cucu saya pada tanggal 24 Desember 2004. Semua hadir: Christina dan Gidion bersama cucu saya Joel Sebastian Adinugraha, Tatiana dan Martua Tambunan bersama anak mereka Lehetta Rosa dan John Sardi. Tentu saja isteri saya Gertrud yang datang bersama saya dari Siantar. Kami dapat mengabadikan perayaan Natal kami di rumah Christina di Jalan Danau Tamblingan II/14 di Taman Griya, Nusa Dua Bali. Kami dapat menambah kegembiraan kami dengan berbagi kado yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sungguh indah bersama anak dan cucu di malam Natal yang kudus ini. Tradisi keluarga yang kami usahakan menyelenggarakannya tiap tahun mudah-mudahan menjadi tradisi keluarga anak cucu kami.
Bersama anak cucu 24 Desember 2004 di Bali
Ucapan Selamat Hari Natal tahun ini saya sampaikan melalui sms kepada seluruh famili dan teman berbunyi:
Banyak berkat dan sukacita yang diberikan Tuhan kepada keluarga kita, pekerjaan kita, bangsa dan negara kita pada tahun ini yang menambah kabar gembira merayakan kelahiran Juru Selamat kita. Selamat Hari Natal.
Sekarang tidak banyak lagi orang menyampaikan pesan Natal dengan kartu natal tetapi dengan sms dengan kata-kata mutiara yang sebagian dihiasi dengan gambar pohon terang dan gambar Yesus yang sudah dewasa. Jaman sudah berubah, semuanya serba elektronik, baik mobil, internet, sms, air condition, alat USG, computer di rumah sakit, dan seterusnya. Saya bersyukur bahwa sebagian besar proses ini dapat saya nikmati (kebanyakan sebaya saya tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi masa kini, khususnya computer dan internet). Pada pertemuan untuk promosi Herbalife di Gedung FKKPI Jalan Diponegoro Pematangsiantar pada 19 Desember 2004 yang lalu saya mendapat informasi bahwa orang-orang yang berumur 65 tahun hanya 3 % saja yang masih bekerja dan saya bersyukur bahwa saya termasuk yang 3 % itu.
Pada 25 Desember kami tidak ke gereja tetapi berenang dengan cucu saya yang pertama Lehetta Rosa boru Tambunan di kolam renang Hotel Bali Gardenia Resort di Nusa Dua. Sungguh menyenangkan karena Rosa menikmati permainan dalam air itu. Saya juga senang karena saya belajar kenal dengan cucu saya dan sesudah bersama selama 4 hari saya tidak lagi dianggapnya orang asing. Dia sangat cantik dan manis dan menurut saya yang paling cantik dari seluruh anak-anak yang ada di kolam renang itu (kebetulan kebanyakan orang Korea dan Jepang).
Foto anak cucu: Berdiri dari kiri ke kanan: Christina, Gidion, Martua dan Tatiana. Digendong: Sebastian dan Rosa
Sore harinya kami menikmati suasana pantai Kuta di Mal Centro. Sungguh banyak yang sudah dibangun di pulau Bali ini. Pertama saya berkunjung ke Bali pada tahun 1963 dengan Christian Tarigan, seorang mahasiswa STT Jakarta, dalam perjalanan pulang dari Kamp Kerja Oikumene Internasional di Tangmentoe Tana Toraja. Melalui laut kami sampai di Surabaya dan dengan kenderaan bus kami ke Denpasar sesudah singgah pada Kamp Kerja Pemuda di Bali Barat. Di Bali bagian Barat ini ada perkampungan Kristen dengan gerejeanya yang sudah tua. Mereka menurut sejarahnya adalah orang-orang Bali yang diusir dari perkampungan Hindu karena mereka memeluk agama Kristen. Mereka membangun perkampungan mereka sendiri di daerah yang jauh dari peradaban Hindu Bali di ujung barat pulau dewata ini. Saya teringat pada julukan Bali sebagai Pulau Dewata, The Island of Gods, Die Insel der Goetter. Saya bertanya kepada diri sendiri apakah Bali ini adalah juga Pulau Tuhan yang kita kenal melalui Yesus itu?
Pada tahun 1963 itu di Denpasar penuh dengan pengungsi akibat meletusnya Gunung Agung Bali. Banyak orang meinta sedekah di jalanan. Semuanya pengungsi dari desa-desa sekitar Gunung Agung di bagian Timur pulau itu. Kami menginap di Kantor Pusat Gereja Kristen Bali di Denpasar, di mana juga disediakan kamar-kamar pemondokan tamu-tamu gereja.
Pada tanggal 26 Desember 2004 Sebastian dibaptis di gereja GPIB Bandara Ngurah Rai di Tuban Bali. Sungguh suatu kegembiraan bagi kami dapat berada pada peristiwa yang sangat berarti itu bagi hidup cucu saya yang kedua ini. Eyangnya dari Semarang, Pak Sugito Martoatmojo, dan saya boleh berdiri di depan mimbar menyaksikan cucu kami dibaptis.
Selesai kebaktian kami merayakan kegembiraan kami atas baptisan Sebastian di Pantai Jimbaran, di Cafe Gloria, yang pemiliknya adalah teman seiman di GPIB Ngurah Rai. Suatu kegembiraan yang luar biasa karena selain teman-teman Christina seperti Kathrin Nainggolan, Rodney Nainggolan dan isterinya Jenny, hadir banyak keluarga kami Purba Sigumonrong: abang saya Mansen dan isterinya Tuti dari Medan, Yuyu, isterinya Sendi (anak Mansen) beserta semua anak-anaknya dari Bogor, Jordi (anak abang saya Jawasman) beserta isterinya Titi dan anaknya dari Jakarta, Niko, anaknya Mansen, dan isterinya Gloria beserta kedua anaknya, tinggal di Denpasar, Haris, anaknya abang saya Sudiman Purba almarhum beserta isterinya yang tinggal di Bali, Yanti Sipayung anak keponakan saya Surenny, beserta suaminya yang tinggal di Denpasar, Erik Panggabean, anak keponakan saya Rospita, beserta isterinya Sandra Sipayung (adik Yanti) dari Bandung.
Dalam kata-kata ucapan syukur saya mengingat kembali bahwa saya oppungnya Sebastian juga dibaptiskan tepat 65 tahun yang lalu, yaitu pada 26 Desember 1939 di Gereja Pematang Raya, di mana umur saya juga sama pada pembaptisan dengan cucunya saya ini karena hari lahir kami hanya beda 2 hari (Sebastian lahir 15 Agustus 2004 dan saya Sarmedi lahir 13 Agustus 1939). Ada juga angka-angka ajaib lain dari isteri saya Gertrud: Mulai dari ibu mertua saya yang namanya Rosa (Brueckl geb. Schweigert) selalu lahir anak pertama mereka tiap 30 tahun, yaitu: Rosa B. Tahun 1912, Gertrud 1942, Christina 1972 dan Sebastian 2004 (terlambat 2 tahun; mungkin yang dimaksud Rosa Tambunan lahir 2003-terlampat 1 tahun dari 2002). Ada lagi keajaiban lain: dari 3 generasi mulai dari saya neneknya selalu lahir pada hari Minggu, yaitu Sebastian, ibunya Christina dan neneknya Sarmedi. Kata orang Jerman: ”Wir sind Sonntagskinder”, anak-anak yang beruntung (Glueckskinder).
Pak Sugito, besan saya dari Semarang, mengatakan kepada saya sesudah baptisan, bahwa pada masa baptisan begini rasanya masih baru saja merayakan baptisan anak-anak kami yang sedang melakukan baptisan anak mereka. Pada musin panas tahun 1972 saya masih ingat Christina dibaptis di Gereja di Wermelskirchen oleh pendeta jemaat kami di kota tersebut. Pada perayaan yang kami selenggarakan di rumah kami di Kompleks RS Kota Wermelskirchen datang adik saya Ned Riahman, isterinya Edeltraud dan anaknya Kartika. Hadir juga Hannelore, adik isteri saya, bersama suaminya Antero Pilke dari Basel besrta anaknya Eeva, Sonja dan Rika. Juga datang Peter, juga adik isteri saya Gertrud, bersama isterinya Heidi, dari Muenchen. Keluarga Brueckl dan Pilke menajadi Patenonkel dan Patentanten dari Christina. Demikian juga masih segar dalam ingatan saya baptisan anak kami yang kedua Regina Tatiana, yang dibaptis waktu merumur 2 minggu pada pertengahan Oktober 1975. Baptisan ini dipercepat karena saya akan berangkat duluan ke Indonesia pada akhir Oktober tahun itu untuk mulai bekerja di RS Bethesda GKPS Saribudolok. Baptisan dilakukan di satu gereja di Remscheid oleh Pendeta Dietrich Tappenbeck, pendeta yang fasih berbahasa Simalungun, bahasa ibu saya. Pdt. Tappenbeck pernah bekerja lama di Gereja Kristen Protesan Simalungun (GKPS), gereja yang mengirim saya sekolah di Jerman pada tahun 1964. Saya teringat bahwa Tati waktu dibaptis terus menangis dan sesudahnya masih terus protes dengan berteriak kuat-kuat.
Belakangan aku menyesali keberangkatanku yang terburu-buru itu. Aku harus berpisah dengan keluarga selama 6 bulan karena Tatiana sakit dan berbaring di rumah sakit anak (Kinderklinik der Univrsitaet Munchen). Kata orang-tua di Saribudolok dulu, anakku sakit (demam) karena rindu sama bapaknya. Perpisahan selama 6 bulan ini adalah masa-masa sulit dalam kehidupan keluarga kami. Christina bertanya mengapa kami pindah ke negeri di mana anak-anak pakaiannya compang camping dan kotor. Tatiana mejadi baby yang pemarah, kepalanya botak di bagian belakang karena terlalu lama tidur terlentang di rumah sakit dengan memakai gips di lengan kanan. Saya takut bahwa anak saya akan mendapat cacat akibat Osteomyelitis acuta yang dideritanya. Belakangan aku tahu bahwa Tatiana adalah anak yang sehat dan kuat. Dia memiliki hobby mendaki gunung pada usia remaja. Dia telah mendaki gunung Kerinci di Sumatera Barat dan gunung di Pulau Lombok. Juga dia telah mendaki beberapa gunung di Pulaui Jawa yang nama-namnya tidak saya ingat lagi.
Gelombang Tsunami melanda Sumatera
Pada hari baptisan Sebastian tanggal 26 Desember 2004 jam 7 pagi terjadi gempa bumi sebelah barat pulau Sumatera bagian utara. Sebagai akibatnya seluruh pantai Sumatera bagian utara (Provinsi Sumatera Utara dan Nanggru Aceh Darussalam) dilanda gelombang laut setinggi 5 sampai 10 meter, memporakporandakan seluruh infrastrukur dikota-kota pantai seperti Meulaboh, Banda Aceh, Lhok Seumawe dan Pantai Cermain dan Nias. Dari berita TV hari ini sudah lk. 5000 orang meninggal dan menurut Deutsche Welle, merupakan bencana alam terbesar pada beberapa dekade terakhir, karena bencana alam ini sampai ke Thailand, Bangladesh, India dan Sri Langka, dimana diperkirakan 15.000 orang mati dan berjuta-juta manusia kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Seemua badan-bdan dunia internasional dikerahkan untuk membantu, dimana Jerman memberikan 5 juta Euro. Kemarin PMI Cabang Kota Pematangsiantar/Kabupaten Simalungun, dimana saya menjabat Ketua sejak tahun 1985, mengirimkan 14 orang relawan untuk menolong korban bencana alam di Nias, atas perintah Ketua Umum PMI Mar’ie Muhammad. Memang PMI di Pematangsiantar adalah salah satu yang telah dipersiapkan untuk menghadapi bencana alam di Sumatera Utara. Tadi pagi saya menerima laporan dari Irwansyah Damanik, Sekretaris PMI, yang memimpin rombongan ini ke Nias, bahwa mereka sudah tiba di Gunung Sitoli subuh tadi pagi dan pada Posko PMI Cabang Pematangiantar telah tersedia sumbangan berupa 10 kardus Indomie, 1 selimut dan 2 kotak pakaian. Mereka akan membangun dapur umum di Kecamatan Sirombu. Sudah tercatat 64 orang meninggal akibat musibah ini.
Sungguh suatu musibah besar yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah sebelumnya. Banyak upaya mengumpulkan sumbangan di Indonesia. Selain bantuan pemerintah semua siaran TV dan surat kabar harian mengumpulkan sumbangan dari pemirsa atau pembacanya untuk disumbangkan ke daerah-daerah yang ditimpa musibah. Di dalam pesawat Lion Air yang kami tumpangi dari Denpasar ke Jakarta tadi pagi juga dibagikan amplop sumbangan musibah di Sumatera bagian Utara. Ini memang ujian besar bagi solidaritas bangsa Indonesia, apakah bangsa ini mampu mengatasi musibah bencana alam yang menimpa saudara-saudaranya yang lain. Satu hal yang dikatakan oleh ahli meteorologi dari TV Deutsche Welle menarik perhatian saya: Kalau desa pantai yang dilanda gelombang Tsunami itu tidak mempunyai sarana yang memadai, baik sarana fisik bangunan, telekomunikasi dll., maka kerusakan dan angka kematian manusia akan lebih tinggi dari desa yang mempunyai bangunan permanen, yang memiliki jaringan telepon, radio dan TV sehingga evakuasi penduduk dapat dilakukan lebih dini dan terorganisir. Jadi kerusakan akan jauh lebih banyak di India daripada kalau terjadi di Jepang. Oleh karena itu amatlah pentingnya untuk lebih cepat membangun desa tertinggal di Indonesia karena mereka akan rentan akan bencana alam dan wabah penyakit.
Kesiapan organisasi penolong bencana di negara Indonesia perlu mendapat perhatian, semisal PMI. Saya merasa beruntung dan berbahagia bahwa pembenahan PMI di Cabang Kota Pematangsiantar/Kabupaten Simalungun ini bukan saja pada sarana transfusi darah, tetapi pada kesiapan regu penoloong bencana pada Korps Suka Rela (KSR), dapat berguna pada peristiwa besar seperti pada gelombang Tsunami yang terjadi di negeri ini. Karena itu amatlah pentingnya pembenahan cabang-cabang PMI yang belum aktif, khusunya dalam kesiapan menghadapi bencana. Dari laporan pada Munas PMI ke 18 pada tanggal 7-9 Desember yang lalu, dari tiga ratusan cabang PMI yang ada di Indonesia, hanya kira-kira 100 cabang saja yang sudah terbenahi dengan kesiapan menghadapi bencana.
Pekan Baru, mendarat darurat 28 Desember 2004
Sekarang sudah jam 21.10 WIB dan kami mendarat di sini di luar rencana semula. Sesuai pengumuman di pesawat kami akan singgah selama 2 jam sesudah mendarat jam 20.00. Alasan: Bandara Polonia Medan terlalu sibuk untuk didarati karena semua pesawat datang untuk membawa bantuan ke Nias dan Aceh. Di Jakarta pesawat kami ditunda dari jam 14.00 menjadi jam 18.00 WIB. Nampaknya memang kacau sekali, tapi saya berdoa agar kami selamat tiba di Medan malam ini.
Dari Nias saya menerima berita bahwa Satgana PMI Cabang Kota Pematangsiantar/Simalungun telah membuka 2 Posko di Kecamatan Sirombu, yaitu di desa Mandrehe dan Tetusa. Saya mengucapkan selamat bertugas dan doa saya mengiringi mereka semua 15 orang dan mohon disampaikan salam Ketua PMI Cabang Pematangsiantar/Simalungun. Memang bencana alam di Sumatera bagian Utara kali ini akan mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara dan Aceh. Betapa tidak, karena pesawat dari Jakarta pun terpakasa ditunda. Semua perhatian pemerintah dan aparatnya, termasuk masyarakat umum tertumpu pada daerah bencana. Pembangunan akan tertunda. Pertumbuhan ekonomi akan terganggu. Politik akan berubah araah dari saling sikut menjadi politik solidaritas terhadap sesama yang tertimpa bencana. Mungkin juga ”Perang Aceh” yang sedang berkecamuk akan terhenti dengan sendirinya karena dahsyatnya kekuatan alam yang tidak bisa diatur otak dan rencana manusia. Akankah Aceh akan memasuki masa damai pada masa pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sejak 20 Oktober 2004)? Inikah pesan Natal yang ingin disampaikan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia atau bangsa-bangsa di Asia Selatan dan AsiaTenggara? Apa makna pesan ini untuk manusia di kawasan ini dan penduduk muka bumi? Ini harus kita jawab dengan akal budi dan iman kita. Mungkin kita baru tahu apa maknanya ini semua sesudah ada episode kedua pasca gempa bumi dan gelombang Tsunami ini. Mungkin kita harus memikir ulang arah politik pembangunan kita dari penekanan kuantitas ke pementingan kualitas pembangunan. Pembangunan daerah tertinggal harus dipercepat agar mereka mempunyai daya tahan yang lebih tinggi terhadap bencana dan gejolak ekonomi.
Thursday, December 30, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment