3 Desember 2004
Hari ini kami menghadiri pesta perkawinan Pdt. Kristian Saragih dengan tunangannya boru Sinaga dan jumpa Jupin di Sondi Raya. Kristian adalah anak Rudolf alm., adik Jupin dan isterinya Damiah. Pesta diadakan di halaman gereja GKPS Sondiraya, dimana kami tondong Sigumonrong "manghioui" (mangulosi, bah. Toba).
Saya gembira ketemu banyak saaudara sepupu keturunan amboru Bede, adik perempuan Bapak saya: Kak Ruliah (Liki), Marienta (Etta), Malonni (Ninni), Nanni dan teristimewa Jupin, satu-satunya anak- laki-laki yang masih hidup dari mangkela Justin Saragih Sumbayak, gelar Rumah Tongah Raya.
Jupin tidak ada di tempat pesta. Menurut informasi dia dilarang anaknya pergi ke tempat itu. Mereka beragama Islam dan dia sudah Haji. Memang praktek beragama masih sering dilakukan dengan pemikiran sempit, seakan-akan perilakulah yang menentukan kesalehan pemeluknya menyembah Tuhan. Memang cerita Jupin ini layak diceritakan sebagai suatu pelajaran beragama.
Jupin mengawini putri Minang dan masuk agama Islam tahun 50-an, tinggal di Pekanbaru. Hal ini tidak diterima oleh kedua orangtuanya yang mana bapaknya adalah Penatua (Sintua) di gereja di Sondiraya. Anaknya yang pertama yang kemudian diberi nama Jupri, diambil alih oleh orang tuanya Jupin ke Sondiraya, dididik menjadi orang Kristen yang taat dan diadopsi sebagai anak kandungnya. Ini kan bisa dikatagorikan sebagai pelanggaran hak azasi manusia? Tapi inilah kenyataanya. Dia tidak boleh kembali kepada orang tua kandungnya dan baru sesudah dia besar diketahuinya siapa ayah dan ibu kandungnya.
Jupin tadi bercerita bahwa dengan hadirnya Jupri di keluarga neneknya, maka ada pengganti Jupin yang sudah "hilang" itu di keluarga oppungnya. Maka terobatilah kepedihan luka hati oppung itu dengan hadirnya cucu pengganti anak yang hilang. Ned, adik saya bercerita, ketika Jupri kuliah di Bandung, mama kandungnya menawarkan untuk membelanjainya sekolah sampai tamat, asal mau ikut agama Islam. Tapi Jupri menolak dan konon kabarnya karena itulah tidak selesai perkuliahannya akibat tidak ada biaya yang mencukupi.
Keterangan foto: Kunjungan kami di rumah makkela Justin dengan Jupin: Ned, Asri, Sarmedi, Jupin, Menni, Albert, Merly dan amboru Takkas (Ny. Johan Girsang)
Mengenang semua pergumulan keluarga makkela Justin Saragih memang meninggalkan cerita yang menggetarkan. Mungkin inilah tugas baru orang yang beragama sekarang, bagaimana orang harus menjadi toleran, lebih memberi peluang kepada orang lain beragama sesuai dengan keyakinannya sendiri, walaupun anak kandungnya sendiri. Sebaiknya setiap orang yang sudah dewasa bebas menentukan agamanya masing-masing. Mengubah agama memang tidak semudah membalikkan tangan, tapi menutup kemungkinan pindah agama juga melanggar hak azasi manusia dan tidak agamawi, tidak religius dan tidak sesuai dengan iman kristiani. Sebenarnya kalau dipikir, Tuhan Muslim dan Tuan Kristen kan Tuhan yang satu itu juga. Tuhan yang kita sembah itu kan Tuhannya Abraham yang percaya itu dan Tuhan kita itu juga yang disembah orang Islam. Mengapa saya tidak bisa akrab dengan saudara saya yang berbeda agama? Keakraban itu tidak akan mengurangi keimanan saya dan malah memperkayanya.
4 Desember 2004
Dibawah ini saya lampirkan satu foto dari tahun 1927 yang menggambarkan keakraban keluaraga oang tua saya, St. Tarianus Purba Sigumonrong dengan Keluarga St. T. Justin Saragih Sumbayak.
Keterangan foto:Duduk di atas kursi dari kiri ke kanan: St. Lamat Merludikan Purba (adik Tarianus), St. Tarianus Purba, St. Justin Saragih dan disampingnya berdiri Jalen Saragih (anak sulung Justin). Berdiri di belakang dari kiri ke kanan: Mulatua Sinaga Ibu dari ibu saya, Dorianna Saragih (ibu dari bapak saya), Dinaria Kunim Saragih (ibu saya) menggendong anaknya Menna, Bede (amboru saya=adik bapak saya) menggendong anaknya Dorli, Kantina (adik Justin) dan Oti Omentina (amboru=adik Bapak saya). Duduk di depan di atas tikar dari kiri ke kanan: Zakana Saragih (anak kedua Justin), Sintamina Purba (kakak saya tertua) dan Saridin (abang saya, anak kedua dari Tarianus).
Dari foto ini nampak kekompakan dan keakraban mereka yang bersaudara, atau beripar. Dari apa yang diceritakan ibu bapa saya dulu waktu saya masih di bangku Sekolah Rakyat, memang sering ada gesekan antara mereka, tetapi selalu dapat diatasi sehingga tidak menjauhkan tali persaudaraan antara kedua keluarga. Keakraban ini saya rasakan sendiri kalau saya dahulu jumpa dengan mangkela dan amboru saya ini. Ada perasaan saya bahwa dia peduli terhadap saya. Walaupun kami anak-anak mereka mungkin tidak seakrab mereka karena tempat tinggal yang sudah berjauhan, tapi masih terasa getaran persaudaraan itu.
Satu hal yang sering mencuat dari keluaraga ini adalah perbedaan mereka yang bersaudara tiri, walaupun ini diselesaikan dengan cara yang baik. Konon kabarnya waktu mangkela Justin masih beranak dua (Jalen dan Zakana), isterinya yang juga boru Purba Sigumonrong, meninggal dunia. Sebagai isteri kedua maka dia mengawini amboru Bede, adik Bapak saya. Menurut cerita itu Bapak saya dengan rela menyerahkan adiknya ini kepda Justin karena mereka memang berteman. Ini juga menandakan keakraban dalam kekerabatan adat di Simalungun.
Dalam hal tugas menanggungjawabi urusan adat pada upacara-upacara resmi di rumah orang tua saya, kesan saya selalu dirasakan kurang kompak. Ini juga terasa pada anak-anak mangkela Justin. Mungkin anak-anak mereka akan berbeda, lebih mendekatkan diri, seperti yang kita harapkan dari Pendeta Kristian yang baru melangsungkan pernikahannya kemarin di Sondi.
Friday, December 03, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment