Saturday, October 04, 2008

RUMAH SAKIT HARUS TUMBUH DAN BERKEMBANG

Makalah ini disampaikan pada Munas Pelkesi VII di Medan 15 September 2008
(foto-foto sedang dalam proses attaching)
























oleh Sarmedi Purba

Filosofi:
rumah sakit (RS) ibarat janin dalam rahim ibunya, kalau tidak tumbuh dan berkembang, hampir dapat dipastikan akan mati.

Isi:
1. Situasi perumahsakitan Indonesia dan RS milik gereja dan yayasan Kristen sekarang.
2. Apa yang seharusnya terjadi selama 25 tahun (perbandingan dengan rumah sakit lain di dalam dan di luar negeri)
3. Apa yang harus dilakukan jangka pendek, menengah dan 25 tahun mendatang?
4. The Future of The Hospital
5. Kesimpulan

1. Situasi perumahsakitan milik gereja
dan yayasan Kristen sekarang.

1.1. Selama 25 tahun Pelkesi tidak banyak perkembangan yang bisa dicatat pada perumahsakitan milik gereja. Sebagian malah mundur karena tidak mampu bersaing. Pasien menuntut pelayanan prima yang sesuai dengan state of the art sedang kebanyakan RS Kristen (RSK) masih cenderung mengkelola rumah sakit dengan pola lama (kurang innovatif, kurang ekspansif dan mengabaikan fungsi pemasaran).
1.2. Manajemen RSK sering konservatif. Kaku karena birokrasi gereja. Tidak memiliki otonomi RS yg sudah dicanangkan pemerintah. Padahal otonomi rumah sakit mutlak dibutuhkan untuk kemampuan bersaing dengan rumah sakit lain yang terus membenahi diri.

1.3. Hampir tidak ada investasi gereja di RSK. Ini karena program kuratif distop oleh gerakan community health and community development (hospital without wall) tahun 70-an (sampai sekarang). Membangun dan memperbaiki, apalagi memperluas gedung menjadi tabu. Tidak ada donor agency yang mau mendanai bangunan fisik. Karena itu gedung RSK terlantar dan karena sistem pelayanannya juga tidak mengalami perubahan, maka biaya pemeliharaan gedung tidak bisa ditutupi dengan penghasilan rumah sakit. Masalah defisit anggaran, ketidakmampuan selfsupporting dan tidak adanya subsidi dari pihak ketiga membuat RSK tidak mampu membayar biaya pemeliharaan RS.

1.4. Perpecahan pimpinan gereja sering berdampak negatif pada RSK. Apalagi yayasan atau badan kesehatan yang mengurusi rumah sakit itu tidak tanggap dengan perubahan yang cepat dalam dunia perumahsakitan. Sering rebutan jabatan pimpinan rumah sakit menjadi ajang politik gerejawi.

1.5. Sebenarnya keadaan perumahsakitan kristiani tidak jauh berbeda dengaan perkembangan rumah sakit lain, khususnya rumah sakit milik pemerintah dan BUMN.


Dari statistik yang saya telusuri di website Dirjen Bina Yanmed (terlampir) pelayanan kesehatan melalui rumah sakit ternyata masih jauh ketinggalan karena untuk 1590 penduduk hanya tersedia rata-rata 1 tempat tidur rumah sakit di Indonesia. Pada tahun 1975 di Jerman Barat tersedia 1 tempat tidur untuk 500 penduduk. Hampir separuhnya rumah sakit kita di Indonesia dikelola oleh swasta. Harus kita catat bahwa kebanyuakan rumah sakit di Indonesia (terutama milik pemerintah dan sebagian milik swasta) dalam keadaan memprihatinkan karena gedungnya sudah tua dan arsitekturnya tidak memenuhi syarat kesehatan lagi, apalagi tidak memenuhi teknologi bangunan yang harus menampung kemajuan teknologi kedokteran modern.

1.6. Di lain sisi bisnis pelayanan kesehatan mempunyai prospek yang menjanjikan karena masih banyak yang bisa dikembangkan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut sttistik Depkes, 250.000 orang bekerja di rumah sakit di Indonesia yang berarti –kalau dihitung dengan keluarganya- lebih kurang 1 juta manusia menggantungkan nasibnya pada pelayanan rumah sakit. Pertumbuhan angka ini tentu akan cepat pada 20 tahun yang akan datang. Karena itulah bisnis rumah sakit di Indonesia pada saat ini diincar oleh pemodal dari dalam dan luar negeri, khususnya karena masih ada lobang besar yang harus diisi dalam kebutuhan pelayanan orang sakit di negeri ini.






Lampiran:
Jumlah Rumah Sakit Keseluruhan (Umum dan Khusus)
Seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1.292
tempat tidur sebanyak 138.451
(dengan catatan RB tidak dimasukkan sebagai rumah sakit)
RS Swasta memiliki jumlah terbanyak yaitu 638 (49,4%)
tempat tidur 51.475 (37,2%)

Dari sejumlah 1.292 rumah sakit
645 (49,9%) berada di Jawa,
318 (24,6%) berada di Sumatera,
33 (2,6%) berada di Bali,
38 (2,9%) berada di Nusa Tenggara,
92 (7,1%) berada di Kalimantan,
118 (9,1%) berada di Sulawesi,
23 (1,8%) berada di Maluku dan
25 (1,9%) berada di Irian Jaya

Man Power
1.292 Rumah Sakit
138.451 tempat tidur,
tenaga kerja 250.022 (1/4 juta pekerja)
keperawatan yaitu 108.334 (43,3%)
Tenaga non Kesehatan 85.721 (34,3%),
Dokter 26.092 (10,4%)
Sisanya 29.875 (11,9%)
(Kefarmasian, Tenaga Kesehatan Masyarakat, Tenaga Gizi, Tenaga Keterapian Fisik dan Tenaga Keteknisan Medis).


Perbandingan :
Indonesia 1 tempat tidur untuk 1.590 penduduk
Sumut 1 tempat tidur untuk 1.002 penduduk
Jakarta 1 tempat tidur untuk 505 penduduk
Jawa Barat 1 tempat tidur untuk 2.530 penduduk
Jawa Tengah 1 tempat tidur untuk 1.640 penduduk
DIY 1 tempat tidur untuk 912 penduduk
(sumber http://www.yanmedik-depkes.net/statistik_rs_2007)

RS Kristen:
RSU 63
Kilinik 45

Table: Unit Pelayanan Kesehatan Pelkesi
NO Kategori/Wilayah I II III IV Total
1. Yayasan atau 6 7 5 2 20
2. Unit Rumah Sakit 13 10 25 15 63
Klinik 3 17 11 14 45
3. Institusi penunjang (pendidikan, pabrik obat, pengembangan masyarakat) - 6 5 2 13
4. Total 22 40 46 33 141
(sumber www.pelkesi.or.id)






2. Apa yang seharusnya terjadi selama 25 tahun (perbandingan dengan rumah sakit lain di dalam dan luar negeri)

2.1. RSK tidak ikut state of the art teknologi kesehatan. Kita terkecoh pada teknologi tepat guna yang mendiskriminasi negara berkembang menikmati kemajuan teknologi. Barang bekas yang fungsinya sudah kedaluwarsa di negara maju, dikirim ke RSK di Indonesia

2.2. Community health dengan penekanan preventive medicine tidak harus mendiskreditkan upaya kuratif dan rehabilitatif RS, tetapi harus mendorongnya berkembang. Prevention and cure are intimately linked . Tetapi apa yang terjadi di kebanyakan proyek kesehatan milik gereja di Indonesia? Community Health dibangun dengan menelantarkan RSK. Karena itulah banyak dijumpai RSK yang tua dan kusam, yang sebenarnya tidak sesuai dengan tuntutan zaman untuk sebuah RS yang memenuhi standard. Sebagai contoh pada zaman penjajahan RS dibangun melebar ke samping karena teknologi lift dan eskalator belum dikenal. Dengan perkembangan teknologi RS masa kini dibangun bertingkat, kompak dan mempunyai akses yang bisa diawasi. Jadi tidak ada kamar pasien yang dimasuki ayam, kucing atau anjing seperti apa yang terjadi sekarang di RS yang belum mengalami perubahan.

Sebagai contoh di sini saya tunjukkan bebeapa foto RSK di Sumatera, Jawa dan Sulawesi yang menurut hemat saya belum mengalami struktur bangunan yang bermakna sehingga mampu memenuhi tuntutan teknologi perumahsakitan masa kini.

RS Bethesda Jogja: doeloe dan sekarang







RS Bethesda Tomohon sejak 1940 RS HKBP Balige sejak doeloe:









RS PGI Cikini
Jalan Raden Saleh Jakarta




RS Bethesda
Saribudolok
sejak 1953


2.3. Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur pembiayaan pelayanan kesehatan diterlantarkan selama 25 tahun. Akibatnya kualitas teknologi perumahsakitan menurun dan seiring dengan itu pelayanan kesehatan menjadi kurang berkualitas. Seharusnya RSK dan gereja sebagai pemilik mempelopori sistem pembiayaan kesehatan berbasis koperasi atau asuransi seperti telah dimulai pada tahun 70-an dengan program Dana Sehat di Solo dan Saribudolok. Namun program itu tidak berlanjut sehingga daya beli masyarakat yang harus membiayai pengobtan dari dompet sendiri membuat rumah sakit kehilangan pasar di daerah yang kurang mampu.

2.4. Gereja seharusnya bergerak digaris depan sebagai promotor perkembangan teknologi kesehatan, tidak hanya responsif terhadap perkembangan zaman. Untuk RSK di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Jogjakarta, tekonologi kedokteran sudah masuk program, tapi masih setengah hati karena tidak dilakukan dalam program dengan masterplan yang mengubah pola pelayanan RSK secara keseluruhan.

Sebagai perbandingan kita melihat perkembangan perumahsakitan di luar dan dalam negeri yang begitu pesat. Akankah RSK mampu survive dalam jangka menengah dan panjang?






RS MMC Jakarta









RS Ibu dan Anak
Harapan Kita – Jakarta


Ev.Krankenhaus Buende 1874
& Sekarang







RS Siloam Karawaci Tangerang









3. Apa yang harus dilakukan jangka pendek,
menengah dan 25 tahun mendatang?

3.1. Mendisain ulang konsep kesehatan gereja dengan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman
Reinvestasi RSK dengan dana dari dalam dan luar negeri. Lobby kepada Pemda, Pemerintah (Depkes, DPR), lembaga luar negeri, donor pribadi atau corporate di dalam dan luar negeri. Catatan: Pos Kesehatan naik 3 x pada APBN 2008. Bisakah ini dimanfaatkan untuk membangun RS baru?

3.2. Deklarasikan alarm RSK di Indonesia yang merupakan bagian dari perkembangan perumahsakitan di Indonesia (RSUD lebih parah lagi?). Karena itu RSK harus menajadi pelopor perubahan atau reformasi perumahsakitan dan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia. Ini dapat dilaksanakan dengan menyelenggarakan seminar-seminar dan lokakarya tentang konsep dan teknologi perumahsakitan, manajeman yang berorientasi kepda kebutuhan pasar. Hasil dari semianr dan lokakarya ini dapat disumbangkan sebagai usulan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

3.3. Program campain program kesehatan melalui RSK sebagai misi gereja (bukan hanya pada konteks diakonia tetapi marturia). Misi gereja dalam bidang kesehatan harus ditunjukkan dengan keunggulan teknologi dan keunggulan sentuhan (not only high-tech but also high-touch).
3.4. Program das Sollen PELKESI dalam pengembangan perumahsakitan RSK diputuskan pada munas 2008 dan siap untuk diimplementasikan dalam tempo 6 bulan.
3.5. RS Kristen harus economy oriented (profit oriented juga bukan dosa) dengan ketentuan keuntungan itu tidak disetor ke kantor pusat gereja, tetapi dipakai untuk pertumbuhan dan pengembangan rumah sakit. RS harus tumbuh dan berkembang (growth and development) dan tumbuhkembangnya diukur dengan profit. Karena itu jangan menolak membayar pajak kalau memang menghasilkan laba. Jadi profit, pertumbuhan dan perkembangan rumah sakit mutlak dibutuhkan, karena tanpa pertumbuhan, rumah sakit milik gereja hampir pasti akan mati, seperti yang terjadi pada banyak rumah sakit gereja pada masa ini.

Menjadi sangat penting adalah bahwa penanggungjawab rumah sakit (yayasan, badan kesehatan atau pimpinan gereja) harus mengevaluasi dan menarik konsekuensi seberat apapun untuk RSK di masa depan. Motto: “MUST DO SOMETHING”. Harus diputuskan dalam jangka pendek, apakah RSK yang mereka kelola ditutup, diambil alih oleh pengelola lain (francise), difusikan atau diberi kesempatan untuk mengubah pola pelayanan yang sesuai dengan tuntutan pelanggan (misalnya diberikan waktu 6 bulan untuk menyusun program baru dan 1-2 tahun untuk menerapkannya/ujicoba). Program ini sering membutuhkan investasi baru (sumber dicari), restrukturisasi dan kerjasama dengan RS lain sehingga lebih efisien (pembelian barang, pengolahan limbah, dll).


3.6. Daya saing RSK harus dibangun dengan sistem marketing terbuka, keluar dan ke dalam rumah sakit. RSK harus keluar dari sarangnya yang terbatas, menggarap pasien dari kabupaten atau provinsi lain. Harus diciptakan keunggulan tiap RSK walaupun itu hanya sebatas pstoral counceling yang teruji, pelayanan holistik atau karena alamnya yang mendukung. Dokter spesialis yang menciptakan keunggulan harus dipromosikan agar dapat betah bekerja di daerah pedesaan, dengan memberikan insentif yang memadai dan tetap menguntungkan rumah sakit.

4. The Future of The Hospital?

4.1. Pakar perumahsakitan di negara maju berpendapat bahwa di masa depan rumah sakit pemodal akan bertambah seiring dengan berkurangnya jumlah tempat tidur di rumah sakit komunitas (di Indonesia RSUD, RS milik yayasan karitatif agamawi, RS milik BUMN dan RS milik Departemen Pertahanan). Kecenderungan ini kita amati juga di Indonesia, khususnya di kota besar seperti Jakarta, di mana pemodal besar dan pemodal yang go public berlomba-lomba membangun RS di segala sudut kota. Hal ini juga dipermudah karena pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup untuk menambah rumah sakit sesuai dengan pertambahan penduduk dan perluasan pemukiman. Untuk RS daerah kota kecil banyak RS menciutkan jumlah tempat tidur karena kehilangan pangsa pasar pasien. Tantangan ini harus dilihat oleh Pelkesi sebagai peluang untuk mengembangkan diri dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Untuk itu dibutuhkan model pelayanan yang sudah teruji sehingga multiplikasi pelayanan pada rumah sakit baru dapat dilakukan dengan sistem francise.
4.2. Trend inovatif dan berorientasi kepada kebutuhan khusus pelanggan yang sakit dan yang sehat. Untuk itu dibutuhkan keunggulan tiap RSK. Pilihan untuk memberikan pelayanan kesehatan orang yang belum sakit semisal wellness, medical check up, pelayanan pribadi, pelayanan internet sampai kepada telemonitoring jantung dan sistem peredaran darah harus menajdi program RSK.

4.3. Branding RSK menjadi sangat penting di masa depan. Apakah nama BETHESDA mampu menjadi jaminan mutu seperti yang dimiliki semisal RS Hermina, RS Mitra Keluarga atau RS Siloam Group di masa depan? Untuk itu dibutuhkan kualitas pelayanan yang stabil dalam kurun waktu yang panjang, yang dapat menajdi nilai pasar yang sangat berharga.

4.4. Kerjasama regional atau rujukan untuk jaringan informasi rekam medik (tukar menukar foto x-ray, CT Scan, MRT, dll) merupakan trend masa depan yang bisa menjadi pelayanan unggulan RSK. Untuk itu dibutuhkan sistem informasi medik dan sistem informasi keperawatan yang diselaraskan dengan sistem administrasi RS. Karena RS kecil cenderung tidak survive dalam persaingan RS, perlu jaringan beberapa RS kecil sehingga mereka dapat bekerja lebih efisien, jaringannya lebih besar dan sebagai perusahaan jasa kesehatan menjadi lebih besar.




4.5. Teknologi perumahsakitan adalah tuntutan zaman dan masyarakat mebutuhkannya. Kalau RS tidak menyediakannya di Medan, mereka akan mencarinya di Penang, Singapura dan belakangan ini ke Thailand dan Cina.

4.6. RSK harus direformasi dari instansi administrasi keperawatan menjadi PERUSAHAAN YANG BERORIENTASI PELAYANAN DAN KOMPETISI. Konsekuensinya manajemennya harus dengan pola perusahaan yang memiliki direktur pemasaran dan direktur produksi (?). Total Quality Management dan Total Marketing menjadi kata kunci kebijakan manajemen RSK. Kombinasi prestasi medik dan “berfikir dagang” tidak lagi menjadi dua hal yang dipertentangkan atau dianggap sulit. Untuk itu dibutuhkan desentralisasi kesehatan. Outsourching harus dibarengi dengan insourching, yaitu menambah jenis dan jumlah produk dan dengan demikian menambah income rumah sakit.

4.7. Trend memperpendek masa perawatan di RS harus menjadi milik RS Pelkesi. Di Amerika operasi dengan basis berobat jalan (day care) meningkat dari tahun ke tahun. Dengan teknologi minimal invasive surgery masa perawatan yang dulu dilakukan 3-5 hari dapat diperpendek jadi 1-2 hari, malah sering dengan day care (berobat jalan). Dengan program Disease Related Gropu (DRG) akan terjadi rasionalisasi harga perawatan RS, artinya lebih banyak pasien pada waktu yang lebih pendek dengan jumlah tempat tidur yang lebih sedikit, yang disebut sebgai pengetatan kerja massif (massive Arbeitsverdichtung).








Kesimpulan:
DALAM makalah ini telah dipaparkan secara ringkas masalah perumahsakitan di Indonesia, khususnya rumah sakit milik gereja dan milik yayasan kristiani. Diperoleh kesan bahwa banyak rumah sakit yang bernaung di bawah Pelkesi diterlantarkan oleh pemiliknya sehingga daya saingnya merosot dan ditinggalkan oleh pengguna pelayanan kesehatan.
Karena itu menjadi tugas gereja, khususnya Pelkesi untuk memikir ulang strategi perumahsakitan milik gereja dan yayasan Kristen di Indonesia, karena kalau proses pembiaran yang selama ini berlangsung terus berjalan, maka sebagian besar RSK akan tinggal menjadi kenangan dalam sejarah.
Untuk memperluas wawasan, digambarkan kecenderungan rumah sakit di masa depan yang juga akan atau sebagian sudah terjadi di Indonesia.

1 comment:

My Reflection said...

a very good and academically written article doc !

greetings,
dr.tessa